Friday, October 14, 2011

Enigma Visual pada Sebuah Elegi

Teks Doddi Ahmad Fauji

Saya berhadapan dengan lukisan gubahan Gatot Widodo (GW) berjuluk Cerita tentang Pagi yang dibesut memakai cat akrilik. Lukisan ini dikerjakan awal tahun 2009 di atas kanvas berukuran sekira 200 X 200 Cm.

Cerita tentang Pagi, akan dikira berupa elegi tentang pastoral (pemandangan alam) yang sejuk nan meneduhkan, ketika musim dan cuaca masih teratur. Pagi datang diawali fajar, lalu embun menitis di dedaunan, burung-burung berkicauan. Matahari tiba. Kehidupan dimulai dengan riang.

Ternyata yang disodorkan GW, adalah lukisan kemurungan yang dibesut oleh warna-warna gelap seperti biru kelabu, biru dongker, biru gelap, hitam pekat, cokelat tua, atau warna-warna lain yang masuk ke dalam kategori gelap. Dalam pada itu, obyek yang digubahnya, bukan pemandangan alam yang asri, melainkan figur-figur perempuan yang nampak samar-samar, berkelebatan, berjejalan, menjadi teka-teki yang harus ditebak oleh apresiator. Ada berapa perempuan dalam lukisan itu?

Cerita tentang Pagi itu memang enigma visual yang mendekati muslihat optikal. Mata harus jeli menangkap setiap kelebat figur atau obyek lain yang ada di dalamnya. Bila tidak, kita akan terkecoh. Dikatakan enigma visual, karena untuk menangkap kontur yang membentuk figur-figur perempuan yang berjejal-jejal itu, kita harus bisa menyelusuri garis-garis yang tidak tegas di antara garis-garis yang didedahkan GW pada kanvasnya. Jelas pekerjaan ini membutuhkan kejelian, bahkan latihan.

Mereka yang tertarik bermain dalam teka-teki GW, dalam garis-garis yang silang-sengkarut, ada keuntungannya, yaitu diam-diam diajak mengasah kepekaan, yang artinya melatih kerja otak kiri. Latihan ini sangat bagus untuk mereka yang terserang insomnia. Lukisan GW model begini, bisa menjadi sarana terapi untuk latihan konsentrasi, bahkan penyembuhan depresi.

Saya teringat pada lukisan kaligrafi Made Wianta yang juga curat-coret. Tapi ternyata dalam kaligrafi Wianta itu ada obyek yang perlu ditangkap dengan cermat. Oktober 2008 lalu, Wianta diundang oleh rumah sakit di Jepang, untuk diteliti otaknya oleh tim yang dipimpin profesor Yamashiro Gumi. Tim ini sejak lama meneliti karya para perupa dunia, termasuk karya-karya Wianta sebagai sarana terapi bagi pasien di rumah sakit.

***

Dari belasan lukisan GW yang saya lihat, yang digubah pada tahun 2008, umumnya mengandung corak yang serupa: sebuah lukisan coreng-moreng, corat-coret, yang mengabarkan kemurungan dengan menjejalkan berbagai kemungkinan bentuk-bentuk garis, bahkan garis-garis itu sengaja dibebat laksana coretan-coretan anak kecil. Obyek yang dilukisnya berupa figur-figur yang samar, antara perempuan atau kuda, atau gajah, atau perahu. Namun umumnya, pada setiap lukisan GW selalu terdapat figur perempuan, lebih dari satu perempuan.

Tetapi meski nampak ekspresionis dan naïf dengan torehan garis yang impulsif, lukisan GW selalu terlihat menyodorkan pikatan. Enak ditatap karena ada komposisi warna dan pembagian bidang yang seakan diperhitungkan, dikontrol dengan baik. Di antara dominasi warna gelap, ada warna cerah yang disisipkan, yang menjadi pembatas dari figur yang satu dengan figur yang lainnya. Figur pembatasnya itu, diulik oleh GW, menjadi figur perempuan yang lain. Makin berjejal-jelas saja bayangan perempuan yang samar, tapi makin asyik untuk menerkanya. Ada berapa perempuan di sana?

Adapun corat-coret garis dan penumpukan obyek perempuan, muncul karena dorongan psikologis GW yang setelah saya berbincang-bincang dengannya, hidup GW memang mengalami pasang-surut. Naik-turun roda kehidupan yang dijalani GW, berputar begitu cepat. Hari ini sukses, besok terpuruk. Bangkit lagi, tenggelam lagi. Dan kini GW coba kembali bangkit setelah benar-benar bangkrut. Yah, GW pernah bangkrut dan nyaris tidak berkutik.

Saya mengambil kongklusi linier, fluktuasi antara sukses dan gagal itulah yang melatari kelahiran lukisan-lukisan GW yang terkini, yang nampak bagai coretan-coretan di dinding-dinding kota. Sebuah coretan di dinding kota, sering kali mengabarkan kemurungan pencoretnya, menegaskan ketidakpuasaan pada keadaan, menggencarkan ketidakpercayaan kepada pemerintah, dan kemuraman-kemuraman lainnya. Lukisan GW, juga mengandung kemurungan dan kemuraman itu.

Justru lukisan bercorak seperti gubahan GW itu yang ke depan akan menjadi tren untuk menghiasi kota. Di Amerika khususnya, sudah lama dinding kafe atau restoran didekor dengan karya visual yang naïf. Penemuan Warhol, Pollok, Basquiat dalam seni visual, memberi inspirasi kepada para developer untuk menghiasi dinding gedung dengan corak-corak pop art ala Warhol. Karya GW juga kini mewarnai pilar-pilar pada restoran Immigrant yang berada di Plaza Indonesia, lantai enam.

***

Sebuah karya seni, kalau hanya diapresiasi dari sisi bentuknya, tentu kurang komprehensif, dan malah bisa jadi tidak menarik. Mungkin bagi mereka yang awam, karya GW hanya membuat mereka mengerutkan kening. Ia menjadi lebih utuh dan mengasyikan bila kita mengetahui hal-hal yang menjadi latar psikologi penciptaannya. Itu sebabnya, Abram Maslow merinci salah satu metode kajian kesenian dengan menggunakan pendekatan ekpresif: memahami jiwa senimannya.

Memang, karya seni harus ditelisik latar psikologis penciptaannya, supaya apa-apa yang disodorkannya, baik tersurat maupun tersirat, dapat lebih dimengerti, dipahami, dihayati, lalu syukurlah kalau bisa dinikmati. Karya seni yang hidup, di dalamnya selalu mengandung emosi. Karya seni yang menyenangkan, selalu padat emosi. Karya yang zonder (tanpa) emosi, tentu saja akan hampa dan tidak mencerahkan. Orang lain akan bilang, karya yang hampa adalah kits, adalah junkies.

Dari belasan lukisan GW yang secorak, diambil lukisan Cerita tentang Pagi, kemudian dijadikan cover Arti edisi 15 ini. Anda bisa ikut terlibat ke dalam permainan teka-teki yang disodorkan pelukis kelahiran Bojonegoro, 17 Juni 1968 itu.

Pada lukisan ini, terasa ada emosi senimannya yang meletup-letup. Ada kemurungan dan jiwa yang labil. Ada kepedihan yang menguar. Tapi sekaligus juga ada harapan yang berbinar-binar, walau belum tegas benar. Emosi itu dituangkan melalui penggambaran belasan figur perempuan yang disamarkan secara sengaja. GW memang pernah terobsesi oleh perempuan. Saat berbincang-bincang dengan seniman lulusan Seni Lukis, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu, hari Rabu (8/4), menjelang sore, GW menuturkan, “semua perempuan sudah saya rasakan. Tinggal perempuan negro dan perempuan gila yang tidak pernah saya tahu,” katanya.

Di antara belasan perempuan itu, yang paling menonjol digambarkan adalah dua sosok perempuan. Satu perempuan di sebelah kanan, nampak bermata sipit. Satunya lagi bermata belo. Dua perempuan ini adalah pengalaman nyata yang dihadapi GW, di mana GW harus memilih salah satu untuk jadi istrinya. Satu perempuan memang orang Jepang dan satunya lagi orang Jawa.

“Tapi saya pilih orang Jawa yang ketemunya di bus malam, saat saya datang dari Yogya ke Jakarta, dalam keadaan saya benar-benar terpuruk. Kalau saya pilih orang Jepang, saya harus memulai dengan penyesuaian-penyesuaian yang ribet.”

Lukisan itu, nampak menggunakan warna-warna gelap, terutama di atasnya.

Secara sadar atau tidak, GW sedang menumpahkan pengalaman masa lalunya yang kelam. Disebut kelam, bagaimanapun, kalau seseorang sudah terlibat narkoba hingga main suntik, adalah memasuki wilayah kematian. GW menuturkan, sampai-sampai darah bisa mengucur dari hidung kalau ia sedang ‘sakit’.

Orang kecanduan narkoba sangat sulit disembuhkan, dan biasanya sudah lenyap harap. Namun, musibah gempa Yogyakarta dan banjir sungai Bengawan Solo membawa titik terang. Adakalanya memang, seseorang harus benar-benar terpuruk dulu, sebelum menemukan jalan terang. Ibarat sebatang pohon, harus rontok dulu seluruh daunnya, sebelum akhirnya rindang dan subur kembali.

Ketika gempa menghantam Yogya, GW sedang mabuk berat. Selepas gempa, halusinasi datang. Ia seperti melihat dirinya berada dalam kubangan batu, terjepit oleh batu-batu, tubuhnya putih, dan tiada terusik oleh pasir. Lalu GW tertidur karena letih.

Ketika tersadar, rumahnya sudah rusak berat. Coba dikumpulkannya lukisan-lukisan yang tersisa. Lukisan-lukisan itu kemudian dibawa ke Bojonegoro. Namun malang, di sana lukisan-lukisan sisa itu kemudian terbawa hanyut ketika Bengawan Solo banjir bandang. Habis sudah kekayaan GW. Ia bangkrut. Ia kambali ke Yogya dengan terseok-seok. Tubuh merapuh didera narkoba.

Kekayaan habis, kecuali lukisan yang masih tersisa dan diselamatkan galeri, tapi sudah menjadi milik galeri. Lukisan itu rupanya menyentuh dan menggelitik seorang art investor. Ada 11 lukisan GW di sana, dan diborong. Sang investor ingin ketemu GW.

Bertemulah mereka. Disarankannya GW pergi ke Jakarta untuk memulai hidup baru. Pergilah GW ke Jakarta hanya dengan membawa pakaian yang melekat di badan. Ia seharusnya naik pesawat. Tapi ia pergi dengan bus supaya ada dana sisa untuk membeli celana. Di bus itulah GW bertemu perempuan yang kemudian kini menjadi istrinya. Perempuan ini selanjutnya, dalam dugaan saya, telah berpengaruh besar bagi perjalanan hidup GW, yang memungkinkannya mulai meninggalkan narkoba. Lalu bagaimana terapi yang dijalani GW dalam menghilangkan adiksi? Ah, sebaiknya tanya dia langsung.

Selamat dari kebangkrutan dan narkoba itu, kemudian menjelma dua perempuan yang digambarkannya dengan warna yang lebih terang, yang menjadi simbol dari harapan. Warna terang seperti kuning lemon atau putih salju dalam lukisan, sering kali menjadi semiotisasi dari apa yang disebut dengan aufklarung, katarsis, enlightenment, pencerahan. Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, pada luksian-lukisan GW terkini, selalu nampak sosok putih yang menjadi eye catching dari lukisannya. Ini adalah kabar yang disampaikan GW, bahwa duka telah menjadi masa lalunya. Sedang yang menjadi perjalanan ke depan, ialah harapan.

***

Kini GW sudah hilang dari candu narkoba. Ia mulai melangkah mantap melalui jalur lukisan yang sudah digelutinya sejak dulu. Sebagai pelukis, sebenarnya GW sudah menjejaki jalur yang benar. Dulu, ia sudah mulai mengirim lukisan ke Eropa atau China. Pernah pameran di Belanda, China, Singapura.

GW lulusan seni lukis ISI. Secara metodis-akademis, tentu memiliki jaminan bisa melukis bentuk dengan tingkat presisi yang baik. GW juga suka musik, karena darah musik menitis dari ayahnya yang anggota drum band Polri. Seorang pelukis yang bisa main musik, atau setidaknya mengerti dan dapat menikmati musik dengan baik, cenderung bisa melukis dengan komposisi yang harmonis. Hal itu nampak pada lukisan GW.

Untuk menjadi seniman lukis yang berkualitas, diperhitungkan, GW memiliki modal dasar. Selain bisa melukis bentuk, bisa main musik, GW juga termasuk seorang pengrajin yang telaten. Ia bisa membuat seni kriya yang menggiurkan. Jalan sudah semakin lempang dan lurus. Apakah GW akan berhasil membuat gebrakan?

Saya menangkap adanya muatan lokal pada lukisan GW. Corat-coretnya mengingatkan pada artefak-artefak yang ada di candi atau luksian goa. Tapi kini perniagaan seni rupa di dunia sedang lesu akibat krisis global. Namun kelak bakal terjadi booming kembali. Pada saat itulah, saya berkeyakinan lukisan GW akan diserbu pembeli dari luar negeri. Kenapa dari luar negeri?

Sebab orang asing sudah lama mulai bosan dengan lukisan seniman Eropa dan Amerika. Mereka mulai melirik China. Tapi harga lukisan dari China sudah terlalu mahal. Akan datang waktunya lukisan dari Indonesia yang naik daun. Dan yang naik daun itu, adalah lukisan-lukisan yang mengandung muatan lokal. ***

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung