Friday, October 14, 2011

Mata Adalah Guru dan Hati Ukurannya

Teks Doddi Ahmad Fauji

Walaupun banyak psikolog yang mengoreksinya, namun teori psikoanalisis Sigmund Freud tidak bisa diruntuhkan sepenuhnya. Freud meyakini, tindakan manusia dipicu dan dipacu oleh alam bawah sadar yang terekam di masa silam, yang bisa jadi rekamannya itu sudah terhapus dari pita ingatan, namun masih terformat dalam saraf-saraf somatik, hingga kapan-kapan alam bawah sadar itu bisa muncul ke permukaan dalam bentuk tindak yang radikal seperti impulsif, reaksioner, defensif habis-habisan, atau mengasingkan diri dari keriuhan.

Teori Freud ini terasa mengena saat berhadap-hadapan dengan sebuah karya seni. Mengapa karya seni nampak seperti ini atau seperti itu, pastilah dilatari oleh suasana psikologis sang senimannya. Warna merah marun atau putih salju, biru dongker atau kuning lemon pada sebuah lukisan misalnya, dimunculkan oleh seniman bukan saja atas dasar pertimbangan komposisi warna, tetapi karena warna itu diyakini oleh seniman secara bawah sadar sebagai simbol tertentu. Warna merah misalnya, adalah idiom dari suasana marah, warna biru relevan dengan misteri, putih sejalan dengan harapan, hitam identik dengan kemurungan, dan seterusnya.

Pengantar singkat di atas saya jadikan rujukan untuk menelisik salah satu lukisan Sonny Eska berjuluk Mata Do Guru Roha Sisean (2009, 290 X 175 CM, mix media di atas kanvas), yang artinya: Mata adalah guru dan hati ukurannya.

Mengapa Sonny menggubah lukisan seperti itu, pasti dilatari unsur psikis bawah sadar yang membimbingnya secara naluriah untuk melahirkan karya seperti itu. Secara genetik etnisitas, Sonny adalah orang Batak, namun lahir dan besar di Jakarta. Secara kultural, Jakarta mencetak Sonny menjadi manusia kosmopolitan. Maka unsur lokalitas yang diwariskan secara genetik, dan unsur globalitas yang diterima melalui pergaulan budaya, bercampur-baur dalam lukisan tersebut.

Sonny memilih warna-warni ceria, yang elementer, yang disediakan oleh pabrik cat, dan bukan warna “matang” hasil percampuran dari sejumlah warna. Pilihan warna ini selaras dengan ragam warna yang jadi kesukaan masyarakat sub-kultur Indonesia. Tengok misalnya warnawarna kostum adat dari masyarakat Sumatera, Kalimantan, Sulawesi cenderung menggunakan warna-warna terang yang oleh orang Jakarta sering dibilang warna “norak”. Warna ceria yang elementer itu, hadir pada lukisan Sonny, terdorong oleh alam bawah sadarnya sebagai keturunan Batak.

Tetapi Sonny sudah lama bersinggungan dengan kebudayaan lain yang bergeliat di Jakarta, yang dibawa oleh kaum urban. Perbauran warnawarna budaya itu pun muncul pada lukisan di atas, dan menjadi cermin bahwa Sonny adalah masyarakat berbudaya gado-gado sebagaimana yang terdapat di Jakarta.

Gado-gado budaya itu, terefleksikan melalui obyek-obyek dan figurfigur yang direpresentasikan Sonny secara berhimpitan, berjejalan, saling berebut perhatian, bertubrukan, saling-silang, seperti yang terjadi di Jakarta. Coba perhatikan, betapa banyak obyek atau figur yang tampil pada lukisan berjuluk Mata Do Guru Roha Sisean itu.

Lalu teks-teks yang bermunculan menghiasi kota Jakarta, apakah itu berupa nama gedung, papan reklame, atau iklan partai politik, juga tampil dalam lukisan Sonny. Sonny menuliskan judul lukisannya pada kanvas dalam ukuran besar, mengibaratkan teks-teks yang terus mengepung Jakarta, sesuatu yang jarang dilakukan perupa lain.

Lukisan ini adalah gambaran bagaimana seorang Batak mempersepsi Kota Jakarta yang sumpek dan semrawut, yang penduduknya individualistik dan materialistik. Dan lukisan ini menguarkan pernyataan: siapa pun yang hidup di Jakarta, lambat laun akan tergerus menjadi manusia individual, yang harus tutup mata dan pura-pura tidak tahu persoalan orang lain. Untuk itulah, dua figur yang ditampilkan secara mencolok oleh Sonny, sengaja matanya dikasih hijab (penutup).

Hidup di Jakarta sungguh berat, tidak seindah yang dibayangkan oleh masyarakat desa yang setiap habis Idul Fitri, berdatangan menjadi penduduk baru Jakarta dengan profesi sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja keras lainnya. Jakarta sebenarnya bukan sorga: Jakarta hanyalah Kota Utopia. Ada banyak rintangan dan hambatan yang membelenggu, dan secara bawah sadar, Sonny menampilkan belenggu itu melalui obyek pagar dan tiang, dan dua sosok yang matanya dihijab, juga ditampilkan dalam kondisi dibedong seperti bayi. Pagar dan tiang itu harus dimusnahkan, maka tampillah pisau belati sebagai simbol dari penghancuran.

Secara tidak sadar, Sonny menampilkan berbagai fenomena dan insiden yang terjadi di Jakarta dalam bentuk simbol-simbol. Kobaran api yang tampil dalam lukisan itu, bagaimana pun menjadi gambaran dari kebakaran yang sering terjadi di Jakarta.

Lalu yang cukup menonjol ditampilkan Sonny adalah sesosok berwarna hitam. Siapakah dia? Melihat wujud figur itu, saya teringat pada film Batman teranyar berjudul The Dark Knight. Figur itu memang mirip Batman yang muncul dari kegelapan, untuk menyelamatkan kota dari kemusnahan akibat ‘ketamakan’ segelintir sutradara yang mengendalikan kota. Jakarta, dalam lukisan ini, rupanya membutuhkan seorang Batman: pahlawan yang tidak membutuhkan tanda jasa, namun jelas-jelas berjasa besar.

Lukisan Sonny tampil dengan cerdas untuk mengeritik urban civilization yang kita dambakan. Karena Jakarta belum bisa menjadi kota urban yang nyaman. Jakarta masih menjadi kota yang menghardik dan merampok rasa kemanusiaan. Dan lukisan-lukisan cerdas gubahan Sonny seperti diuraikan di atas, akan ditampilkan pada pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia, bulan Juli 2009. Selamat menikmati. ***

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung