Teks Doddi Ahmd Fauji
Kembalikan ruh sepak bola dari cengkeraman penjudi dan para fasis.
SUDAH waktunya sport atau olahraga dikembalikan pada tujuan utamanya, yaitu menyehatkan raga dan jiwa masyarakat. Sebagaimana bunyi salah satu semboyan atletik yang sudah dirangkai 2000 tahun sebelum Yesus lahir: Mens sana in corpore sano (di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat).
Olahraga ternyata bukan semata sport yang harus ditunaikan secara sportif. Olahraga adalah teater peradaban. Sebermula dicetuskan, olahraga memang diniatkan untuk menyehatkan jiwa sambil menguras common sense. Dalam bahasa bersahaja, olahraga adalah untuk menjalin perdamaian dan kemasalahatan umat manusia. Begitulah keyakinan saya ketika merenung di reruntuhan gimnasium Olimpia, nun jauh di Yunani sana pada 2003 silam.
Reruntuhan gimnasium itu adalah saksi bisu bahwa pada masa itu, Olimpiade klasik yang penyelenggaraannya dirintis oleh bangsa pendahulu peradaban modern, Yunani, dimaksudkan untuk musyawarah kebudayaan.
Setiap bangsa yang diundang ke Olimpia, diminta untuk menampilkan seni budaya mereka. Terjadilah silaturahmi kreativitas, tukar gagasan, saling menyalakan semangat, dan saling memberi arti. Di sela pertunjukan, ada seminar peradaban untuk mengukur pencapaian akal budi. Sesi terakhir dari olimpiade adalah eksibisi (pamer) sport. Jenis olahraga yang dipertunjukkannya masih sederhana, yaitu lari sprint, lempar lembing, dan lompat galah.
Juga olimpiade klasik dirancang untuk menghormati ibu dari segala dewa orang Yunani: Zeus. Jadi olimpiade yang menjadi ibu dari segala olahrga modern, juga merupakan rangkaian ibadat untuk menyembah Panteon.
Peradaban berubah seiring dengan laju waktu. Olimpiade klasik mati. Baru pada 1896, bangsa Yunani kembali menggagas olimpiade dengan warna yang lain. Sport jadi penekanan utama, dan konferensi kebudayaan mulai tersisih. Sekarang, peristiwa kebudayaan dalam olimapiade hanya sisipan. Ini harus disebut sebagai kemunduran fitrah kemanusiaan yang mencintai perdamaian.
Kemunduran fitrah kemanusiaan dalam sesi olahraga ini, terjadi seiring bangkitnya para despotan yang fasis, para otoritarian yang totaliter, atau orang-orang gila yang hendak mengangkangi dunia. Bila kita beberkan nama mereka, tentulah panjang.
Namun bisa kita sebut tokoh-tokoh paling menonjol di pergantian dari abad 19 ke 20, antara lain: Benito Mussolini (Italia), Adolf Hitler (Jerman), Joseph Stalin (Rusia), Primo de Rivera dan Jenderal de Franco (Spanyol), Fulgencio Baptista (Kuba), Juan Peron (Argentina), dan lain-lain.
Dari sekian orang gila itu, paling sohor tentulah Adolf Hitler yang konon perancang holocaust, menyusul kemudian Joseph Stalin yang mengorbankan tujuh juta jiwa manusia dalam revolusi Bolshevik.
***
Ini kabar memang masih konon. Menurut "si Konon", Mussolini memprovokasi panitia penyelenggara untuk melakukan segala upaya agar Italia bisa menjadi juara pada Piala Dunia kedua (1934). Strategi yang dilakukan Musolini amat vulgar, yaitu memberikan status warganegara Italia kepada para pemain potensial dari negara lain, misalnya kepada Luis Monti dan Raimundo Ors dari Argentina.
Hitler, manusia paling dibenci oleh warga Jerman yang beradab, pada Piala Dunia 1938 di Prancis menggunakan taktik yang lebih licik. Ia menginvasi Austria pada 1936, dan membujuk para pemain terbaik Austria untuk gabung dengan Jerman pada piala Dunia 1938.
Bintang Austria paling bersinat saat itu, Matthias Sindelar, dibujuk. Namun ia enggan mengikuti keinginan sang Diktator. Akibatnya, muncul tragedi paling mengerikan dalam sejarah Piala Dunia, Sindelaar ditemukan bunuh diri. Tapi bisa jadi ia dibunuh.
Piala Dunia keempat yang sedianya berlangsung pada 1942, gagal terlaksana akibat Perang Dunia meletus dan menyeret hampir seluruh Negara Eropa ke dalam pembunuhan sadis.
Sepak bola ada baiknya segera dikembalikan pada jati diri utamanya, yaitu memuliakan kemanusiaan dan merajut perdamaian. Tapi sepak bola sudah telanjur menjadi industri, dan setiap industri selalu menghendaki metode kapitalisasi untuk mereguk keuntungan sebesar-besarnya.
Betapa menyedihkan ketika para pemain bola tunduk kepada kehendak para cukong yang menjadi bandar judi. Kematian Andres Escobar dari Kolombia usai Piala Dunia 1994 akibat gol bunuh diri, benar-benar dirancang oleh para kapitalis penjudi.
Sungguh menyedihkan para pemain yang lembut, murah senyum, tidak suka marah, tidak kasar seperti Leonel Messi atau Cristiano Ronaldo, harus alfa berlaga karena lututnya dicederai oleh pemain lawan suruhan para cukong.
Kekalahan Jerman 1- 2 atas Kroasia, semoga menyadarkan para pelaku bola, bahwa kemenangan janganlah menjadi satu-satunya tujuan dari permainan bola. Marilah kita kenangkan sebuah nyanyian gubahan Heinrich Hoffmann von Fallersleben (1841) yang berbunyi Deutschland über Alles (Jerman di atas segala-galanya) adalah igauan orang sinting bergelar Der Fuhrer.
Kembalikan ruh sepak bola dari cengkeraman penjudi dan para fasis.
SUDAH waktunya sport atau olahraga dikembalikan pada tujuan utamanya, yaitu menyehatkan raga dan jiwa masyarakat. Sebagaimana bunyi salah satu semboyan atletik yang sudah dirangkai 2000 tahun sebelum Yesus lahir: Mens sana in corpore sano (di dalam badan yang sehat terdapat jiwa yang kuat).
Olahraga ternyata bukan semata sport yang harus ditunaikan secara sportif. Olahraga adalah teater peradaban. Sebermula dicetuskan, olahraga memang diniatkan untuk menyehatkan jiwa sambil menguras common sense. Dalam bahasa bersahaja, olahraga adalah untuk menjalin perdamaian dan kemasalahatan umat manusia. Begitulah keyakinan saya ketika merenung di reruntuhan gimnasium Olimpia, nun jauh di Yunani sana pada 2003 silam.
Reruntuhan gimnasium itu adalah saksi bisu bahwa pada masa itu, Olimpiade klasik yang penyelenggaraannya dirintis oleh bangsa pendahulu peradaban modern, Yunani, dimaksudkan untuk musyawarah kebudayaan.
Setiap bangsa yang diundang ke Olimpia, diminta untuk menampilkan seni budaya mereka. Terjadilah silaturahmi kreativitas, tukar gagasan, saling menyalakan semangat, dan saling memberi arti. Di sela pertunjukan, ada seminar peradaban untuk mengukur pencapaian akal budi. Sesi terakhir dari olimpiade adalah eksibisi (pamer) sport. Jenis olahraga yang dipertunjukkannya masih sederhana, yaitu lari sprint, lempar lembing, dan lompat galah.
Juga olimpiade klasik dirancang untuk menghormati ibu dari segala dewa orang Yunani: Zeus. Jadi olimpiade yang menjadi ibu dari segala olahrga modern, juga merupakan rangkaian ibadat untuk menyembah Panteon.
