BUTET Kertaredjasa, kelahiran Yogyakarta, 21 November 1961, sejak 1985 bergabung dengan Teater Gandrik. Putra Bagong Kussudiardjo ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi grup teater yang didirikan di Yogyakarta pada 1981 itu.
Kakak kandung Djadug Ferianto ini merupakan salah seorang aktor andalan Teater Gandrik. Terlebih lagi setelah Butet --si raja monolog-- sering menirukan suara petinggi negara ini, Teater Gandrik semakin mencuat. Pertunjukan Butet, baik dalam monolog maupun bersama Teater Gandrik, selalu diserbu penonton. Meski demikian, Butet mengaku tidak pernah belajar menirukan suara orang. Wartawan Media Doddy Ahmad Fawdzy mewawancarai Butet Kertaredjasa, di Jakarta, baru-baru ini. Petikannya:
Bagaimana proses latihannya?
Sebetulnya saya tidak bermaksud menirukan suara orang, tapi merupakan eksplorasi dari seni peran. Saya mencoba-coba saja. Saya menafsirkan naskah sedemikian rupa, hingga menemukan sesuatu yang dapat mengingatkan pada sosok seseorang. Suara yang ditiru itu mudah dipelajari karena hampir setiap hari muncul, baik di tv maupun radio. Kita tinggal mengikuti saja waktu orang itu bicara.
Sejak kapan Anda belajar meniru suara orang?
Pada pementasan Geger Wong Ngoyak Macan
Orde Tabung (1987) bersama Teater Gandrik, saya menirukan suara Harmoko. Pada tahun itu juga saya menirukan suara Soeharto, tapi sedikit-sedikit karena masih tabu. Pada lakon Upeti (1989) bersama Teater Gandrik menirukan suara Soeharto. Itu proses awal latihannya.
Mengapa Anda tertarik menirukan suara orang? Apa mengejar sensasi?
O, tidak. Itu atas kemausan saya sendiri karena tuntutan naskah. Jika naskah tidak memberikan celah untuk menirukan suara orang, saya tidak perlu melakukannya. Kalau tujuan pementasan adalah menirukan suara, berarti setiap kali ada pementasan saya harus menirukan suara. Contohnya pada pementasan Brigade Maling ini, saya tidak menirukan suara, bukan. Peniruan suara itu adalah interpretasi terhadap naskah, tentang tokoh peran yang harus saya mainkan. Jika tiba-tiba sifat tokoh itu rakus, tamak, jahat, dan despotis, berarti saya harus menirukan suara tokoh anu atas interpretasi saya. Peniruan suara itu merupakan bagian dari disiplin kesenian.
Dalam menirukan suara pejabat, apakah Anda menghadapi hambatan psikologis, misalnya takut pementasan dicekal atau diseret ke penjara?
Dahulu iya, karena pemerintahannya tidak waras terhadap seni. Sekarang tidak begitu. Tapi begini, dalam proses peniruan suara itu kan diterapkan konsep jurnalistik, ada peristiwa editing terhadap hasil peniruan suara. Jika suara yang ditirukan itu berbahaya dan sensitif, berarti harus diedit. Dan tentu juga didiskusikan dengan kelompok, karena dalam berteater itu kan ada kerja ensambel. Setiap personel harus saling mengontrol dan mengingatkan.
Bagaimana kalau dalam permainan monolog, segalanya bisa ditentukan sendiri?
O, tidak. Ada sutradara. Saya kira sama saja.
Jika sutradaranya itu diri sendiri bagaimana?
Di sinilah kita harus bisa membedakan peran antara menjadi aktor monolog dan peran sutradara monolog. Jadi, dia aktor yang harus diatur dirinya sendiri. Sulit memang.
Antara bermain monolog dan bermain kelompok lebih menarik mana?
Sama saja. Keduanya adalah seni peran yang membutuhkan disiplin seni dan proses latihan. Tapi tentu bermonolog lebih melelahkan karena lebih banyak energi yang dikeluarkan. Tapi, saya mendedikasikan kerja itu sama, baik untuk permainan kelompok maupun monolog.
Boleh tahu, belajar teater dari mana?
Secara formal saya tidak pernah belajar. Otodidak saja. Malah sekolah formal saya dari Seni Rupa ISI Yogyakarta.
Kapan mulai tertarik berteater?
Sejak SMP. Di Yogya, ada yang namanya arisan teater. Setiap grup teater bergantian bermain di kampung-kampung. Nah, di kampung saya juga suka ada pertunjukan teater arisan itu.
Selain itu, sekitar 1970-an, ayah saya (Bagong Kussudiardjo, Red) suka mengajak saya menonton latihan teater di Bengkel Teater Yogyakarta pimpinan Mas Willy (Rendra, Red). Saya mengagumi Mas Willy pada saat berlatih dan bermain teater. Saya menjadi tertarik bermain teater.
Media Indonesia, Minggu, 25 Juli 1999.
No comments:
Post a Comment