Friday, September 23, 2011

Chris Dharmawan: Jangan Hanya Tiarap Saat Krisis Global

TEKS Doddi Ahmad Fauji | Foto DOKPRI.

Sejak krisis global berembus mulai Oktober 2008, perniagaan seni rupa mulai berhati-hati, lebih tepatnya tiarap sejenak sambil wait and see. Pasar lesu, dan masih terasa hingga sekarang.

Pameran-pameran seni rupa di Jakarta yang dalam sebulan bisa mencapai puluhan kali, kini bisa dihitung dengan jari. Aktivitas balai lelang yang hasil-hasilnya sering dijadikan patokan oleh beberapa pelaku niaga seni rupa, terutama oleh para spekulan pemula, juga sunyi.

Perbincangan edisi ini bersama Chris Dharmawan, menyinggung soal sikap-sikap yang sebaiknya di tempuh banyak pihak dalam menghadapi krisis global finansial yang masih mendera. Chris, yang menjadi pemilik sekaligus pengelola Semarang Gallery, juga mengutarakan visi dan misi galeri yang dirintisnya, dan menyampaikan padangannya tentang makna globalisasi dalam bidang seni rupa. Berikut petikan perbincangan itu.

Bagaimana Anda prospek seni rupa kontemporer di Semarang?
Seperti kita ketahui bersama, medan seni rupa kontemporer di Semarang boleh dikatakan baru terbangun awalnya antara lain ketika Semarang Gallery (SG) didirikan pada 2001 lalu. Prosesnya berjalan cukup lambat, karena seni rupa kontemporer dianggap baru dan cukup asing bagi seniman/pelukis Semarang, apalagi bagi masyarakat seni pada umumnya.

Mayoritas seniman di Semarang otodidak. Mereka belajar melukis lewat murid Dullah, yaitu Kok Poo dan Inanta yang menjadi patron seni lukis Semarang pada waktu itu. Seni rupa kontemporer lambat laun berkembang lewat perupa-perupa lulusan UNNES (Universitas Negeri Semarang yang dulu IKIP Negeri Semarang), yang memang menyediakan jurusan Seni Rupa.

Sampai saat ini, sudah cukup banyak perupa kontemporer Semarang yang eksis dan menggantungkan profesinya sebagai perupa. Ke depan, saya optimistis prospeknya cukup bagus. Tapi berbicara mengenai kehidupan seni rupa, kita harus melihat tidak hanya dari sisi seniman.

Masih ada yang harus dilihat, yaitu para apresiannya. Ya, masyarakatnya, termasuk juga kolektornya. Nah dari sisi ini, saya baru optimistis dalam hal apresian/pengunjung pameran. Setiap saya mengadakan pameran, pengunjung selalu berjubel memenuhi ruang galeri saya.

Saya kira publik ingin tahu visi dan misi Semarang Gallery?
Dilihat dari kata ”Semarang” pada nama “Semarang Gallery” tentu sudah bisa ditebak, bahwa saya mempunyai obsesi Semarang tercatat dan berperan dalam perkembangan dunia seni rupa Indonesia kelak. Sampai sekarang, sebagian dari obsesi saya sudah terwujud dengan adanya kegiatan-kegiatan seni rupa di Semarang yang sudah terekspose pada berita-berita di majalah seni seperti Arti dan koran-koran maupun pada pemberitaan media massa yang lain. Itu artinya masyarakat seni rupa di Indonesia dan internasional, minimal sudah mengakui eksistensi Semarang sebagai salah satu bagian infrastruktur seni rupa di Indonesia.

Misi SG antara lain adalah menyuguhkan event-event bermutu hingga bisa mengajak para perupa lokal meningkatkan diri dan meninggalkan predikat kelokalannya untuk menjadi perupa go international.

Ide Anda dalam memajukan seni rupa Indonesia?
Ide memajukan seni rupa Indonesia? Saya kira kita harus perjuangkan terbentuknya infrasruktur yang baik. Masih banyak persoalan menyangkut ini. Salah satunya masalah apresiasi. Dengan begitu cepatnya perkembangan Balai Lelang yang begitu dominan, apresiasi seni yang benar sudah dianggap kuno. Wacana pasar yang menjadi panglima. Kolektor, investor, dan spekulan bisa belajar dengan sangat cepat mengenai apresiasi karya seni.

Kecintaan terhadap karya seni terlanjur tidak dipupuk. Akibatnya seperti sekarang ini, di mana sedang terjadi krisis finansial, dunia seni rupa seakan ikut kiamat. Inilah salah satu tugas galeri-galeri, media massa seperti majalah Arti dan tentu saja para kritikus. Diharapkan mereka bisa menjadi tiang penyangga terhadap apresiasi seni yang benar.

Majalah Arti ikut giat mengusung wacana internasionalisasi seni rupa Indonesia, tanggapan dan saran Anda?

Saya merasakan gejala yang cukup menguatirkan di antara para perupa kita dalam hal memandang internasionalisasi ini. Internasionalisasi jangan diartikan sekadar memamerkan seolah menjajakan karya keluar negeri tanpa mempertimbangkan kualitas penyelenggara dan side effect-nya. Saya lebih memilih menyelenggarakan pameran dengan karya-karya terbaik mereka dan menyertakan perupa-perupa dari manca negara berpameran di Indonesia. Karena ini juga berarti inter-nasionalisasi seni rupa. Pendeknya, internasionalisasi jangan diartikan berbondong-bondong keluar negri apa pun hasilnya.

