Tuesday, September 27, 2011

Veni, Vidi, Tinggal Vici

Teks Doddi Ahmd Fauji

Hingga saat ini, gelar terbaik untuk Portugal adalah hampir vici (nyaris menang). Beberapa kali mereka tampil hebat di babak awal. Veni dan Vidi. Datang menggebrak, mendobrak, melabrak, dan mencetak gol yang cukup produktif. Namun di penghujung tanding, mereka hanya bisa gigit jari.

Nyaris juara, itulah prestasi terbaik yang pernah diraih bangsa penjelajah benua itu. Mereka nyaris menjadi juara dunia ketika seorang imigran dari Mozambik terdampar di Lisabon. Eusabio da Silva Ferreira nama imigran itu. Dialah legenda hidup sepak bola Portugal.

Semasa berkarier, si The Black Panther pernah mencetak goal sebanyak 727 dalam 715 tanding. Tetapi da Silva pun hanya berhasil membawa Portugal jadi Juara III pada 1966. Di piala Eropa, bahkan ia tidak berhasil mengukir prestasi untuk bangsa Porto ini. Hingga saat ini, ia masih bisa nongkrong di kursi penonton, tersorot kamera dengan wajah sedang merenggut atau mengumbar senyum puas.

Usai da Silva Ferreira pensiun, sepak bola Portugal terlelap lama sekali. Mereka baru bangkit kembali ketika tim nasional digodok oleh pelatih kasar asal Brasil: Luiz Felipe Scolari. Disebut kasar, karena pelatih yang satu ini sepertinya memandang lapangan bola sama dengan meja perjudian. Kemenangan hanyalah tujuan satu-satunya dari judi.

Juga bagi Scolari, kemenangan adalah tujuan satu-satunya dari bola. Ambisinya itu memang tercapai ketika ia berhasil membawa Brasil kembali jadi Juara Dunia FIFA 2002 setelah di partai final berhasil mementalkan Italia dengan susah payah.

Disebut kasar, karena Scolari adalah orang yang harus bertanggung jawab dalam membunuh karakter sepak bola Brasil yang indah, yang merupakan perpaduan entertainment dengan sport.

Jogo bonito (olahraga sambil menari), itulah gaya sepak bola Brasil. Kepuasan bermain dengan mengandalkan seluruh teknik yang dimiliki, sehingga sepak bola benar-benar atraktif menyerupai sirkus, menjadi tujuan yang tak terpisahkan ketika Pele meletakkan dasar-dasar sepak bola negeri kopi itu. Menghibur penonton melalui atraksi yang memikat, adalah ruh jogo bonito. Tetapi jogo bonito memiliki kelemahan. Karena terlalu asyik main sirkus, mereka lupa mencetak gol.

Scolari tampil dengan membawa Brasil ke dalam permainan yang brutal bagi para fanatis jogo bonito. Pele ikut mengkritik pedas konsep Scolari. Permainan brutal itu, sialnya, membawa Brasil berhasil. Namun dampaknya, agresifitas, atraksi, bahkan sportivitas, nyaris lindap di lapangan hijau. Sport berubah jadi game. Dan yang namanya permainan, tekadang menghalalkan cara-cara yang kasar.

Kalau kita amati lebih jeli, timnas Brasil asuhan Scolari memang kasar, lengannya suka menjambret kaus lawan, atau menjegal dengan tackle yang keras.

Di tangan Scolari pula, para pemain Portugal bermain amat radikal. Tentu sulit melupakan pertandingan Portugal versus Belanda pada Piala Dunia 2006 lalu, di mana anak-anak Portugal memprovokasi pemain Bataveen sehingga wasit mengeluarkan 14 kartu kuning dan empat kartu merah. Ini adalah kartu terbanyak yang pernah dikeluarkan wasit sepanjang sejarah sepak bola.

Kemarin pun, ketika Portugal menjajal Chek, kekasaran itu terjadi. Ada pemain sengaja mengindak jati lawan yang sudah tersungkur, atau menendang pantat secara disengaja. Untunglah orang Chek yang dikenal ramah, tidak terprovokasi, sehingga kekasaran tidak berlarut-larut.

Portugal memang hebat. Tapi berhadapan dengan Chek, mereka yang harus disebut sebagai tim penjajal, sebab dalam karier persepakbolaan, prestasi Ceko lebih bagus. Pernah jadi Juara Eropa ketika mereka masih bergabung dengan bangsa Slavia dalam pemerintahan Cekoslowakia (1976). Mereka pernah jadi runner up Piala Dunia pada 1934 dan 1962.

Sebagai penjajal, Portugal berhasil membekuk Ceko 3-1. Tapi apakah Portugal kali ini bakal jadi Juara?
Saya teringat kepada Alfonso D'Albuquerque. Dialah yang mencetuskan ungkapan gold, glory, gospel ketika akan menjelajahi benua. Dialah yang menyeret bangsa Eropa untuk mencengkeram dunia selama lima abad dalam ketiak mereka. Namun, D'Albuquerque tidak berhasil menempatkan bangsa Portugis sebagai bangsa yang paling jaya di Eropa.

Portugal nyaris mencapai kata vici. Tapi kata vici memang sulit dicapai, sebab ungkapan ini dicetuskan oleh Julius Cesar dari Roma, Italia, sekira tahun 47 Masehi. Karena itu, di jagat sepak bola, Italia lebih berjaya: empat kali Juara Dunia, dan sekali Juara Eropa (1968), sedangkan prestasi Portugal hingga saat ini baru sebatas hampir vici.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung