Saturday, October 15, 2011

Imam B Prasodjo: Harus Dibantu Pasukan Khusus

Media Indonesia - (7/2/2000)

UNTUK mencermati apa yang tengah terjadi di Ambon-Maluku dan efektivitas darurat sipil dalam menghentikan konflik bernuansa SARA, Doddi AF dari Media mewawancarai sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo. Berikut petikannya.

Bagaimana sesungguhnya tipikal masyarakat Maluku sehingga mereka terus bertikai?
Secara rinci saya tidak tahu, perlu studi pemahaman yang mendalam. Masyarakat Maluku secara sepintas sekarang ini telah tersekat-sekat, terbelah oleh fragmentasi keagamaan salah satunya. Dinding penyekat itu sudah begitu tebal. Sehingga tidak ada saluran-saluran sosial atau sociotrans yang bisa menghubungkan mereka untuk saling percaya. Kalaupun ada, sangat rendah. Hal ini terjadi karena konflik yang berlarut-larut dan tidak terselesaikan. Itu tidak saja menebalkan dinding-dinding penyekat, tapi sekarang ini menciptakan kobaran dendam yang begitu tinggi untuk saling melumatkan. Seperti itu masyarakat Maluku sekarang.

Jika demikian adanya, selain tidak bisa meredam, pemimpin agama bisa jadi ikut memperluas konflik, misalnya dengan adanya laskar-laskar sipil yang dikoordinasi?
Harus kita pahami bahwa pada saat-saat seperti ini, saya sendiri tidak tahu persis mengapa konflik itu bisa berkepanjangan seperti ini. Tentu ada satu doktrin yang dibungkus, baik itu oleh keyakinan keagamaan atau yang lainnya. Doktrin itu memberikan legitimasi yang kuat bahwa satu pembunuhan atau pelumatan massal, itu sah dilakukan. Kita harus ingat, ada proses aksi dan reaksi. Nah, yang dari kalangan muslim menganggap bahwa kerusuhan terjadi karena mereka diserang lebih dulu dan korbannya cukup banyak. Sementara tidak semua orang Kristen terlibat dalam penyerangan. Tapi karena penyerangan yang terjadi dibalas dengan penyerangan lagi, yang tidak terlibat menyerang bisa menjadi korban, lalu balas menyerang. Nah, konflik kian melebar. Dalam situasi seperti ini, harusnya pencegahan awal dilakukan dengan melokalisasi orang-orang yang menjadi pelaku tindak kekerasan. Tapi itu tidak dilakukan pemerintah. Akhirnya, makin melebar.

Fenomena pasukan Jihad itu adalah efek dari melebarnya tindak kekerasan yang tidak pernah dihentikan secara efektif. Nah, di kalangan nonmuslim pun, fenomena `Pasukan Jihad` saya lihat juga terjadi. Dan, mereka akan terus serang-menyerang kalau tidak segera dihentikan.

Lalu peran pimpinan formal maupun informal yang sentralistis memang sudah tidak digubris?
Pimpinan di sana sekarang sulit diindentifikasi secara sentralistis. Soalnya kerusuhan terjadi block to block. Misalnya begini, di Waehaong, Ambon, tidak jelas siapa yang paling berkuasa dan paling berpengaruh, karena terjadi krisis kepemimpinan lokal. Di sana bisa jadi memang ada tokoh agama dan juga tokoh pemuda, tapi ada juga tokoh-tokoh di pinggiran jalan. Atau, mungkin juga ada orang-orang yang sama sekali tidak pernah tentu tapi bisa juga menjadi pemimpin perlawanan. Di Kudamati, daerah Kristen yang paling angker, kita tidak tahu siapa sesungguhnya yang paling berpengaruh.

Tidak ada yang namanya tokoh agama atau tokoh formal yang sentralistis yang bisa berpengaruh. Ini yang membuat kita harus mengadakan social meeting antarwilayah. Hingga pada saat perdamaian dilakukan, maka yang dilibatkan bukan tokoh agama atau tokoh adat saja. Tapi juga berbagai elemen, sebut saja preman, pedagang-pedagang yang sekarang jadi penganggur. Kalau yang bertikai di Ambon itu ada tatanan masyarakatnya, ada hierarki kepemimpinannya, jelas peranan yang satu dengan yang lain, itu gampang diidentifikasi. Jadi di Ambon sudah tidak jelas lagi, siapa mengomandoi siapa.

Tapi sebelum terjadi pertikaian, pasti ada pimpinan formal dan informal yang sentralistis, apakah mereka kurang berwibawa?
Otomatis sebetulnya ada, tapi kita tahu sendiri, efek dari sentralisme kekuasaan yang sebetulnya itu memerankan peran-peran birokrat formal yang terlalu besar, itu melemahkan kalau tidak boleh disebut menghancurkan peran pemimpin lokal. Jadi semua struktur aktivitas masyarakat sangat didominasi oleh tokoh-tokoh formal, Tokoh informal menjadi impoten. Nah kini, tokoh informal sudah impoten, sedangkan pimpinan birokrasi militer tidak bisa bertindak secara baik, maka terjadi kefakuman sosial. Tatanan itu cenderung memudar. Semua melemah. Tidak ada norma-norma pengendalian yang bisa kita andalkan sekarang ini. Yang ada adalah fragmentasi-fragmentasi kepemimpinan. Misalnya saya datang ke Ambon, di setiap wilayah semua orang mengaku jadi pimpinan pasukan. Ketemu orang ini, katanya komandan lapangan. Ketemu yang lain lagi, juga mengaku komandan lapangan. Itu kan kacau. Di Galela juga begitu. Kita tidak mengerti siapa menjadi komando siapa, siapa memimpin siapa. Nah ketika tawuran hari `H`-nya terjadi, ada pasukan-pasukan kecil yang tidak jelas siapa komandonya, itu problem kita sekarang. Kalau semuanya ada struktur komandonya yang jelas, hierarki yang jelas, dengan tatanan yang sistematis, mungkin bisa dilakukan pendekatan.

Apakah darurat sipil yang diberlakukan Presiden Gus Dur akan berhasil meredam pertikaian?
Tergantung. Kalau pelaksanaannya terkontrol, terkendali, itu akan efektif. Tapi kalau misalnya cara melakukannya serampangan, dan mengakibatkan situasi malah menjadi reaktif, jelas perdamaian akan sulit sekali. Korban akan lebih besar. Karena itu kita mengusulkan tarik semua pasukan yang sudah ada di sana yang secara emosional sekarang ini mereka memang terlibat dalam kerusuhan. Polisi kan dikesankan mayoritas membantu kelompok merah (Kristen), sedangkan tentara dituding membantu kelompok putih (Islam). Jadi, harus dibantu pasukan khusus pembuat perdamaian dan pasukan pemelihara keamanan. Komandannya jelas, tidak terfragmentasi pada polisi, tentara, marinir. Memang susah menyatukan berbagai angkatan, tapi kalau tidak ya lebih rumit sebab setiap seragam pihak keamanan memiliki simbol sendiri. Selain itu, pasukan ini perlu monitoring system, diawasi supaya kalau ada pelanggaran bisa cepat ditindak pula. Itu sebabnya pers juga harus dilibatkan.

Secara makro, kerusuhan di sejumlah daerah cepat meluas di mana-mana setelah Soeharto lengser. Apakah ini ada korelasinya?
Kalau kita mau ngomong sedikit teoritik, begini, kita pada dasarnya sudah tersekat-sekat baik atas dasar etnik, ras, agama, dan lain-lain. Ikatan-ikatan itu sering kali terintegrasi, menyatu dengan wilayah.


Jadi ketersekatan secara etnik tadi sekaligus juga terjadi secara geografis. Pada saat Orde Baru berkuasa, terjadi proses sosial yang luar biasa. Proses ini sering kali tidak memberikan kesempatan kepada mekanisme lokal untuk mengadaptasikan diri dengan perubahan yang ada. Sebagai contoh misanya Ambon, pada awalnya birokrasi pemerintah dipegang kelompok Kristen karena pendidikan mereka memang lebih di atas rata-rata. Strukturnya begitu karena warisan Belanda. Tapi setelah kemerdekaan, terjadi perubahan sosial dan orang-orang pintar yang dihasilkan pendidikan juga banyak dari kalangan orang Islam juga. Nah mereka mulai pula menduduki birokrasi, entah di pemerintahan atau di kampus, dan sebagainya. Kalau hal ini tidak diajarkan adanya suatu perubahan baru, yang akan terjadi jelas ketegangan-ketegangan. Apalagi perubahan-perubahan sering kali disertai intervensi kekuasaan yang terus menimbulkan ketidakadilan.

Tapi, khusus kasus Ambon-Maluku, belakangan berkobar karena sentimen agama....
Yang tampak di permukaan memang itu, yang menjadi bungkus dari pertikaian dalam persepsi kebanyakan orang memang masalah agama. Tapi itu kan benih dari proses sebab-akibat yang panjang yang tidak bisa disederhanakan atau direduksi ke dalam agama. Misalnya begini, di antara masyarakat yang bertikai itu adalah pendatang dan masyarakat asli. Kebetulan pendatang itu mayoritas BBM (Bugis, Buton, Makassar) misalnya, yang kebetulan beragama Islam. Sedangkan masyarakat asli yang pada awal-awal konfrontasi melakukan pengusiran terhadap pendatang, adalah kebetulan mayoritas Kristen.

Jadi, mereka yang bertikai itu awalnya memang pendatang dan penduduk asli. Tapi kemudian agamanya berbeda, etnisnya juga berbeda, kebetulan pencahariannya juga berbeda, kebetulan lokasi tempat tinggal mereka juga berbeda. Jadi ada semacam ketersekatan sosial yang dinding-dindingnya makin menebal karena berlapis-lapis seperti itu. Jadi kalau ada sedikit letupan-letupan karena masalah ekonomi misalnya, itu bisa merembet ke masalah agama, etnik, wilayah, dan itu bisa menimbulkan perang antarkampung. Misalnya konflik antara Berlan dan Palmeriam, itu kan awal-awalnya karena sentimen politik. Yang sebelah Golkar sedangkan kampung yang sebelahnya lagi pendukung PPP. Tapi pada saat yang sama, juga menjadi masalah ekonomi karena perebutan lahan ekonomi. Nah di Ambon misalnya suku BBM lawan penduduk lokal yang tidak terima yang Ambon asli, pada saat yang sama, agama berbeda, etnik berbeda, pencaharian berbeda. Tapi kita sekarang lebih mengatakan karena agamanya berbeda kan, padahal juga karena masalah ekonomi kelas menengah ke atas itu kebetulan suku BBM.

Nah, orang non-Ambon yang kebetulan berpencaharian pedagang itu di pantai, sedangkan orang-orang asli Ambon bukan pedagang dan tidak berumah di pantai. Jadi terjadi konflik perebutan wilayah, karena daerah pantai lebih strategis. Kemudian juga konflik merambat karena anak-anak para pedagang bisa sekolah dan pintar-pintar. Mereka masuk menjadi pegawai negeri dan duduk pula di birokrasi pemerintahan.

Akibatnya terjadi kecemasan di kalangan orang Ambon asli?
Ya, orang Ambon asli cemas dengan kenyataan ini. Di tengah kecemasan ini orang-orang tidak diajari bagaimana menyikapi perubahan seperti ini, apakah orang pendatang itu harus diusir. Di sisi lain, pemerintah juga tidak pernah mempertimbangkan, ini bagaimana orang-orang asli porsinya menjadi berkurang. Walaupun pegawai negeri mayoritas masih orang-orang Kristen. Tapi kan problemnya bukan minoritas dan meyoritas, kalau dulu dapat seratus, semuanya dapat, sekarang cuma delapan puluh, itu juga bisa kesal. Ada yang menganalisis bahwa jabatan-jabatan atau kedudukan-kedudukan yang sebelumnya diduduki orang-orang Kristen telah diambil alih oleh para pendatang, itu tidak benar. Tapi kalau porsi yang selama ini mereka peroleh menjadi berkurang itu benar. Nah ibarat di Jakarta, banyak orang-orang yang sekolah di UI dari luar Betawi, tapi berapa sih orang Betawi yang sekolah di UI. Ini menjadi problem. Tapi memang kalau orang Betawi mau ribut di Jakarta, kekecilan mereka. Di Ambon, yang merasa kesal dan resah sangat banyak. Lagi pula, para pendatang ke Jakarta itu banyak orang Islam dan dari berbagai suku, nah kesamaan agama ini bisa merekatkan. Tapi di Ambon tidak, pendatang dan asli jelas berbeda agama.

Daerah mana lagi yang paling rentan pertikaian?
Tidak hanya di Maluku, di banyak daerah. Dan sekarang ada daerah yang paling rentan, misalnya di daerah Sambas, sudah Dayak, miskin, Kristen, penduduk lokal melawan Madura yang pendatang, Islam, relatif lebih kaya. Sudah itu ada sifat-sifat kultur yang sedikit berbeda. Ada perilaku-perilaku kultur yang tidak bisa dipahami oleh kultur yang lain. Orang Madura membawa golok sehari-hari misalnya, itu sudah biasa tapi bagi etnis lain kurang diterima karena membawa golok itu melahirkan imajinasi kekerasan. Persis orang Jawa melihat orang Batak misalnya, kan dianggap kasar. Nah, perilaku-perilaku kultur seperti itu tidak bisa dinilai perilaku kultur yang baik atau yang buruk.

Bagaimana dengan isu adanya provokator di balik pertikaian di sejumlah daerah, juga di Maluku?
Dari tatanan sosial yang rawan. Baru sekarang kita bicara tentang teori provokasi bahwa di setiap kerawanan sosial selalu ada masalah berupa konflik-konflik elite misalnya, preman-preman tertentu yang karena reformasi dia harus menoleh kanan-kiri karena adanya penertiban-penertiban. Itu yang terjadi di Jakarta, banyak sekali. Mereka tidak bisa mendapatkan lagi lahan yang selama ini digarapnya. Itu yang pertama. Yang kedua, katakan lahannya masih tetap tapi belum tentu bisa melakukan praktek-praktek ekonomi karena sekarang sedang terjadi krisis ekonomi. Mencari rezeki ke mana-mana sulit. Nah orang-orang seperti ini akan melancarkan provokasi, apalagi setelah dihabisi, mereka menghidupkan organized crime kelompok kriminal yang terorganisasi. Nah organized crime ini pada situasi seperti sekarang ini, tidak bisa lagi memiliki lahan ekonomi, mereka akan menciptakan konflik-konflik. Nah kalau di Jakarta sudah tidak bisa melakukan itu, mereka pulang ke daerah-daerahnya masing-masing, misalnya, untuk membuat kekacauan-kekacauan atau memicu tindak kekerasan yang kemudian membakar semua masyarakat yang susunan sosialnya sudah rentan.

Kemungkinan lain lahirnya provokator di Ambon akibat dari konflik-konflik elite. Tapi itu semua hanya pemicu. Kalau mau mengadili orang-orang itu, ya pemicu-pemicu atau provokator-provokator itu harus ditangkap. Nah problemnya adalah pemicu-pemicu itu sendiri bisa menyatu dengan orang-orang yang berkuasa, dan pada akhirnya memang suruhannya. Kan jadinya serbasusah./M-3

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung