Teks Doddi Ahmad Fauji
Piranti teknologi yang terus tercanggihkan membuat manusia kehilangan atribut antropo-geografisnya. Laku dan seleranya kian seragam. Misalnya, orangorang keranjingan facebook atau sama-sama makan di food court. Lalu pada waktu bersamaan, mereka mudah dihinggapi rasa bosan, jenuh, dan akhirnya mencari hal-hal baru yang unik, eksotik, menantang dan menggairahkan.
Manusia memang semakin jadi makhluk paradoks, sarat kontradiksi. Serentak bisa hanyut ke dalam euphoria oleh suatu fenomena baru dan tidak ingin ketinggalan, tapi pada waktu bersamaan mencari sesuatu yang lain supaya berbeda dari yang lain. Akhirnya, mereka kerap terjebak dalam dilema atau bahkan tergerus ke dalam teka-teki.
Begitulah kongklusi yang saya tarik dari perbincangan dengan Radi Arwinda melalui fasilitas private massage, diperkuat oleh makalah yang ditulisnya tentang konsep-konsepnya dalam berkarya. Saya lihat beberapa foto repro karya Radi Arwinda yang dipamerkan di Galeri Canna, Jakarta, pada Mei – Juni 2009 ini, memang hendak menegaskan dilema sang seniman di tengah cosmopolitan culture, sekaligus bertanya ke dalam diri, apakah harus bertahan menggenggam budaya lokal, atau sekalian basah tercebur ke dalam budaya luar.
Ternyata Radi memilih jadi manusia majemuk, yakni melakukan akulturasi budaya. Memang, di kota-kota besar, saya kira sekarang ini, tidak ada lagi manusia The Last Mohican, The Last Javanese, The Last Chinese, yang murni sejati berbalut tradisi leluhur. Sekarang ini kita meniscayakan terlibat ke dalam peradaban kompilasi dan konvergensi, zaman percampur-bauran adat dan budaya.
Tapi sejatinya manusia yang sudah menerima pengaruh budaya lain sebanyak apa pun, ia tetap sudah membunuh karakter dasar yang dibawanya, yang diwariskan secara genetik oleh orangtuanya, dibentuk secara sporadik oleh lingkungan sosialnya, dan dipoles oleh udara, tanah, air, cahaya matahari, serta makanan yang membesarkannya. Kemana pun Radi Awinda pergi, kiranya ia tetap akan menjadi orang Sunda yang menjadi karakter dasar etnisitasnya. Hal ini terlihat pada lukisan-lukisannya yang dipemerkan di Galeri Canna.
Ambil saja karya Apet #5 itu, menjadi cover Arti edisi kali ini. Secara visual, lukisan Apet #5 diadopsi oleh Radi dari teknik sketsa komik Jepang yang biasa disebut manga. Goresan garis dan kontur lukisan itu benar-benar manga. Radi mengatakan, pengadopsian teknik manga dilakukan karena tertarik oleh kekuatan orang Jepang dalam mempertahankan jati diri bangsanya di tengah perbenturan antarbudaya.
Orang-orang ingin tampil dengan budayanya, karakternya, sekalipun saling pengaruh karakter sulit dihindari. Dengan kata lain, orang Jepang justru ingin mempengaruhi bangsa lain, dan bukan mereka yang terpengaruh oleh budaya lain. Manga menjadi inspirasi bagi Radi untuk mempertahankan ke-Sundaannya. Tapi untuk menangkap karakter-karakter Sunda dalam lukisan seri Apet itu, sayangnya tidaklah mudah, kecuali bila artefak visual yang ditampilkan Radi, misalnya corak batik Sunda pada kain atau selendang yang dikenakan si tokoh manga, atau latar mega mendung yang sering dimunculkan sebagai komplementer (pelengkap) estetika utama.
Namun saya coba menafsir dari sisi psikologis Radi sebagai orang Sunda melalui simbolisasi manga. Kartun Jepang atau yang dijelmakan dalam bentuk animasi (anime), sarat dengan impian. Manga atau anime bisa dibaca sebagai mimpi orang Jepang secara spiritual maupun fisik.
Secara fisik, betapa orang Jepang ternyata merindukan mata yang belo (tidak sipit), tubuh jenjang nan sintal layaknya model kelas dunia. Secara spiritual, bangsa Jepang yang kalah dalam Perang Dunia II dan mengakhiri peperangan brutal itu, sedang bermimpi untuk memimpin dunia. Anime seri Kapten Tsubasa yang digubah tahun 80-an misalnya, adalah mimpi orang Jepang untuk bisa menjadi Juara Dunia Sepak Bola. Sekira 20 tahun kemudian, mimpi itu mulai mewujud, setidaknya Jepang bisa masuk dalam ke kompetisi Kejuaraan Dunia.
Melalui karya Apet (bahasa Sunda) yang artinya akrab, Radi sedang bermimpi di tengah perbenturan budaya yang kian deras, kelak bisa berdaulat dengan karakter dasarnya sebagai orang Sunda. Juga, saya menangkap bahwa Radi yang kelahiran 1983, sedang bermimpi mendapatkan soulmate yang secara visual, bertubuh molek seperti perempuan dalam tokoh manga. Akankah terkabul impian ini? Proses dan waktu yang akan menjawab. ***
Piranti teknologi yang terus tercanggihkan membuat manusia kehilangan atribut antropo-geografisnya. Laku dan seleranya kian seragam. Misalnya, orangorang keranjingan facebook atau sama-sama makan di food court. Lalu pada waktu bersamaan, mereka mudah dihinggapi rasa bosan, jenuh, dan akhirnya mencari hal-hal baru yang unik, eksotik, menantang dan menggairahkan.
