Friday, January 25, 2013

Hamlet ala Teater Aristokrat

Teater Aristokrat memainkan lakon Hamlet di TIM. Lumayan menghibur walau masih kurang greget di beberapa adegan.

Naskah karya William Shakespeare bisa menjadi jaminan sebuah pertunjukan teater yang digelar, bakal enak ditonton. Ini hanya sebuah asumsi. Memang, naskah yang bagus, bisa memancing para aktor untuk berperan dengan bagus pula.

Asumsi itu tidak meleset ketika Teater Aristokrat mempertontonkan lakon Hamlet yang merupakan mahakarya penulis drama asal Inggris itu. Pertunjukan Hamlet berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada 7 – 9 November 2007 lalu.

Pertunjukan itu berlangsung sekira 345 menit (empat jam kurang seperempat). Ada parameter konvensional untuk menakar sebuah pertunjukan teater dinilai bagus atau tidak, berkenan atau membosankan penonton. Pertunjukan teater yang kurang bagus, biasanya membuat penonton tertidur, dan atau satu per satu meninggalkan gedung pertunjukan. Namun, pertunjukan yang disutradarai Ucok R Siregar itu tidak membuat penonton beranjak dari gedung. Dalam beberapa adegan, terdengar tawa penonton. Ini menjadi indikasi, penonton merespon pertunjukan dengan keterlibatan yang intens.

Sekira dua hari sebelum menonton pertunjukan ini, seorang teman saya berkata, “ngapain nonton Teater Aristokret, permainan mereka kan tidak bagus.” Setelah menonton Hamlet yang mereka bawakan itu, praduga teman saya tidak tepat. Memang, publik teater stakat ini sedang underestimate terhadap kualitas akting para aktor teater. Kualitas akting makin memburuk drastis bila dibandingkan dengan era Arifin C. Noer, Rendra, Suyatna Anirun, Adi Kurdi, Jim Adilimas, Teguh Karya, Putu Wijaya, Riantiarno.

Ada harapan bahwa aktor teater, juga film, akan kembali bertumbuh dengan kualitas yang bisa diandalkan dan benar-benar memikat untuk ditonton. Setidaknya dalam pertunjukan Hamlet, akting Ayez Kassar (pemeran Hamlet), Robinsar H Simanjuntak (Raja Claudius), Epy Kusnandar (Polonius), Ari Kusuma (Ratu Getrude) masih menyajikan akting yang nikmat ditonton. Keempat aktor inilah yang sanggup menjaga irama dari awal hingga akhir, sehingga pertunjukan berjalan stabil. Keempat aktor ini kebetulan menjadi tokoh sentral yang sering muncul.

Tokoh sentral yang juga cukup penting, yaitu Ophelia yang diperankan Rosita memang kurang muncul. Beberapa adegan kunci seperti ketika Ophelia menjadi gila, kurang gereget diperankan oleh Rosita. Ada juga aktor yang melafalkan dialognya terlalu cepat, sehingga suaranya terdengar bergulung-gulung.

Akting paling menghibur adalah yang dimainkan oleh Epy Kusnandar. Banyak-banyaklah ia memerankan adegan-adegan konyol yang humoris. Saya menduga, ada sejumlah akting improvisasi yang dilakukannya untuk menambah daya humor. Improvisasi bukan sesuatu yang haram dalam dunia akting, apalagi sejauh improve itu dilakukan untuk menyelamatkan kecelakaan pentas. Ada sutradara yang mengharamkan improvisasi.
Tetapi untunglah, improvisasi Epy Kusnandar masih terukur, sehingga tidak menciderai pertunjukan teater realis yang membutuhkan kecermatan dan ketepatan.

Pertunjukan Teater Aristokrat memang di luar dugaan saya yang sudah terlanjur ikut-ikutan underestimate. Pertunjukan mereka membuka memori saya pada pertunjukan Julius Caesar, juga lakon gubahan Shakespeare, yang dimainkan Studiklub Teater Bandung (STB) pada 1997. Saat itu, Julius Caesar dimainkan STB dengan sutradara Suyatna Anirun. Naskah Julius Caesar sangat kontekstual dengan kondisi sosial-politik di Tanah Air. Saya merasa terserap oleh jalan cerita yang didedahkan Shakespeare. Konflik batin dalam setiap tokoh, berhasil dibawakan oleh para aktornya, membuat tontonan tiga jam tidak terasa berlalu.

Naskah-nasakah yang digubah Shakespeare, terutama yang bersifat tragedi memang memiliki nilai universal. Meski naskah itu berkisah tentang peradaban manusia berberapa abad yang sudah lewat, namun selalu terasa aktual dan kontekstual sekalipun jaman telah berubah.

Inggris pernah didera krisis di masa Hitler berjaya dan nyaris menduduki Istana Birmingham. Biaya perang cukup besar. Mempertahankan peradaban juga butuh biaya besar. Penguasa Birmingham bertanya kepada anggota parlemen, apakah dana kita yang minim akan digunakan untuk mempertahankan India sebagai daerah koloni atau mempertahankan keharuman Shakespeare. Parlemen memilih Shakespeare. Maka naskah-naskah Shakespeare pun terus digali dan dipromosikan, hingga terkenal ke seluruh penjuru dunia.

Shakespeare (1564 – 1616) adalah dramawan paling populis sepanjang abad. Kehadirannya langsung meruntuhkan dominasi para penulis naskah teater klasik dari Yunani seperti Homers atau Aristophanes. Sebelum bermunculan naskah Shakespeare, para penulis Yunani adalah referensi naskah paling sering dimainkan untuk pertunjukan teater. Lakon-lakon Shakespeare kini belum tertandingi popularitasnya, sehingga menjadi lakon paling banyak dipanggungkan maupun difilmkan.

Pertunjukan Hamlet oleh Teater Aristokrat, nampak sudah berusaha diselenggarakan dengan pendekatan sosio-kultur seperti yang diamanatkan Shakespeare. Seting Eropa dalam lakon Hamlet, berusaha diwujudkan dalam pertunjukan ini. Hal itu terlihat pada artistik panggung, kostum, ilustrasi musik, tarian, dan gesture bangsawan yang semuanya mencitrakan peradaban Eropa di abad pertengahan.

Ilustrasi musik dihadirkan dalam bentuk orkestrasi gitar. Penata musik Amra Reza, mengadirkan lebih dari 10 pemetik gitar klasik. Permainan musik itu sendiri, sudah bisa menjadi konser yang merdu untuk didengarkan.

Dari awal hingga akhir, pertunjukan Hamlet oleh Teater Aristokrat, berhasil menemukan bentuk baku. Ini wajar, toh personel Teater Aristokrat adalah mahasiwa dan dosen yang belajar-mengajar teater di Jurusan Teater, IKJ. Tentulah ada bagian-bagian yang perlu mendapat perhatian dan perbaikan seandainya lakon ini kembali dimainkan, yaitu pada kata-kata atau kalimat-kalimat kunci yang menjadi sumber konflik. Harus selalu disadari, hakikat sebuah drama (naskah teater) terdapat pada konflik yang dijalinnya. Beberapa konflik menjadi kurang tajam dalam pertunjukan ini, karena kurang mendapatkan penegasan melalui pelafalan atau gerak tubuh.

Sebagai misal, pura-pura gilanya Hamlet, kurang diperankan dengan liar oleh Ayez. Hamlet dalam keadaan normal dan gila, belum nampak berbeda secara kontrastif. Kontrastif berperan ini menjadi bagian dari konflik itu sendiri.

Shakespeare adalah rajanya merajut konflik, dan membuat cerita berbingkai yang tetap tanpa kehilangan konflik. Karena itu, untuk para aktor teater yang memang benar-benar ingin menjadi aktor profesional, harus pernah merasakan bermain teater dengan lakon gubahan Shakespeare.


Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Koktail (sekrang tabloid ini sudah tutup usia).

1 comment:

  1. Hey I аm so hаppy I found уouг
    weblоg, I reаlly found you bу mistaκe, whіle Ι waѕ searсhing
    on Βіng foг somеthing else, Anyhow I am here now and woulԁ јust lіke tо sаy thanκ you foг a incгedible poѕt anԁ a all rounԁ interesting blog (I also love the theme/design), I
    don�t hаνe time to go through it all at the moment but I
    hаvе bοokmarked it аnd also inсluded уour RSS
    feeԁs, so when I have time I will be bаck tо read
    muсh moгe, Рlеase ԁo keep up the gгeat
    jο.

    Alsο visit my web blog; Fathers Day Gift Baskets

    ReplyDelete

tulisan yang nyambung