Monday, October 17, 2011

Teater Campur-Baur

sumber foto: theresajackson.multiply.com
Kolaborasi beberapa seniman dari Indonesia dan luar negeri pada panggung teater, belum menemukan artikulasi yang pas.

TEMPAT suci Desa Rancamaya suatu ketika. Hari mulai terang tanah. Di pagi yang masih buta, gadis bernama Dewi nampak bubulucun (telanjang bulat), kemudian jebrus saja ke mata air yang berada di tempat suci itu.

Ujang yang tidur semalam bersama sahabatnya, Alex, di dekat mata air itu, untuk tetirah agar beraih hikmah dari Dewi Sri Poaci, terbangunlah ia, dan melihat Dewi yang sedang mandi telanjang. Alex dibangunkan. Alex menduga, perempuan itu pastilah jelmaan Nyai Sri Pohaci, yaitu Dewi Padi dalam kepercayaan masyarakat Hindu.

Ujang membantah. Perempuan itu bukan jelmaan Sri Pohaci. Tapi menusia beneran yang bernama Dewi, warga kampung yang ia kenali, yang pernah dipangkunya saat Dewi menjadi Puteri Panen di suatu pesta musim panen yang sudah lama lewat beberapa musim. Saat pesta itu, Ujang tertunjuk menjadi pemikul Puteri Panen di bahunya.
Ujang kemudian memperkenalkan Alex kepada Dewi, dan menikahkannya untuk membuktikan bahwa Dewi bukanlah peri. Alex sering mendapati Dewi menerawang, dan menyebut-nyebut nama Ujang di dalam mimpinya. Alex jadi curiga, mungkin Dewi menyesal tidak menikah dengan Ujang.

Pada suatu hari, dibuatlah rencana, yaitu bertamasya bertiga ke Sanghiangtikoro (tempat sungai menembus bukit, dan mengalir kembali di seberang bukit). Di sana, Alex bersemedi. Saat itulah Alex semakin menyadari telah berbuat salah dengan menikahi Dewi. Ia pun bunuh diri.

Ujang yang mendapati Alex bunuh diri, akhirnya ikut-ikutan bunuh diri, sebab ia takut dipersalahkan telah membunuh temannya. Dewi yang menemui kedua orang itu telah bergelimang darah, berencana ikut bunuh diri. Saat hendak bunuh diri, datanglah penjelmaan Nyai Sri Pohaci. Nyai mengingatkan kepada Dewi bahwa ia sedang mengandung, karena itu jangan gegabah bunuh diri.

Atas permintaan Dewi, Nyai menghidupkan kembali dua orang mati itu. Namun, terdapat kesalahan. Kepala Ujang berada pada tubuh Alex, dan kepala Alex disangga oleh badan Ujang. Kedua orang yang kembali hidup itu akhirnya bingung, siapa sebenarnya yang menjadi ayah syah bagi Dewi.

Di saat kebingungan itu, berangkatlah mereka menemui dukun yang bisa mengatasi berbagai persoalan. Sang dukun sempat kasmaran oleh kemolekan Dewi. Tetapi akhirnya bisa memberikan solusi, bahwa kepala adalah yang memerintah seluruh badan. Karena itu, yang menjadi ayah bagi anak Dewi adalah siapa yang memiliki kepala. Maka orang yang berkepala Alex dan bertubuh Ujang itulah bapaknya anak Dewi.

Tapi ujang tidak terima. Dan berkelahilah Ujang dan Alex.

Itulah sari cerita dalam The Tangled Garden yang dipentaskan oleh Sidetrack Performance Group (Australia), bekerjasama dengan Central Cultural Ledeng (CCL) Bandung. Lakon itu dipentaskan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, pada 10 – 11 Agustus 2007 lalu.

Bila dijabarkan dalam teks, lakon ini akan nampak sederhana. Namun, dalam pementasan, lakon ini nampak liar, bahkan sedikit vulgar. Ada kata-kata yang jorok, menyelusup ke dalam pertunjukan. Tapi penonton tertawa mendengar kata-kata yang jorok itu.

Memang, pada tradisi Sunda, pemujaan terhadap dewi padi yang diyakini menjadi sumber suburnya tanaman, diejawantahkan secara verbal, dan pada beberapa adegan amat vulgar.

Sebagai misal, di daerah Sumedang, salah satu kabupaten di Jawa Barat, ada alat musik tarawangsa, atau oleh masyarakat setempat sering juga disebut ngok ngek atau jentreng. Instrumen musik ini menjadi salah satu pengiring upacara tanam padi.
Upacara digelar selepas magrib hingga siang hari, hingga tanam padi pertama sebagai simbolis, usai digelar. Upacara ini diikuti oleh berbagai usia. Namun, menjelang dini hari, peserta upcara yang diperkenankan hanya mereka yang sudah berumah tangga. Sebab, setelah dini hari hingga subuh, upacara ini mulai memasuki adegan-adegan sensual nan-hot. Ada di antaranya tarian sanggama yang ditarikan oleh pasangan laki-perempuan. Semua ini merupakan simbolisasi dari kesuburan itu.

Simbolisasi itu kemudian menjadi inspirasi untuk pertunjukan multikultural. Naskah The Tangled Garden ditulis oleh Don Mamouney dari Australia. Pementasannya disutradarai oleh Carlos Gomes, sutradara dari Brazil. Di Brazil, juga terdapat masyarakat yang percaya pada tahayul dan perdukunan, pada tetirah dan ziarah ke kuburan leluhur.

Tata gerak aktor dikoreografi oleh Iman Soleh, aktor dan sutradara dari Bandung. Para pemainnya adalah Gusjur Mahesa (orang Nganjuk yang sudah lama tinggal di Bandung), Dedi Warsana (Bandung), Maryam Supraba (Bandung), Alex Blias (Australia), Monica Wulff (Australia).

Di belakang pangung bagian atas, terdapat layar untuk menampilkan gambar video art, foto, dan text cerita dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Karya video art digarap oleh Assa Abdi (Palestina) yang merekam pemandangan di Jawa Barat.

Para seniman agaknya mulai jenuh dengan pakem-pakem kesenian yang sudah mapan, dan dicarilah alternatif-alternatif bahasa estetik. Mengkolaborasikan berbagai bentuk seni tradisi ke dalam suatu pertunjukan, sehingga menjadi kemasan kontemporer, adalah alternatif yang kini sedang digandrungi para seniman avantgardist. Seperti itulah yang terbaca pada pertunjukan The Tangled Garden.

Konsep The Tangled Garden mencoba meminjam gaya longser, yaitu teater tradisi gaya masyarakat Sunda. Longser ini sejenis dengan makyong (Riau),  ludruk (Jawa Timur), lenong (Betawi), ketoprak (Jawa Tengah), dan teater-teater tradisi lain di Nusantara. Pada pertunjukan longser, jarak antara pemain dan penonton coba dihapuskan, sehingga terjadi komunikasi antara keduanya. Lalu, humor dan parodi mendapatkan porsi yang cukup tinggi. Demikianlah The Tangled Garden diusung.

Salah satu lelucon dalam The Tangled Garden, selain diksi-diksi porno, adalah dialog antara Ujang dalam bahasa Melayu yang sesekali diselingi bahasa Sunda, dengan Alex yang menggunakan bahasa Inggris.

Sebagai drama komedi, pertunjukan The Tangled Garden telah sukses mengundang tawa penonton. Tapi pertunjukan teater bukan sekadar mendulang tawa, harus pula ada artikulasi yang tegas untuk menyampaikan pesan yang hendak diusung. Pada pertunjukan ini, artikulasi itu masih terlalu kabur.

Tulisan ini pernah dimuat di koran Jurnal Nasional edisi Minggu.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung