Teks Doddi Ahmd Fauji
Bahkan tanpa pelatih pun, bisa saja pemain Brasilia menjadi Juara Piala Dunia 2002. Sebab materi pemain Brasil saat itu bertaburan pemain yang agresif, lincah dalam dribbling bola, dan memiliki naluri mencetak gol yang tinggi dengan tendangan yang akurat. Juga yang perlu dicatat dengan hurup bold, kerjasama antar-pemain cukup erat, sebab sepak bola Brasil dibangun dengan landasan paguyuban alias sepak bola tim.
Bekerjasama sudah menjadi naluri para pemain Brasil. Bekerjasama lebih penting dari sekadar memanjakan striker yang bermalas-malasan nongkrong sambil menerima umpan di daerah lawan. Striker malas lebih sering terjebak offside. Sepak bola Brasil bukan sepakbola individual ala pemain Inggris tempo dulu yang dikenal dengan prinsip kick and rush. Kerjasama yang kompak dan rapi lebih utama dari sekadar mencetak gol.
Begitulah yang saya lihat dari Brasilia pada Piala Dunia 1986 hingga 1994. Zico, Romario, Bebeto adalah striker andalan. Tetapi yang mencetak bola, boleh siapapun.
Prinsip-prinsip di atas dikemas dalam filsafat bola Brasil, yaitu jogo bonito (olahraga sambil berkesenian). Jadi, bagi masyarakat Brasil, belum bisa disebut sepakbola kalau tidak menghibur penonton. Demi menghormati dan menjalankan prinsip itu, bertahun-tahun Brasil gigit jari. Baru pada 1994, Brasilia kembali memetik hasil. Pada tahun 1994, kesebelasan yang lolos ke-8 besar adalah tujuh dari Eropa, dan hanya Brasil yang mewakili Amerika. Namun, dengan segala keindahannya bermain bola, Brasilia berhasil membungkam Italia yang bermain dengan prinsip defensif.
Namun pada 2001, Federasi Sepakbola Brasil (CBF) tiba-tiba merestui veteran yang semasa masih menjadi prajurit dikenal dengan julukan kaki kayu. Disebut kaki kayu, karena kakinya memang siap memalang kaki lawan dalam duel yang melahirkan bentrokan keras. Sebab kakinya kuat, ia pun ditaruh jadi pemain belakang. Luiz Felipe Scolari nama pemain berjuluk si kaki kayu itu.
Mungkin karena ia terbiasa menjadi back dengan kaki yang kuat, maka ia pun menyeru para pemain binaannya berdasar pengalamannya. Naluri back di mana pun ialah menendang bola sejauh-jauhnya dari daerah pertahanan ketika lawan sudah mendesak. Pokoknya, bola harus terjauh dari garis pelanggaran yang mengurung gawang. Tetapi back juga memiliki naluri melakukan balik menyerang. Ketika seorang back memperoleh bola, dan melihat seluruh pemain musuh sudah masuk ke garis pertahanan, maka ia langsung menggiring bola sekencang-kencangnya menuju gawang lawan.
Naluri-nalurinya itulah yang diterapkan Scolari kepada skuadnya. Brazil dalam binaan Scolari, terlihat menjadi para pebola yang liar dan tidak elegan. Hal itu paling kentara pada diri seorang Roberto Carlos dan Cafu. Wajahnya garang, ternyata permainannya juga sedikit curang. Carlos atau Cafu terbiasa menjambret kaos pemain lawan, atau mendorong tubuh lawan seperti dipraktikan Ballack terhadap pemain belakang Portugal.
Di tangan Scolari, Brasilia memang menang. Namun, ia dikecam oleh pers dan publik sebagai si kasar yang merusak citra dan filsafat jogo bonito. Dia memang si kaki kayu, jadi anak asuhannya juga dicetak mirip dirinya. Hal ini paling kentara ketika ia membina Portugal sejak 2003. Pada Piala Dunia 2006, 14 kartu kuning dan 4 kartu merah dikeluarkan wasit ketika Portugal main karate dengan Belanda, dan salahnya, Belanda terprovokasi untuk melayaninya.
Mungkin tanpa pelatih pun, Brasil tetap bisa jadi juara Piala Dunia pada 2006, sebab pemain Brasil kala itu bertabur pemain yang lincah dengan naluri mencetak gol yang tinggi. Bahkan mungkin tahun 2006 Portugal bisa jadi juara Piala Dunia kalau pelatihnya bukan Scolari.
Nah, saya melihat kekalahan Portugal oleh Jerman dengan suatu kepuasan bahwa pelatih yang suka teriak-teriak dan memaki-maki pemainnya sendiri dari pinggir lapangan, harus dihadapkan pada suatu realitas, yaitu menelan pil pahit menghadapi tim sepakbola yang efektif dengan menyalitas juara.
Jerman adalah satu-satunya tim Eropa yang bermain efektif dengan mentalitas Juara. Jerman-lah yang tiga kali jadi Juara Piala Dunia dan Piala Eropa. Memang Italia empat kali jadi juara Dunia, tetapi kemenangan itu diraih dengan cara yang licik seperti waktu Italia berhadapan dengan Australia pada babak penyisihan Piala Dunia 2006.
Kaki kayu sudahlah, dunia sudah terlalu keras oleh peperangan. Jangan pula sepak bola kau racuni dengan semangat main silat. Biarkan pemain tetap agresif namun lembut nan sportif.
