Tuesday, September 27, 2011

Itallieur: Heil Oranye!

Teks Doddi Ahmd Fauji

Warna kostum bisa menjadi determinasi kemenangan sebuah tim.

Para pengeran keturunan Rinus Michel berhasil mengubur sejarah buruk teknik sepak bola catenaccio yang dibidani oleh Helenio Herrera. Catenacio atau total defensive bukan hanya melelahkan mata penonton, tapi memalukan para pejantan. Walau sepak bola kini bukan dominasi para pejantan, namun sepakbola identik dengan kejantanan. Kemampuan men-dribble, mengecoh lawan, dan terutama menyarangkan bola ke gawang lawan, menjadi determinasi untuk menakar kejantanan seorang pemain. Paras wajah seakan nomor belakang. Maka tak perlu heran kalau banyak model cantik kelas dunia, jatuh cinta kepada para pemain bola dengan wajah seseram apapun.

Tanding pedana antara Belanda versus Italia di babak penyisihan Euro 2008, kalau ditelusuri dengan kacamata historia, bukan sekadar kemenangan total football yang menggairahkan gubahan Rinus Michel, versus catenaccio yang menyebalkan bikinan Helenio Herrera, tapi juga bisa disebut sebagai latihan bermain anggar antara pangeran dengan tuan puteri.

Ada banyak persepsi tentang warna. Tapi kalau saya menonton film-film Mandarin kalsik, warna merah biasanya suka dikenakan para raja atau kaisar. Warna oranye biasanya menjadi warna untuk jubah pangeran, warna biru ungu, atau pink, lebih banyak dipakai oleh puteri atau permaisuri.

Kemarin itu, kita ibarat menyaksikan Sang Pengeran berkostum oranye sedang melatih Tuan Puteri yang berpakaian biru. Tiga nol untuk Belanda menjadi sangat maklum, dan lawannya menyandang juluk italier (itali-lieur = pusing).

Kemenangan Belanda secara mutlak, dan kekalahan Italia secara telak, saya kira ditentukan oleh banyak determinasi. Barangkali soal teknik total football versus catenaccio tidak bisa dijadikan rujukan paling sohih, sebab Roberto Donadoni yang mengarsiteki tim Azzurri itu, ingin melupakan kenangan pahit saat dibebani teknik catenazzio ketika Italia berhadapan dengan Argentina pada Piala Dunia 1990. Italia yang menjadi primadona kala itu, di mana gawang Wolter Zenga tak pernah kemasukkan sebola pun, toh bobol akhirnya. Diego Armando Maradonna, si tangan Tuhan itu, membekuk segala keanggunan Azzurri yang dielu-elukan, namun sebanarnya bermain dengan sangat menyebalkan.

Yang barangkali tidak boleh dilupakan dalam determinasi kemenangan Belanda kemarin itu, adalah soal warna. Spele kelihatannya, dan mungkin tidak ada kiatan langsung antara sport dengan color. Tetapi seperti yang dijelaskan di atas, warna oranye itu untuk pangeran, dan warna biru adalah untuk puteri. Pangeran lawan puteri, persepsi sosial menyetujui pastilah pangeran bakal menang. Heil Oranye!

Namun tidak berhenti di situ dalam soal warna di lapangan hijau. Juga menyangkut soal teknis. Lapangan sepakbola standar internasional berukuran panjang 91.4 meter dan lebar 54.8 meter. Pada kedua sisi pendek, terdapat gawang sebesar 24 x 8 kaki, atau 7,32 x 2,44 meter. Ukuran ini cukup luas jika harus dikuasai oleh 10 pemain yang harus bergerak dinamis. Karena itu, dibutuhkan kostum warna cerah untuk bisa melihat dari jauh posisi kawan. Warna oranye yang masuk ke dalam jenis komplementer atau warna panas-masak menurut taksonomi warna dalam seni rupa, lebih menguntungkan daripada
warna biru yang masuk ke dalam warna elemeter yang kalem.

Dengan menggunakan kostum oranye, para pemain Belanda lebih cepat bisa mengenali di mana posisi kawan, terutama ketika sedang menyerang. Dalam keadaan menyerang, yang dipentingkan itu adalah secepat kilat dapat mengetahui posisi dan mobilitas kawan. Beda dengan dalam keadaan defensive, mengenali posisi lawan menjadi lebih penting sebab para backer harus segera menyetop laju lawan berikut bolanya.

Tentu ada determinasi lain yang tidak bisa disangkal, yang menjadi musabab kemenangan Negeri Kincir Angin yang pernah menjajah bangsa kita itu, yaitu fattum bruttum: Takdir itu pahit, hey Itallieur!

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung