Teks Doddi Ahmd Fauji
BOLA bisa melebur garis etnis. Di ambang bawah sadar, kita bisa mendukung tim kesebelasan negara mana pun yang berlaga di Piala Dunia maupun Euro. Bola juga bisa memupus dendam, atau dengan mudah bola mengajak pemirsa melupakan tragedi kemanusiaan yang pernah berkobar di masa silam. Sangat banyak masyarakat kita yang menjadi pendukung Tim Oranye. Padahal dulu nenek moyang bangsa Bataveen itu telah menekuk leluhur bangsa Nusantara.
Bola memang bisa menjadikan garis etnis terasa usang. "Hari gini mikirin etnis," kurang lebih begitulah bunyinya kalau sepak bola diiklankan. Maka lihatlah, Mauro Camoranessi yang beretnis Argentina, bisa bermain di timnas Italia. Atau para negroid asal Afrika, tampak dominan dalam kesebelasan Prancis.
Giovanni van Bronckhorst disebut-sebut keturunan Maluku yang kini memperkuat tim Oranje. Pada tubuh Rudd Gullit dan Frank Rijkaard mengalir darah Jawa. Pelatih macam Guus Hiddink, mengembara dari negara ke negara underdog. Tempur memperebutkan bola memang tidak berkait dengan diskriminasi etnis, tribalisme, atau rasisme.
Tetapi bola juga bisa menguatkan batas negara, batas regional, dan batas benua. Setiap warga negara akan bangkit menjadi suporter negaranya masing-masing. Di kantor-kantor kedutaan, diadakan nonton bareng, bahkan secara naif menggelar doa bersama dengan harapan tim negaranya bisa menang tanding. Di ambang bawah sadar, banyak sekali bangsa Asia mendukung Korea Selatan. Solidaritas benua atau regional, memang bisa muncul dalam bola, tapi tidak dimaksudkan untuk rasisme atau diskriminasi.
Euro 2008 ini sendiri, turut memperkuat aksentuasi untuk menghapus etnisitas yang beraroma rasisme atau diskriminasi. Di Basel, UEFA dan FARE (Football Against Racism in Europe) berkampanye selama tiga minggu untuk menolak rasisme dan diskriminasi dalam bola.
Kampanye ini didukung oleh banyak pemain, salah satunya kapten tim Swiss, Alexander Frei. Ia berujar, “Rasisme atau bentuk diskriminasi lainnya tidak memiliki tempat dalam sepak bola. Pada Euro 2008 ini, Anda bisa melihat betapa bangsa-bangsa dengan beragam warna kulit, dapat bermain bergandengan.”
Sepak bola memang harus netral dari kepentingan SARA, politik praktis, atau uang. Bola hanya boleh diabdikan bagi suatu jalan untuk memuliakan manusia sebagai manusia. Di luar itu, no way!
Tetapi sekalipun mesti netral, sepak bola tetap menjadi hiburan yang menarik ketika logika matematika dan logika bahasa dijalankan sejaligus. Menurut logika matematika 2 + 2 = 4, sedangkan menurut logika bahasa 2 + 2 = belum tentu 4.
Logika bahasa dan logika matematika ini terjadi pada pertandingan terakhir Grup C, yaitu Belanda melawan Rumania dan Prancis melawan Italia. Menurut logika matematika, Belanda sudah pasti masuk babak berikutnya sebagai juara Grup sekalipun di pertandingan akhir ia dikalahkan oleh Rumania dengan jumlah gol sebanyak-banyaknya. Jika Belanda kalah, otomatis Rumania akan maju, dan Prancis atau Italia hanya menggantang angin. Dengan demikian, Belanda bisa bermain sesantai-santainya dengan mengistirahatkan seluruh pemain inti.
Tapi bukan logika matematika yang digunakan Belanda, melainkan logika bahasa. Belanda tetap menghajar Rumania hingga terpelanting dua gol. Padahal secara pengalaman dan kekuatan di atas kertas, bagaimana pun, tim Italia lebih kuat dari Rumania. Dengan memberi kesempatan kepada Italia, maka Belanda harus bersiap menghadapi kembali skuad Italia yang bisa jadi menang pada semifinal melawan Spanyol.
Bola pada akhirnya memiliki logikanya sendiri, yaitu hasil kalkulasi di atas kertas belum tentu linier dengan realitas di lapangan.
Apa sebetulnya yang diinginkan Belanda? Tentu saja menjadi juara sejati yang fair tanpa main-main dan berkalkulasi dengan logika matematika. Pokoknya, semua lawan harus dihajar habis. Jika pun kelak harus berhadapan lagi dengan Italia, kenapa mesti takut. Hajar lagi saja lagi sampai Italia benar-benar angkat topi.
Melihat fakta di lapangan, saya kurang suka dengan logika orang-orang Italia dalam permainan bola. Saya sering kali melihat, Italia bisa menang atas lawan bila kekuatan tidak berimbang. Bila kekuatan lawan lebih kuat, tabiat orang Italia cenderung defensif. Hal ini bukan ditemukan dalam sepak bola dengan jurus catenaccio, tapi juga dalam permainan catur. Pola-pola pertahanan dan menyerang balik dalam catur, seperti rumus bertahan ala Cicilia varian Sosin, sangat dikenal dalam dunia catur.
Satu hal juga yang saya kurang suka dari sepak bola Italia, selalu melahirkan pemain licik yang anehnya justru menjadi pahlawan bagi bangsa yang dikenal dengan mafiosonya itu. Striker Italia selalu dikenal dengan tukang megat aci (raja offside), misalnya Paolo Rossi, Filippo Inzaghi, terakhir Luca Toni. Jika bukan dikenal raja offside, striker Italia juga pintar diving untuk merebut tiket penalti.
BOLA bisa melebur garis etnis. Di ambang bawah sadar, kita bisa mendukung tim kesebelasan negara mana pun yang berlaga di Piala Dunia maupun Euro. Bola juga bisa memupus dendam, atau dengan mudah bola mengajak pemirsa melupakan tragedi kemanusiaan yang pernah berkobar di masa silam. Sangat banyak masyarakat kita yang menjadi pendukung Tim Oranye. Padahal dulu nenek moyang bangsa Bataveen itu telah menekuk leluhur bangsa Nusantara.
Bola memang bisa menjadikan garis etnis terasa usang. "Hari gini mikirin etnis," kurang lebih begitulah bunyinya kalau sepak bola diiklankan. Maka lihatlah, Mauro Camoranessi yang beretnis Argentina, bisa bermain di timnas Italia. Atau para negroid asal Afrika, tampak dominan dalam kesebelasan Prancis.
Giovanni van Bronckhorst disebut-sebut keturunan Maluku yang kini memperkuat tim Oranje. Pada tubuh Rudd Gullit dan Frank Rijkaard mengalir darah Jawa. Pelatih macam Guus Hiddink, mengembara dari negara ke negara underdog. Tempur memperebutkan bola memang tidak berkait dengan diskriminasi etnis, tribalisme, atau rasisme.
Tetapi bola juga bisa menguatkan batas negara, batas regional, dan batas benua. Setiap warga negara akan bangkit menjadi suporter negaranya masing-masing. Di kantor-kantor kedutaan, diadakan nonton bareng, bahkan secara naif menggelar doa bersama dengan harapan tim negaranya bisa menang tanding. Di ambang bawah sadar, banyak sekali bangsa Asia mendukung Korea Selatan. Solidaritas benua atau regional, memang bisa muncul dalam bola, tapi tidak dimaksudkan untuk rasisme atau diskriminasi.
Euro 2008 ini sendiri, turut memperkuat aksentuasi untuk menghapus etnisitas yang beraroma rasisme atau diskriminasi. Di Basel, UEFA dan FARE (Football Against Racism in Europe) berkampanye selama tiga minggu untuk menolak rasisme dan diskriminasi dalam bola.
Kampanye ini didukung oleh banyak pemain, salah satunya kapten tim Swiss, Alexander Frei. Ia berujar, “Rasisme atau bentuk diskriminasi lainnya tidak memiliki tempat dalam sepak bola. Pada Euro 2008 ini, Anda bisa melihat betapa bangsa-bangsa dengan beragam warna kulit, dapat bermain bergandengan.”
Sepak bola memang harus netral dari kepentingan SARA, politik praktis, atau uang. Bola hanya boleh diabdikan bagi suatu jalan untuk memuliakan manusia sebagai manusia. Di luar itu, no way!
Tetapi sekalipun mesti netral, sepak bola tetap menjadi hiburan yang menarik ketika logika matematika dan logika bahasa dijalankan sejaligus. Menurut logika matematika 2 + 2 = 4, sedangkan menurut logika bahasa 2 + 2 = belum tentu 4.
Logika bahasa dan logika matematika ini terjadi pada pertandingan terakhir Grup C, yaitu Belanda melawan Rumania dan Prancis melawan Italia. Menurut logika matematika, Belanda sudah pasti masuk babak berikutnya sebagai juara Grup sekalipun di pertandingan akhir ia dikalahkan oleh Rumania dengan jumlah gol sebanyak-banyaknya. Jika Belanda kalah, otomatis Rumania akan maju, dan Prancis atau Italia hanya menggantang angin. Dengan demikian, Belanda bisa bermain sesantai-santainya dengan mengistirahatkan seluruh pemain inti.
Tapi bukan logika matematika yang digunakan Belanda, melainkan logika bahasa. Belanda tetap menghajar Rumania hingga terpelanting dua gol. Padahal secara pengalaman dan kekuatan di atas kertas, bagaimana pun, tim Italia lebih kuat dari Rumania. Dengan memberi kesempatan kepada Italia, maka Belanda harus bersiap menghadapi kembali skuad Italia yang bisa jadi menang pada semifinal melawan Spanyol.
Bola pada akhirnya memiliki logikanya sendiri, yaitu hasil kalkulasi di atas kertas belum tentu linier dengan realitas di lapangan.
Apa sebetulnya yang diinginkan Belanda? Tentu saja menjadi juara sejati yang fair tanpa main-main dan berkalkulasi dengan logika matematika. Pokoknya, semua lawan harus dihajar habis. Jika pun kelak harus berhadapan lagi dengan Italia, kenapa mesti takut. Hajar lagi saja lagi sampai Italia benar-benar angkat topi.
Melihat fakta di lapangan, saya kurang suka dengan logika orang-orang Italia dalam permainan bola. Saya sering kali melihat, Italia bisa menang atas lawan bila kekuatan tidak berimbang. Bila kekuatan lawan lebih kuat, tabiat orang Italia cenderung defensif. Hal ini bukan ditemukan dalam sepak bola dengan jurus catenaccio, tapi juga dalam permainan catur. Pola-pola pertahanan dan menyerang balik dalam catur, seperti rumus bertahan ala Cicilia varian Sosin, sangat dikenal dalam dunia catur.
Satu hal juga yang saya kurang suka dari sepak bola Italia, selalu melahirkan pemain licik yang anehnya justru menjadi pahlawan bagi bangsa yang dikenal dengan mafiosonya itu. Striker Italia selalu dikenal dengan tukang megat aci (raja offside), misalnya Paolo Rossi, Filippo Inzaghi, terakhir Luca Toni. Jika bukan dikenal raja offside, striker Italia juga pintar diving untuk merebut tiket penalti.
No comments:
Post a Comment