Tulisan ini pernah dimuat di koran Jurnal Nasional
Bahkan tanpa pelatih pun, bisa saja pemain Brasilia menjadi Juara Piala Dunia 2002. Sebab materi pemain Brasil saat itu bertaburan pemain yang agresif, lincah dalam dribbling bola, dan memiliki naluri mencetak gol yang tinggi dengan tendangan yang akurat. Juga yang perlu dicatat dengan hurup bold, kerjasama antar-pemain cukup erat, sebab sepak bola Brasil dibangun dengan landasan paguyuban alias sepak bola tim.
Bekerjasama sudah menjadi naluri para pemain Brasil. Bekerjasama lebih penting dari sekadar memanjakan striker yang bermalas-malasan nongkrong sambil menerima umpan di daerah lawan. Striker malas lebih sering terjebak offside. Sepak bola Brasil bukan sepakbola individual ala pemain Inggris tempo dulu yang dikenal dengan prinsip kick and rush. Kerjasama yang kompak dan rapi lebih utama dari sekadar mencetak gol.
Begitulah yang saya lihat dari Brasilia pada Piala Dunia 1986 hingga 1994. Zico, Romario, Bebeto adalah striker andalan. Tetapi yang mencetak bola, boleh siapapun.
Prinsip-prinsip di atas dikemas dalam filsafat bola Brasil, yaitu jogo bonito (olahraga sambil berkesenian). Jadi, bagi masyarakat Brasil, belum bisa disebut sepakbola kalau tidak menghibur penonton. Demi menghormati dan menjalankan prinsip itu, bertahun-tahun Brasil gigit jari. Baru pada 1994, Brasilia kembali memetik hasil. Pada tahun 1994, kesebelasan yang lolos ke-8 besar adalah tujuh dari Eropa, dan hanya Brasil yang mewakili Amerika. Namun, dengan segala keindahannya bermain bola, Brasilia berhasil membungkam Italia yang bermain dengan prinsip defensif.
Namun pada 2001, Federasi Sepakbola Brasil (CBF) tiba-tiba merestui veteran yang semasa masih menjadi prajurit dikenal dengan julukan kaki kayu. Disebut kaki kayu, karena kakinya memang siap memalang kaki lawan dalam duel yang melahirkan bentrokan keras. Sebab kakinya kuat, ia pun ditaruh jadi pemain belakang. Luiz Felipe Scolari nama pemain berjuluk si kaki kayu itu.
Mungkin karena ia terbiasa menjadi back dengan kaki yang kuat, maka ia pun menyeru para pemain binaannya berdasar pengalamannya. Naluri back di mana pun ialah menendang bola sejauh-jauhnya dari daerah pertahanan ketika lawan sudah mendesak. Pokoknya, bola harus terjauh dari garis pelanggaran yang mengurung gawang. Tetapi back juga memiliki naluri melakukan balik menyerang. Ketika seorang back memperoleh bola, dan melihat seluruh pemain musuh sudah masuk ke garis pertahanan, maka ia langsung menggiring bola sekencang-kencangnya menuju gawang lawan.
Naluri-nalurinya itulah yang diterapkan Scolari kepada skuadnya. Brazil dalam binaan Scolari, terlihat menjadi para pebola yang liar dan tidak elegan. Hal itu paling kentara pada diri seorang Roberto Carlos dan Cafu. Wajahnya garang, ternyata permainannya juga sedikit curang. Carlos atau Cafu terbiasa menjambret kaos pemain lawan, atau mendorong tubuh lawan seperti dipraktikan Ballack terhadap pemain belakang Portugal.
Di tangan Scolari, Brasilia memang menang. Namun, ia dikecam oleh pers dan publik sebagai si kasar yang merusak citra dan filsafat jogo bonito. Dia memang si kaki kayu, jadi anak asuhannya juga dicetak mirip dirinya. Hal ini paling kentara ketika ia membina Portugal sejak 2003. Pada Piala Dunia 2006, 14 kartu kuning dan 4 kartu merah dikeluarkan wasit ketika Portugal main karate dengan Belanda, dan salahnya, Belanda terprovokasi untuk melayaninya.
Mungkin tanpa pelatih pun, Brasil tetap bisa jadi juara Piala Dunia pada 2006, sebab pemain Brasil kala itu bertabur pemain yang lincah dengan naluri mencetak gol yang tinggi. Bahkan mungkin tahun 2006 Portugal bisa jadi juara Piala Dunia kalau pelatihnya bukan Scolari.
Nah, saya melihat kekalahan Portugal oleh Jerman dengan suatu kepuasan bahwa pelatih yang suka teriak-teriak dan memaki-maki pemainnya sendiri dari pinggir lapangan, harus dihadapkan pada suatu realitas, yaitu menelan pil pahit menghadapi tim sepakbola yang efektif dengan menyalitas juara.
Jerman adalah satu-satunya tim Eropa yang bermain efektif dengan mentalitas Juara. Jerman-lah yang tiga kali jadi Juara Piala Dunia dan Piala Eropa. Memang Italia empat kali jadi juara Dunia, tetapi kemenangan itu diraih dengan cara yang licik seperti waktu Italia berhadapan dengan Australia pada babak penyisihan Piala Dunia 2006.
Kaki kayu sudahlah, dunia sudah terlalu keras oleh peperangan. Jangan pula sepak bola kau racuni dengan semangat main silat. Biarkan pemain tetap agresif namun lembut nan sportif.
Tulisan ini pernah dimuat di koran Jurnal Nasional
memang gak ada matinya!!
ReplyDelete