Sunday, July 17, 2011

Fadli Zon: Bukan Perburuan Rente

fadli zon foto: kompas.com
TEKS DODDI AHMAD FAUJI

Fadli Zon memasuki ranah politik praktis dengan pemikiran bahwa regulasi politik sangat menentukan laju sebuah bangsa. Memperbaiki bangsa, harus memperbaiki politiknya.

Menyimak berita-berita seputar sepak terjang politikus kita, nada miring untuk mereka masih terdengar nyaring. Tabiat para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) misalnya, banyak menuai kritik dari rakyat yang diwakilinya. Kritik itu muncul karena sikap mereka yang kurang empatik, dan jauh dari sense of crisis. Di tengah musibah yang terus-menerus melanda negeri ini, tega-teganya anggota DPR berani mengusulkan anggaran untuk ini atau itu, yang nominalnya cukup mencengangkan. Mereka juga suka “ribut” seperti murid berandalan. Pantas bila almarhum Gus Dur menyindir anggota DPR sebagai anak-anak TK. Mengapa hal itu terjadi?


Fadli Zon, politisi muda yang kini menjabat Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerinda), menjawab, hal itu terjadi karena orang baik-baik tidak terjun ke ranah politik praktis.

Di lantai 3 Fadli Zon Library, obrolan kami terfokus pada dua arah. Pertama, menyoal visi Fadli Zon Library. Kedua, kiprahnya di bidang politik. Fadli, yang dikenal publik amat dekat dengan Prabowo jauh sebelum Pratai Gerindra didirikan, mengutip pepatah lama untuk menopang jawabannya.

“Ada pepatah lama yang berbunyi, jika orang baik-baik tidak terjun ke politik, akhirnya preman-preman politik yang berkuasa. Mereka menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan. Bagi mereka, politik bukan lagi lapangan pengabdian, melainkan mata pencaharian,” katanya, Kamis siang, 28 Oktober 2010.

Dari pernyataannya bisa ditarik kongklusi, sebab politik menjadi lapangan pekerjaan, maka muara akhir yang mereka perjuangkan sudah dapat ditebak: Berburu rente. Apalagi untuk menjadi anggota legislatif butuh modal yang besar, maka ketika berhasil menjadi legislator, yang segera terpikir di benaknya ialah mengembalikan modal.

“Makin rusak saja kalau para politikus mendahulukan berburu rente,” kata pria kelahiran Jakarta, 1971 itu.

Kerusakan yang terjadi, bermula dari wilayah kognisi. Bila kognisi sudah konslet, manusia bisa menghalalkan segala cara. Apakah kerusakan mental ini juga menimpa para politikus dari Gerindra?
“Kami melakukan pengawasan yang ketat. Bila ada penyimpangan, tak ada kata ampun,” jawab Fadli.

Pengawasan oleh masing-masing partai terhadap kader-kadernya, harus dilaksanakan tanpa kompromi. Tapi Fadli juga menyerukan agar orang baik-baik segera turun gunung. Mereka harus ikut berjibaku untuk memerangi dominasi preman-preman politik. Orang baik-baik jangan hanya menjadi agony, yaitu para dewa yang hanya bisa berdebat di langit tentang bagaimana memadamkan bumi yang sedang kebakaran. Saat ini, orang-orang baik di kancah politik, sedikit jumlahnya, dan bisa saja mereka malah ikut terseret mainstream.

Menelisik dunia politik, Fadli mengajak menerawang dan menghayati kembali kiprah para politikus di era founding father. Merka terjun ke politik, benar-benar untuk mengabdi. Mereka bukan saja siap sengsara, tapi siap dijebloskan ke dalam penjara demi membela keyakinan. Kalau sekarang, banyak politikus yang di-hotel-prodeo-kan karena terbukti korupsi.

Orang baik-baik harus ikut membersihkan politik, sebab politik itu bisa diibaratkan dengan udara. Semua orang menghirup udara. Bila udaranya kotor, orang-orang akan ikut sakit. Fadli haqul yakin, orang baik-baik masih banyak di negeri ini.
“Di partai apapun orang baik-baik bernaung, yang diperjuangkannya pastilah untuk kebaikan bangsa. Tapi kalau memang mentalnya preman, bahkan dengan satu partai pun bisa berseteru. Ya, negara kita membutuhkan orang baik-baik di kancah politik. Dan dalam kesempatan, kita juga harus meninggalkan tradisi urut kacang,” katanya.
Fadli menilai, negeri kita memiliki cukup banyak barisan muda yang baik-baik, hanya saja tradisi “urut kacang” yang masih dipraktikan, membuat potensi-potensi muda itu, tidak termanfaatkan.

Akhirnya Fadli pun membandingkan usia politikus sekarang dengan para tokoh jaman dulu. Dulu, para pendiri bangsa ini adalah barisan muda yang rata-rata usianya 40 tahun, atau bahkan lebih muda. Jenderal Sudirman menjadi Panglima pada usia 32. Sutan Syahrir menjadi Perdana Menteri pada usia 36. Soekarno menjadi Presiden pada usia 44, dan Bung Hatta menjadi Wakil Presiden pada usia 43.

Seperti kata Bung Karno, jangan sesekali melupakan sejarah. Barangkali, pesan itulah yang hendak Fadli tunaikan ketika membincangkan politik dengan menengok masa lalu. Fadli membandingkan, politikus kita saat ini sebenarnya lebih maju dalam bidang wawasan. Tapi karakteristik dan integritasnya mengalami penurunan. Juga ada pembeda, yakni tokoh-tokoh dulu umumnya memiliki taste dan apresiasi yang bagus terhadap estetika. “Malah Bung Karno itu seniman, selain juga kolektor karya seni. Perbedaan selera dan apresiasi ini, melahirkan perbedaan penghayatan.”

Penghayatan terhadap seni budaya, adalah untuk memelihara ranah kognisi supaya tidak kering lagi hampa. Politikus harus melakukannya. Fadli Zon Library, baginya, merupakan implementasi kongkrit. Bangunan berlantai tiga yang sekilas nampak seperti rumah biasa itu, sebenarnya bukan sekedar perpustakaan sebagaimana tertulis dalam fasad: Fadli Zon Library, tapi juga menjadi museum artefak seni budaya.
Ratusan lukisan sedari Raden Saleh hingga Putu Sutawijaya, tersimpan di sana. Milyaran fulus telah dibelanjakan untuk melengkapi pelbagai koleksi benda-benda seni dan benda-beda bersejarah, macam uang logam, manuskrip kuno, perangko, keris, dan lain-lain. Semua koleksi itu dikumpulkan bukan karena kagetan, juga bukan dadakan gara-gara terjun ke partai politik.

“Sedari kecil saya sudah suka mendokumentasikan benda-benda yang saya anggap penting. Rambut pertama ketika saya lahir, saya koleksi, tapi sayang hangus bersama kebakaran rumah saya. Soul saya ada di seni budaya. Politik adalah fesyen saya.”
Fadli rajin mengoleksi beberapa benda yang berkaitan dengan aktivitas “pertama”. Misalnya, ia mengoleksi tiket kerata api pertama yang ia tumpangi, atau tiket pesawat pertama yang menerbangkannya.

Menengok masa lalu melalui peninggalan benda-benda bersejarah, memang bukan saja dapat mendatangkan ilmu pengetahuan, tapi sekaligus menjadi inspirasi dan untuk ditauladani. Karena itu, rezeki yang sudah ia terima dalam bentuk koleksi itu, akan dibagi ke masyarakat luas melalui internet. “Saya sedang menyiapkannya. Supaya masyarakat luas dapat mengakses.”

Fadli tentu menyayangkan rumahnya terbakar di saat musim kampanye tahun 2009 silam, sebab bertumpuk harta karun, ikut hangus. Ia tidak bermaksud mengungkit-ungkitnya, mengapa rumah itu kebakaran. Bisa saja memang karena kelalaian, atau bisa jadi ada yang membakarnya.

Ada yang membakarnya, dapat dikaitkan dengan sikap “asal bapak senang” (ABS). ABS adalah idiom untuk menandai orang-orang yang tidak memiliki loyalitas terhadap visi organisasi. Sikap ABS menjadi nila dalam belanga, jadi cela yang merusak citra. Personel yang bersikap ABS, jelas tidak memiliki integritas. Sialnya, orang-orang seperti itu, kini tetap meruyak. Mereka adalah serbuk-serbuk yang memicu meledaknya krisis multidimensional, yang menjerembabkan bangsa kita jatuh ke dalam tong setan, yang seakan tiada jalan untuk meretasnya.

Negasi dari para ABS itu, tentu saja karakter-karakter yang mempertaruhkan integritas. Mereka loyal terhadap organisasi, dan bukan pada perut sendiri. Karena itu, mereka akan menyampaikan laporan apa adanya, walau pahit dampaknya.
“Orang yang memiliki integritas dan loyal terhadap organisasi, jelas tidak akan bersikap ABS. Tapi resikonya memang tinggi, bisa dimusuhi dari sana-sini. Malah dulu bisa dibunuh,” kata keponakan penyair Taufik Ismail itu.

Mungkin Fadli ingin mengatakan secara implisit, kebakaran rumahnya yang mengherankan itu ada korelasinya dengan sikap anti ABS yang ia tegakkan.
Bersikap non ABS memang bisa beresiko. Tapi kiranya, sikap itu sangat tepat untuk seorang Fadli, yang bagi sebagian orang masih mengenang Fadli sebagai Fadli yang dulu, yakni aktivis yang rajin melakukan aksi dan refleksi untuk menyikapi kondisi. Publik sastra juga lebih mengenal Fadli sebagai aktivis kesusastraan ketimbang sebagai politikus, apalagi ia masih tercatat sebagai Dewan Redaksi di majalah sastra Horison (sejak 1993), yang sesekali mengisi rubric Catatan Kebudayaan. Memang halayak ramai lebih mengenal Fadli Zon sebagai tokoh politik yang begitu karib dengan Prabowo Subianto.

Kedekatannya dengan Prabowo, tentu mendatangkan resistensi, mengingat Prabowo selalu dikait-kaitakan dengan anak emas Orde Baru. Ketika terjadi perubaham rezim, Prabowo yang berada di circle of excellent, tentu menjadi orang yang mudah terkena target. Fadli nampaknya tidak terganggu dengan adanya resistensi itu. Dalam penilaiannya, Prabowo adalah pribadi yang terkena banyak fitnah.

Orang yang berjasa mendekatkan Fadli dengan Prabowo haruslah disebut nama Din Syamsuddin yang menjabat Director Center for Policy and Development Studies, sebuah lembaga think-thank hubungan sipil-militer. Kala itu, tahun 1994, Director Center for Policy and Development Studies menggelar diskusi kajian gerakan mahasiswa tahun 1990-an. Hadir sebagai pembicara antara lain Fadli Zon selaku Ketua Himpunan Mahasiswa Indonesia Peminat Kajian Internasional (ISAFIS). Lalu ada Anis Baswedan, dan Kolonel Prabowo. Diskusi berlangsung dari pukul 15.30 hingga pukul 03.00.
“Dari diskusi itu, ada kesamaan visi. Tahun itu, Prabowo sudah mengapungkan perlu adanya reformasi di Indonesia. Memang, tentara lulusan Akmil angkatan 70-an ke sini, relatif membuka ruang dialog dengan sipil. Saya lihat, ada kemiripan antara Prabowo dengan Pak SBY, yaitu sama-sama terbuka untuk berdialog.”

Hubungan Fadli dengan Prabowo kemudian, berjalan mengalir, karena tidak ada ikatan struktural di antara keduanya. Yang ada adalah kesamaan ide yang bisa mempersatukan. Persatuan itu terlihat erat misalnya pada aktivitas kedunya di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, perkebunan sawit, dan tentu Partai Gerindra.
Dari kedekatannya dengan Prabowo, Fadli makin yakin, bahwa membangun Indonesia harus dipimpin oleh crème de la crème (super the best) pihak sipil maupun militer. | doddi@jurnas.com

Biografi Singkat.
Fadli lahir di Jakarta, 1 Juni 1971. Ia seorang kolumnis, penulis, aktivis sosial politik, dan juga kolektor benda seni. Ia menempuh studi SMA selama dua tahun di SMA Negeri 31, Jakarta Timur, kemudian mendapat beasiswa dari AFS (American Field Service) ke San Antonio, Texas, Amerika Serikat dan lulus di sana dengan predikat summa cum laude. Menyelesaikan pendidikan sarjana pada Program Studi Rusia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dan Master of Science (MSc) Development Studies dari The London School of Economics and Political Science (LSE) Inggris. Pernah menjadi anggota MPR RI (1997-1999) dan aktif sebagai asisten Badan Pekerja Panitia Adhoc I yang membuat GBHN. Pada 1998 ikut mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) dan menjadi salah satu ketua hingga 2001 (mundur).

Kini menjadi Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA); Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI); Hubungan Luar Negeri dan Organisasi Internasional (2004-2009); Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies sejak 1997, Dewan Redaksi majalah sastra Horison sejak 1993, Pemimpin Redaksi Jurnal VISI sejak 1997, Dewan Redaksi Majalah Tani Merdeka sejak 2007. Fadli juga anggota Globalise Resistance; anggota Association for the Study of Ethnicity and Nationalism (ASEN), LSE, dan Development Studies Institute Alumni Association, LSE. Selain itu, ia diangkat sebagai Dewan Pakar Gebu Minang periode 2005-2009, dan beberapa organisasi lain.

Mantan aktivis mahasiswa awal 1990-an ini juga aktif dalam dunia usaha. Kini menjadi Direktur Pengembangan Usaha PT Tidar Kerinci Agung (2007) bidang kelapa sawit dan Direktur PT Padi Nusantara (sejak 2005). Pernah menjadi Direktur Umum Golden Spike Energy Indonesia Ltd (2002-2005) sebuah perusahaan minyak dan gas swasta; dan sebelumnya Nusantara Energy Ltd (1999-2001).

1 comment:

tulisan yang nyambung