Foto Dok Pri |
Makna leksikon profesional adalah dapat bekerja sesuai dengan bidang yang dikuasainya, dan ia memperoleh penghasilan dari pekerjaan yang sudah dilakoninya.
Namun kata profesional harus mencakup dua hal penting, expert (keahlian) dan responsibility (tanggungjawab). Seorang yang ahli melukis, tidak bisa disebut profesional kalau belum bisa bertanggung jawab (menggegam kode etik) sebagai pelukis.
Salah satu tanggung jawab pelukis misalnya adalah tidak berkhianat kepada siapa pun. Ia tidak berkhianat kepada promotor atau galeri, tidak berkhianat kepada kolektor dengan menggunakan cat murah dan jelek namun mengatakan menggunakan cat mahal. Dengan kata lain, makna bertanggung jawab adalah jujur.
Seorang yang hendak menjadi kurator misalnya, ia akan bisa berbuat profesional kalau memiliki pengetahuan teori seni, sejarah seni (art history), memiliki kemampuan manajerial, dan dapat menganalisis karya seni dengan pendekatan pragamatik, teoretik, intrinsik dan ekstrinsik, dapat menguraikan karya seni secara tekstual maupun kontekstual, sehingga uraiannya dapat jadi guide yang mencerdaskan apresiator.
Dan salah satu pranata sosial yang bisa membangun profesionalisme dalam kesenian, adalah art management yang dapat berindak tegas, berdedikasi, dan berdisiplin dengan ketat. Eddy Prakoso, salah seorang peminat seni yang rajin menggemar-gemborkan art management. Seperti apa art management menurut pengelola Srisasanti Syndicate ini, dan impian apa yang ada di benaknya, berikut petikan perbincangannya dengan Arti.
Bisa diceritakan visi dan misi Srisasanti di Yogya?
Membicarakan Srisasanti Gallery – Yogyakarta, mau tidak mau saya harus membahas Srisasanti Syndicate. Dalam Srisasanti Syndicate sekarang bernaung Srisasanti Gallery – Yogyakarta, Srisasanti Arthouse – Jakarta, dan D’Srisasanti Art Management.
Srisasanti Syndicate didirikan dengan tujuan utama untuk memberikan ruang kreativitas bagi seniman-seniman muda Indonesia yang berbakat dan berprestasi, agar memiliki kesempatan dan peluang menampilkan karya-karyanya di kancah seni rupa Indonesia ataupun internasional. Singkatnya, misi kami adalah “initiate global appreciation” bagi seniman Indonesia.
Kami juga memberikan kesempatan bermitra bagi para seniman yang mempunyai keterbatasan dalam hal manajemen dan permodalan untuk berkarya maupun untuk menyelenggarakan program-program kerja seperti pameran, kompetisi, dan lainnya. Konsep kemitraan ini dilandasi dengan spirit transparansi, kesetaraan posisi, dan semangat kebersamaan.
Srisasanti meluaskan jaringan hingga ke Jakarta. Memperoleh keuntungan, atau bagaimana?
Hahaha…….ini bukan pertama kali orang menanyakan hal ini. Srisasanti Arthouse di Jl. Kemang Raya 81, Jakarta Selatan, kami dirikan bukan karena alasan kami memperoleh keuntungan kemudian melakukan ekspansi usaha. Justru arthouse tersebut saya dirikan pada saat kondisi pasar seni rupa dunia sedang hancur-lebur karena global financial crisis.
Ini semua merupakan bagian dari eksistensi Srisasanti Syndicate yang berorientasi jangka panjang. Kami memiliki art management dengan banyak seniman, hingga kami juga membutuhkan alternatif tempat apresiasi seni selain di Yogya. Kami memilih Jakarta karena di Jakarta banyak galeri dan dekat dengan Bandung sebagai salah satu pusat seniman-seniman bertalenta selain Yogya dan Bali. Kami terbuka untuk bekerjasama dengan seniman, galeri, dan juga art management manapun.
Anda sering bicara soal art management. Seperti apa dan bagaimana art management yang ideal?
Sebuah art management yang ideal dikelola secara profesional sehingga dapat menjawab tantangan ketatnya persaingan global yang dihadapi seniman kita. Ada beberapa kriteria penting sebagai tolok-ukur, yakni: berbadan hukum jelas, menggunakan perjanjian kerjasama tertulis, berorientasi pada presentasi global untuk memperluas networking, serta bertanggung jawab menangani berbagai bidang mulai dari administrasi, dokumentasi, penyediaan sarana dan prasarana berkarya, keuangan, presentasi dan pemasaran karya seniman.
Art management juga membangun terciptanya kode etik relasi antara seniman dengan pihak lain, memberikan edukasi kepada seniman tentang pentingnya komitmen dan menjalankan disiplin yang ketat dalam partnership dengan pihak lain.
Mengenai D’Srisasanti Art Management?
D’ Sisasanti Art Management adalah lembaga manajemen seni di bawah naungan PT. Srisasanti Indonesia yang bertujuan memberikan penawaran partnership jangka panjang di bidang manajerial seniman – manajemen seni bagi para seniman muda Indonesia yang berbakat, agar dapat mengembangkan kariernya menuju apresiasi global-internasional.
Beberapa seniman muda, berbakat dan berprestasi di bawah naungan D’Srisasanti Art Management antara lain: AC Andre Tanama, Agus Riyadi, Ariswan Aditama, Fazar RA Wibisono, Feri Eka Chandra, Gatot Indrajati, Isur Suroso, dan Wadino.
Untuk mewujudkan misi “initiate global appreciation” bagi seniman Indonesia, D’Srisasanti Art Management secara sistematis terus mengembangkan networking-nya dengan berbagai pihak di luar negeri. Salah satunya, bermitra program dengan Artseason, sebuah group gallery yang berkantor pusat di Singapura, dan memiliki jaringan galeri di Beijing-China, Seoul-Korea Selatan, Zurrich-Swiss, Jakarta-Indonesia, dan Singapura. Berbagai program presentasi – exhibition di luar negeri bagi seniman-seniman Indonesia, telah dirancang dan dimulai sejak akhir tahun 2008 lalu.
Kalau ada seniman yang kurang disiplin atau berkhianat, tindakan apa yang diambil?
Kami pernah menghentikan kerjasama dengan seniman yang kurang disiplin, dan memajukannya ke pengadilan. Anda sudah mendirikan PT Indonesia Art Fair. Bisa dipertegas lagi, mau apa dan bagaimana?
Saya memimpikan event Indonesia Art Fair. Event itu dapat digunakan sebagai referensi mengukur sejauh mana kualitas karya seniman Indonesia dibandingkan seniman-seniman dunia. Indonesia Art Fair dapat menjadi etalase untuk menunjukkan potensi seni dan budaya bangsa kita, terutama di bidang seni rupa.
Singapura, yang jumlah dan reputasi senimannya belum sebanding bila dibandingkan dengan Indonesia, telah memiliki event ART Singapore “The Contemporary Asian Art Fair”. Pada 2008 lalu, terdapat lebih dari 65 seniman Indonesia yang karya-karyanya dipresentasikan di ajang art fair tersebut! Apakah seterusnya kita hanya dapat “membonceng” event-event internasional milik negara lain? Apakah seterusnya kita hanya akan lebih diposisikan sebagai pemberi manfaat bagi negara lain?
Saya pribadi atau Srisasanti Syndicate tidak begitu peduli, siapa yang nantinya akan menjadi motor terselenggaranya event Indonesia Art Fair. Badan hukum Indonesia Art Fair dan juga website yang sedang saya siapkan, lebih merupakan upaya “memotivasi” pihak-pihak lain yang lebih berkompeten agar segera merealisasikan Indonesia Art Fair.
Tidak tertutup kemungkinan bagi saya untuk mendonasikan badan hukum dan website yang sedang saya siapkan tersebut.
Kami memiliki art management dengan banyak seniman, hingga kami juga membutuhkan alternatif tempat apresiasi seni selain di Yogya. Kami memilih Jakarta karena di Jakarta banyak galeri dan dekat dengan Bandung sebagai salah satu pusat seniman-seniman bertalenta selain Yogya dan Bali.
Bagaimana kalau PT Indonesia Art Fair berikut websitenya didonasikan ke Masyarakat Seni Rupa Indonesia (MSRI) yang baru terbentuk dalam Diskusi Persiapan-persiapan Internasionalisasi Kesenian Indonesia, yang diselenggarakan Majalah Arti pada 30 Mei lalu di Galeri Nasional?
Kalau MSRI bisa bertindak profesional, dapat mempertanggungjawabkannya, terbuka untuk bekerjasama dengan sebanyak-banyaknya pihak yang memiliki kepentingan sama, kenapa tidak?
Apa mungkin art fair diselenggarakan kalau galeri-galeri di Indonesia belum kompak?
Inilah salah satu kendala yang harus segera kita atasi. Untuk dapat menyelenggarakan event art fair yang berkualitas dan berskala internasional, medan galeri kita – yang dalam beberapa tahun terakhir banyak bermunculan galeri baru – harus berbenah diri. Kita harus memiliki asosiasi galeri yang terbuka untuk menjadi wadah bagi seluruh galeri di Indonesia, dikelola dengan manajemen yang profesional serta mempunyai aturan main dan kode etik yang jelas dan transparan bagi anggotanya.
Bagaimana tentang Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia (AGSI)?
Sebagai sebuah itikad atau niatan, pendirian AGSI harus kita apresiasi positif. Tapi AGSI harus segara berbenah untuk dapat menjadi asosiasi galeri profesional, terbuka bagi seluruh kalangan dan berkomitmen untuk memberikan kontribusi positif bagi perkembangan dunia seni kita.
Mengapa obsesi Anda art fair, bukan biennale atau triennale bersakala nasional dan berwibawa?
Intinya, kehadiran art fair bukan berarti harus meniadakan event seni rupa lainnya, seperti biennale, triennale, ataupun lainnya. Event-event yang berorintasi “murni apresiasi” dan jauh dari kepentingan ekonomi atau pasar, seperti biennale dan triennale, tetap harus terus dikembangkan karena event yang berorientasi apresiasi akan menjadi spirit utama perkembangan dunia seni.
Kia justru sangat ketinggalan dalam mengelola event berkualitas yang berorientasi apresiasi dan sekaligus ekonomi seperti art fair. Kita ketinggalan jauh misalnya dibandingkan China. Pada bulan September 2008 lalu, pihak pemerintah dan pihak swasta di Shanghai, China, dapat berkolaborasi dan bersinergi dalam menyelenggarakan event biennale dan art fair pada saat bersamaan, dan berhasil menarik perhatian ribuan orang dari dalam dan luar negeri hanya dalam kurun waktu kurang dari satu minggu.
Kesimpulannya, baik event murni apresiasi seperti biennale atau triennale maupun yang berorintasi ekonomi seperti art fair, sama pentingnya untuk dikembangkan menjadi berskala internasional, hingga bermanfaat bagi perkembangan dunia seni budaya kita.
betul
ReplyDeletebravo mas eddy n sasantinya kulo mamanps surabaya
ReplyDelete