Manusia memang semakin jadi makhluk paradoks, sarat kontradiksi. Serentak bisa hanyut ke dalam euphoria oleh suatu fenomena baru dan tidak ingin ketinggalan, tapi pada waktu bersamaan mencari sesuatu yang lain supaya berbeda dari yang lain. Akhirnya, mereka kerap terjebak dalam dilema atau bahkan tergerus ke dalam teka-teki.
Begitulah kongklusi yang saya tarik dari perbincangan dengan Radi Arwinda melalui fasilitas private massage, diperkuat oleh makalah yang ditulisnya tentang konsep-konsepnya dalam berkarya. Saya lihat beberapa foto repro karya Radi Arwinda yang dipamerkan di Galeri Canna, Jakarta, pada Mei – Juni 2009 ini, memang hendak menegaskan dilema sang seniman di tengah cosmopolitan culture, sekaligus bertanya ke dalam diri, apakah harus bertahan menggenggam budaya lokal, atau sekalian basah tercebur ke dalam budaya luar.
Ternyata Radi memilih jadi manusia majemuk, yakni melakukan akulturasi budaya. Memang, di kota-kota besar, saya kira sekarang ini, tidak ada lagi manusia The Last Mohican, The Last Javanese, The Last Chinese, yang murni sejati berbalut tradisi leluhur. Sekarang ini kita meniscayakan terlibat ke dalam peradaban kompilasi dan konvergensi, zaman percampur-bauran adat dan budaya.
Tapi sejatinya manusia yang sudah menerima pengaruh budaya lain sebanyak apa pun, ia tetap sudah membunuh karakter dasar yang dibawanya, yang diwariskan secara genetik oleh orangtuanya, dibentuk secara sporadik oleh lingkungan sosialnya, dan dipoles oleh udara, tanah, air, cahaya matahari, serta makanan yang membesarkannya. Kemana pun Radi Awinda pergi, kiranya ia tetap akan menjadi orang Sunda yang menjadi karakter dasar etnisitasnya. Hal ini terlihat pada lukisan-lukisannya yang dipemerkan di Galeri Canna.
Ambil saja karya Apet #5 itu, menjadi cover Arti edisi kali ini. Secara visual, lukisan Apet #5 diadopsi oleh Radi dari teknik sketsa komik Jepang yang biasa disebut manga. Goresan garis dan kontur lukisan itu benar-benar manga. Radi mengatakan, pengadopsian teknik manga dilakukan karena tertarik oleh kekuatan orang Jepang dalam mempertahankan jati diri bangsanya di tengah perbenturan antarbudaya.
Orang-orang ingin tampil dengan budayanya, karakternya, sekalipun saling pengaruh karakter sulit dihindari. Dengan kata lain, orang Jepang justru ingin mempengaruhi bangsa lain, dan bukan mereka yang terpengaruh oleh budaya lain. Manga menjadi inspirasi bagi Radi untuk mempertahankan ke-Sundaannya. Tapi untuk menangkap karakter-karakter Sunda dalam lukisan seri Apet itu, sayangnya tidaklah mudah, kecuali bila artefak visual yang ditampilkan Radi, misalnya corak batik Sunda pada kain atau selendang yang dikenakan si tokoh manga, atau latar mega mendung yang sering dimunculkan sebagai komplementer (pelengkap) estetika utama.
Namun saya coba menafsir dari sisi psikologis Radi sebagai orang Sunda melalui simbolisasi manga. Kartun Jepang atau yang dijelmakan dalam bentuk animasi (anime), sarat dengan impian. Manga atau anime bisa dibaca sebagai mimpi orang Jepang secara spiritual maupun fisik.
Secara fisik, betapa orang Jepang ternyata merindukan mata yang belo (tidak sipit), tubuh jenjang nan sintal layaknya model kelas dunia. Secara spiritual, bangsa Jepang yang kalah dalam Perang Dunia II dan mengakhiri peperangan brutal itu, sedang bermimpi untuk memimpin dunia. Anime seri Kapten Tsubasa yang digubah tahun 80-an misalnya, adalah mimpi orang Jepang untuk bisa menjadi Juara Dunia Sepak Bola. Sekira 20 tahun kemudian, mimpi itu mulai mewujud, setidaknya Jepang bisa masuk dalam ke kompetisi Kejuaraan Dunia.
Melalui karya Apet (bahasa Sunda) yang artinya akrab, Radi sedang bermimpi di tengah perbenturan budaya yang kian deras, kelak bisa berdaulat dengan karakter dasarnya sebagai orang Sunda. Juga, saya menangkap bahwa Radi yang kelahiran 1983, sedang bermimpi mendapatkan soulmate yang secara visual, bertubuh molek seperti perempuan dalam tokoh manga. Akankah terkabul impian ini? Proses dan waktu yang akan menjawab. ***
No comments:
Post a Comment