Peradaban berubah seiring dengan laju waktu. Olimpiade klasik mati. Baru pada 1896, bangsa Yunani kembali menggagas olimpiade dengan warna yang lain. Sport jadi penekanan utama, dan konferensi kebudayaan mulai tersisih. Sekarang, peristiwa kebudayaan dalam olimapiade hanya sisipan. Ini harus disebut sebagai kemunduran fitrah kemanusiaan yang mencintai perdamaian.
Kemunduran fitrah kemanusiaan dalam sesi olahraga ini, terjadi seiring bangkitnya para despotan yang fasis, para otoritarian yang totaliter, atau orang-orang gila yang hendak mengangkangi dunia. Bila kita beberkan nama mereka, tentulah panjang.
Namun bisa kita sebut tokoh-tokoh paling menonjol di pergantian dari abad 19 ke 20, antara lain: Benito Mussolini (Italia), Adolf Hitler (Jerman), Joseph Stalin (Rusia), Primo de Rivera dan Jenderal de Franco (Spanyol), Fulgencio Baptista (Kuba), Juan Peron (Argentina), dan lain-lain.
Dari sekian orang gila itu, paling sohor tentulah Adolf Hitler yang konon perancang holocaust, menyusul kemudian Joseph Stalin yang mengorbankan tujuh juta jiwa manusia dalam revolusi Bolshevik.
***
Ini kabar memang masih konon. Menurut "si Konon", Mussolini memprovokasi panitia penyelenggara untuk melakukan segala upaya agar Italia bisa menjadi juara pada Piala Dunia kedua (1934). Strategi yang dilakukan Musolini amat vulgar, yaitu memberikan status warganegara Italia kepada para pemain potensial dari negara lain, misalnya kepada Luis Monti dan Raimundo Ors dari Argentina.
Hitler, manusia paling dibenci oleh warga Jerman yang beradab, pada Piala Dunia 1938 di Prancis menggunakan taktik yang lebih licik. Ia menginvasi Austria pada 1936, dan membujuk para pemain terbaik Austria untuk gabung dengan Jerman pada piala Dunia 1938.
Bintang Austria paling bersinat saat itu, Matthias Sindelar, dibujuk. Namun ia enggan mengikuti keinginan sang Diktator. Akibatnya, muncul tragedi paling mengerikan dalam sejarah Piala Dunia, Sindelaar ditemukan bunuh diri. Tapi bisa jadi ia dibunuh.
Piala Dunia keempat yang sedianya berlangsung pada 1942, gagal terlaksana akibat Perang Dunia meletus dan menyeret hampir seluruh Negara Eropa ke dalam pembunuhan sadis.
Sepak bola ada baiknya segera dikembalikan pada jati diri utamanya, yaitu memuliakan kemanusiaan dan merajut perdamaian. Tapi sepak bola sudah telanjur menjadi industri, dan setiap industri selalu menghendaki metode kapitalisasi untuk mereguk keuntungan sebesar-besarnya.
Betapa menyedihkan ketika para pemain bola tunduk kepada kehendak para cukong yang menjadi bandar judi. Kematian Andres Escobar dari Kolombia usai Piala Dunia 1994 akibat gol bunuh diri, benar-benar dirancang oleh para kapitalis penjudi.
Sungguh menyedihkan para pemain yang lembut, murah senyum, tidak suka marah, tidak kasar seperti Leonel Messi atau Cristiano Ronaldo, harus alfa berlaga karena lututnya dicederai oleh pemain lawan suruhan para cukong.
Kekalahan Jerman 1- 2 atas Kroasia, semoga menyadarkan para pelaku bola, bahwa kemenangan janganlah menjadi satu-satunya tujuan dari permainan bola. Marilah kita kenangkan sebuah nyanyian gubahan Heinrich Hoffmann von Fallersleben (1841) yang berbunyi Deutschland über Alles (Jerman di atas segala-galanya) adalah igauan orang sinting bergelar Der Fuhrer.
No comments:
Post a Comment