Berhadapan dengan krisis global seperti sekarang ini, bagaimana pendapat Anda secara konprehensif?
Krisis global sebentar lagi berlalu. Kesempatan kita mengevaluasi agar euforia booming tidak terulang lagi jika krisis lewat. Keseimbangan antara fungsi seni sebagai alat investasi semata dan menumbuhkan kecintaan terhadap karya seni bisa mulai diupayakan bersama-sama. Kondisi sekarang melahirkan pecinta-pecinta seni sejati. Mereka hanya mengoleksi karya-karya seni terbaik dan bisa saja sambil berinvestasi.

Keseimbangan inilah yang akan membuat dunia seni rupa kita tumbuh sehat. Seniman akan berkarya dengan sungguh-sungguh dan serius, dan di sisi lain, kolektor akan belajar berapresiasi secara benar, dengan dukungan berbagai pilar infrastruktur lain seperti media, kritikus, kurator, dan para pemerhati seni.

Bagaimana awal mula Anda terlibat dengan seni rupa?
Awal mulanya pada 1992, saya bertiga dengan teman iseng-iseng membeli koleksi dari sebuah galeri yang bangkrut. Ada sekitar 25 lukisan seingat saya, dan masih sangat murah kalau dibandingkan dengan harga sekarang. Sampai sekarang, sebagian masih menjadi bagian dari koleksi saya. Anda pasti tidak menyangka bahwa itu adalah karya-karya dari Affandi, Sudjojono, Dullah, Lee Manfong, Wakidi, Dake, Nyoman Gunarsa dan beberapa pelukis lain. Ada sebagian merupakan karya yang pantas untuk dikoleksi, dan sebagian lagi sudah dijual.

Sejak itu, kecintaan terhadap lukisan khususnya, semakin bertambah. Hingga sekitar tahun 1994-1995, saya mempunyai kelompok lima orang teman (namanya Kelompok 5), begitu teman-teman seniman Yogya menjuluki kami saat itu, yang secara berkala berkunjung ke studio-studio seniman Yogya dan mulai membeli karya-karya mereka.

Minimal seminggu sekali sampai kira-kira tahun 1998-2000, kami berkunjung ke studio Nasirun, Entang Wiharso, Pupuk DP, Nyoman Sudarna Putra, Putu Sutawijaya, Nyoman Masriadi, Udiantara, Heri Dono, Pande Ketut Taman, Made Jirna di Bali dan beberapa seniman lain. Banyak dari karya-karya mereka yang masih saya koleksi dan sebagian adalah pemberian dari teman-teman seniman itu. Dulu Istilahnya hadiah.

Ada yang bilang, buyers tidak berkembang, bagaimana sesungguhnya kondisi apresiasi terhadap seni rupa di Tanah Air dalam penilaian Anda?
Kondisi apresiasi terhadap seni rupa di Tanah Air, sayang sekali, dalam pandangan saya tidak berjalan sebanding dengan kemajuan di bidang penciptaan karyanya. Di salah satu sisi, Institusi Perguruan Tinggi Seni terus berbenah menciptakan output seniman-seniman yang bermutu, di lain pihak kemajuan apresiasi malahan mandeg atau boleh dibilang lambat. Memang pertumbuhan jumlah kolektor begitu signifikan dalam waktu yang relatif singkat. Mereka secara cepat menjadi buyers yang sangat potensial. Tetapi ya itu tadi. Kecintaan terhadap karya seni baru sebatas sebagai alat investasi.

Masalah budaya di masyarakat kita menjadi penghambat dominan. Pendidikan formal tidak lagi mementingkan pendidikan apresiasi seni. Lingkungan keluarga tidak mendidik pentingnya kecintaan terhadap seni. Lingkungan sekitar apa lagi. Seni terasa asing dan menjadi suatu yang aneh di masyarakat kita. Lengkap bukan?

Anda punya pemikiran untuk membina calon buyers baru yang membeli karya atas dasar kecintaan dan untuk koleksi tetap?
Ya tentu saja ada. Di galeri saya, sering mengadakan semacam gathering untuk teman-teman serius guna membicarakan topik apresiasi dan sejenisnya. Tujuannya adalah menumbuhkan kecintaan terhadap koleksi dan memilh karya dengan benar.

Pendapat Anda dengan kehadiran balai lelang yang main marak?
Maraknya Balai Lelang menunjukkan eksistensi market yang semakin baik. Ada gula ada semut, itulah prinsip Balai Lelang. Balai Lelang adalah institusi yang menjadi perantara antara demand dan supply. Yang perlu dijaga adalah keseimbangannya, selain kualitas, idealisme, dan aturan main yang benar.

Terakhir, bagaimana sikap Anda terhadap para spekulan?
Spekulan termasuk dari bagian market. Dan ini yang membuat market menjadi hidup. Dalam arti yang sehat, market membutuhkan spekulasi dan kepandaian memprediksi. Kembali lagi, spekulasi membutuhkan penguasaan terhadap produk, dalam hal ini adalah karya seni itu sendiri. Product knowledge-nya yang pokok ya apresiasi itu tadi. Saya setuju spekulasi dalam arti yang positif di dalam dunia seni rupa.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung