Teks Doddi Ahmad Fauji
Pertahanan dan keamanan tidak semata bertumpu pada kekutan senjata dan jumlah tentara, tetapi juga pada kekuatan jiwa.
Manusia barbar tidak bisa ditaklukan dengan cara merampas tanahnya dan merebut kekuasaannya. Manusia barbar harus ditaklukan jiwanya.
Demikian kesimpulan Alexander The Great atau Iskandar Agung saat mengecap kekalahan yang menyakitkan dari India. Akan tetapi kalah oleh India ada hikmahnya juga. Setidaknya, terbit pencerahan baru yang melahirkan kesadaran-kesadaran lain.
Alexander benar-benar tidak berminat lagi meneruskan penyerangan terhadap India. Ia memutuskan untuk pulang ke Yunani. Namun di tengah jalan, ia mangkat karena didera kolera. Sepeninggal Alexander, kekuasaan Yunani yang telah terbentang luas hasil penaklukan Alex, mencakup Mesir, Eropa, dan seluruh kawasan Persia, kembali tercabik-cabik. Mereka berebut kekuasaan dan membagi-baginya. Kekuasaan yang terpecah-pecah itu, dengan mudah dilumat kembali oleh pihak lain. Pribahasa “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh,” menemukan pembenarannya.
Kisah Alex sudah berlalu lebih dari 2400 tahun. Tapi kisah ini masih memberi inspirasi pada era kekinian. Tahun 1956, kisah Alex difilmkan dengan Richard Burton bermain sebagai Alexander. Tahun 2004, kembali muncul film Alexander garapan sutradara Oliver Stone dengan Colin Farrell dan Angelina Jolie sebagai pemeran. Film tahun 2004, diangkat dari buku Alexander the Great (1970) karya Robin Lane Fox, Professor of Ancient History at Oxford. Kehadiran dua film ini menegaskan, kisah yang sudah berlalu itu masih relevan untuk dipelajari dan dipungut hikmahnya. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dan sangat kontekstual dengan zeit geitz (semangat jaman).
Seperti dikisahkan dalam sejarah, sedari belia, Alex adalah murid Aristoteles, di mana Aristoteles ditempatkan dalam peradaban dunia sebagai mahaguru filsafat humanisme terbesar sepanjang jaman, dan telah memberi inspirasi pada kelahiran ilmu modern hingga berkembang seperti sekarang ini. Sebagai murid dari mahaguru yang humanis, tentu Alex pun menyerap hakikat, gagasan, dan tujuan filsafat humanisme, yaitu mengolah akal-budi manusia dan mereduksi naluri-naluri yang buruk seperti fasistik, despotistik, jahil, rakus, dan naluri serba-jahat lainnya.
Benar bahwa sebagai penguasa Yunani, Alex terpanggil untuk memimpin langsung perang melawan Persia. Kala itu, imperium Persia yang sudah begitu luas dan besar, masih saja rakus untuk menaklukan kawasan-kawasan lain termasuk Yunani yang di tahun-tahun sebelumnya, pernah dikalahkan Persia. Mulanya, Alex bangkit untuk menapis serangan Persia yang rakus itu. Alex melihat, bangsa Persia adalah bangsa yang barbar dan suka merongrong daulat bangsa lain. Dalam konteks peperangan ini, posisi Yunani adalah mempertahankan diri dari rongrongan bangsa luar. Dalam pikiran Alexander juga terbit persepsi, bahwa bangsa lain di luar Yunani adalah barbar belaka, karena itu mereka harus ditaklukan supaya menjadi lunak.
Seperti dikisahkan dalam berbagai film, tentara Yunani kalah jumlah mencapai 10 kali lipat dari tentara Persia, juga kalah dalam modernisme persenjataan. Tapi Persia berhasil dikalahkan. Keberhasilan mengalahkan Persia itu, membuat Yunani jadi percaya diri. Ketika memasuki Persia, Alexander terperanjat melihat hasil-hasil pembangunan Persia mengagumkan. Bangsa Persia yang dalam benak orang Yunani dituding barbar itu, ternyata memiliki peradaban yang sudah maju. Alexander sebetulnya sudah merasa cukup dengan mengalahkan Persia, namun godaan dan rongrongan manusia untuk memperluas kekuasaan, dan juga bujukan dari teman-temannya, membuat mereka ingin terus melaju. Mereka pun terus melaju ke arah Timur guna menaklukan manusia barbar berikutnya, Selanjutnya, perang yang mereka lakukan tentu bukan lagi dalam rangka mempertahankan diri, tapi untuk memperluas kekuasaan dan memenuhi hasrat purbawi manusia.
Satu demi satu mereka menaklukan daerah-daearh yang dilaluinya, dan terus berjalan ke daerah yang tak pernah mereka ketahui, tak pernah mereka bayangkan, kecuali dikisahkan dalam dongengan bahwa ada bangsa yang bernama India, yang memiliki tentara dengan menunggangi gajah. Dalam pada itu, bangsa Yunani kala itu, tidak pernah melihat gajah. Mereka hanya tahu gajah ada dalam mitos.
Perjalanan tentara Yunani akhirnya sampai ke India. Betapa mereka terperanjat saat melihat gajah yang sesungguhnya. Kala itu, Alex yang sudah jaya, lupa pada ajaran Aristoteles. Bahkan Alex berujar, Aristoteles ilmunya dangkal karena tidak pernah melihat Persia dan gajah yang sesungguhnya. Merasa lebih hebat dari gurunya, ia pun bertekad untuk menaklukkan India.
Ada yang tidak terperhitungkan oleh tentara Yunani termasuk oleh Alexander. Naluri binatang sungguh berbeda dengan naluri manusia. Kuda tidak pernah takut menghadapi tombak dan pedang. Karena itu, kuda bisa terus melaju menyongsong musuh. Namun ternyata kuda takut oleh gajah yang badannya lebih besar dan raungannya lebih keras. Kuda-kuda tentara Yunani enggan melaju sekalipun telah dilecut. Kuda-kuda itu bergeming saat melihat barisan gajah yang ditunggangi tentara India. Inilah mula kekalahan Yunani.
Alex pulang dengan berujar, manusia barbar tidak bisa ditaklukan tanahnya, tapi harus ditaklukan jiwanya. Kekalahan itu telah membawanya kembali pada kesadaran humanistik. Ia tidak berminat lagi untuk melakukan peperangan. Ia memutuskan untuk pulang dan memperkuat jiwa-jiwa bangsa Yunani.
Kisah tentang Sang Penakluk Sepanjang Jaman itu, tentu terbuka untuk ditafsir ulang, dan bisa ditarik garis kontekstual dengan kondisi sosial-politik negara dan bangsa Indonesia saat ini.
Saat ini, bangsa kita sedang memasuki masa terombang-ambing. Gonjang-ganjing politik belum juga reda. Korupsi kian merajalela. Dalam pada itu, percik-percik separatisme, bertempiasan di beberapa Konfrontasi di kawasan-kawasan perbatasan RI, bisa dengan mudah meletus, seperti yang terjadi dengan Malaysia saat memperebutkan Pulau Sipadan dan Ligitan.
Dengan menghikmati kembali kisah Alexander, kita bisa melihat bahwa pertahanan itu tidak terletak pada jumlah tentara atau persenjataan yang modern. Pertahanan itu berasal dari dalam diri. Saat akan bertanding, antusias dan mentalitas bangsa Yunani jauh lebih menggebu dan berkobar, hingga melahirkan gaung dan raungan yang menakutkan. Sementara tentara Persia tidak berdarah untuk perang.
Kemenangan Yunani berasal dari dalam diri. Hal ini pula yang diajarkan dalam kisah Musashi, samurai tidak bertuan yang berhasil menaklukan berbagai perguruan hanya dengan seorang diri. Kemenangan orang-orang yang kemudian menjadi penguasa dunia, juga sering dikisahkan, berasal dari keyakinan yang begitu kuat, dan bukan dari persenjataan yang lengkap dengan dukungan tentara yang banyak. Imamura menaklukan Belanda di Kalijati, Subang, juga hanya dengan jumlah tentara yang sedikit dan dengan persenjataan yang tidak memadai. Tapi Belanda gentar sebelum perang. Atau Fidel Castro yang bergerak hanya dengan tujuh orang dari hutan, dengan bedil seadanya, toh berhasil menumbangkan junta militer yang bahkan didukung oleh Amerika.
Menyerang atau bertahan, sama-sama membutuhkan jiwa-jiwa yang kuat, dan keyakinan itu bersandar di lubuk hati yang terdalam. Ada baiknya kita hikmati sekelumit kalimat di bawah ini:
Dari Abu 'Abdillah An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhuma berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara yang syubhat (samar-samar), kebanyakan manusia tidak mengetahuinya, maka siapa yang menjaga dirinya dari yang syubhat itu, berarti ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan siapa yang terjerumus dalam perkara syubhat maka ia telah terjerumus kedalam wilayah yang haram, seperti penggembala yang menggembala di sekitar daerah terlarang maka hampir-hampir dia terjerumus ke dalamnya. Ingatlah setiap raja memiliki larangan dan ingatlah bahwa larangan Allah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”. [HR. Bukhari dan Muslim]
Maka dalam konteks pertahanan pun, intinya ada di dalam hati. Bukan berarti persenjataan dan prajurit tidak dibutuhkan. Namun bila prajuritnya tidak memiliki keyakinan yang kuat, pertahanan akan mudah goyah. Malah bisa jadi pertahanan akan berantakan bila banyak prajurit yang ternyata berkhianat demi kepentingan sendiri atau kelompoknya. Kisah penjualan pasir dari perairan Indonesia ke Singapura seperti yang pernah dilansir media massa beberapa waktu lalu, di mana Singapura memanfaatkan pasir itu untuk mengeruk laut demi perluasan wilayahnya, harus dipandang sebagai pengkhianatan. Berarti jiwa-jiwa bangsa kita masih lemah dalam mempertahankan kedaulatan tanahnya. Sebab dengan penjualan pasir itu, tanah Singapura menjadi lebih luas, dan laut kita jadi menyempit.
Pertahanan bisa menjadi sangat rapuh, bukan karena musuh yang begitu kuat menyerang, tapi karena jiwa yang lumpuh untuk bertahan.
Tetapi, berita-berita yang beredar di media massa ketika membahas soal pertahanan, jarang sekali membicarakan dari sudut jiwa bangsa atau dari sudut manusianya. Anggaran untuk Kementerian Pertahanan, lebih banyak membahas pembelian persenjataan. Para pembesar di negeri ini sepertinya sepakat, pertahanan kita kurang bagus karena persenjataan dan perlengkapan yang dimiliki negara kita didominasi oleh barang rongsokan. Dua kapal selam yang kita miliki misalnya, adalah kapal selam keluaran Rusia pada era Perang Dunia II.
Memang, bila membicarakan pertahanan hanya dari konteks negara, yang muncul adalah mempertahankan kadaulatan wilayah. Itulah yang menjadi alasan anggaran pertahanan perlu ditambah untuk membeli persenjataan, terutama setelah Pulau Sipadan dan Ligitan lepas ke Malaysia. Padahal menurut pendapat beberapa pakar yang melakukan analisis, lepasnya Sipadan dan Ligitan bukan karena perlengkapan perang negara kita yang didominasi barang rongsokan, toh kedua pulau itu lepas bukan karena kalah perangan, tapi karena kalah strategi oleh Malaysia dalam hal pembangunan.
Kedua pulau itu sudah lama menjadi sengketa. Karena gejolak internal lebih menyedot tenaga dan perhatian, membuat pemerintah kita lupa bahwa ada dua pulau yang sedang dipersengketakan dengan Malaysia. Sementara pemerintah Malaysia terus membangun di kedua pulau itu, sehingga Mahkamah Internasional memberikan kedua pulau itu untuk Malaysia yang dianggap lebih peduli. Misalkan diberikan referendum kepada penduduk di dua pulau itu, apakah akan memilih Malaysia atau Indonesia, rasanya tidak yakin mereka akan memilih bergabung dengan Indonesia.
Mengkaji fakta di atas, dan membaca gejolak yang terus timbul di kawasan perbatasan (borderline) Republik Indonesia, sudah waktunya pertahanan kebangsaan diperkuat. Sudah waktunya membangun benteng-benteng pertahanan itu sejak dari dalam jiwa, dan bukan sekadar membangun benteng yang mentereng seperti yang diwujudkan oleh Kaisar China dengan mendirikan Benteng China. Toh Dinasti China pendiri benteng itu, runtuh bukan oleh serangan dari luar, tapi porak-poranda dari dalam.
Adanya pihak-pihak yang berani menjual pasir ke Singapura atau menjual BBM ke tengkulak Malaysia, membuktikan pertahanan jiwa kebangsaan kita sangat rapuh. Luasnya wilayah Singapura, berpisahnya Timor-Timur, lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan, adalah pelajaran yang mengingatkan bahwa manusia tidak bisa ditaklukan dengan cara merampas tanahnya atau merebut kekuasaanya, tapi harus dengan menaklukan jiwanya, seperti kata Alexander.
***
Setiap bulan Juni, tentang kebangsaan kembali dirayakan dan didiskusikan, karena tanggal 1 Juni dinyatakan sebagai hari kelahiran Pancasila, dan tanggal 6 Juni, Bung Karno lahir. Pancasila dan Soekarno telah menjadi dua kata sakti yang seolah bisa menyembuhkan luka bangsa, apapun jenisnya. Tentu saja bila hanya dengan menyebut dan mengenang dua kata sakti itu, luka tidak akan bisa disembuhkan. Ajaran Pancasila dan spirit Bung Karno, harus diteladani dan diejawantahkan.
Seluruh sila dalam Pancasila adalah ajaran yang menitikberatkan pada persoalan kebangsaan. Bung Karno juga dinisbatkan sebagai bapak bangsa (founding father) dan bukan bapak negara. Tetapi semakin hari, sepertinya bangsa ini sedang menjauh dari moralitas Pancasila dan élan vital Bung Karno. Kita terlalu bersibuk membicarakan Negara dari konteks fisik, namun kurang abai dalam memperkuat jiwa nasionalis.
Makin maraknya tindak korupsi dan kriminalitas, menjadi sinyalemen betapa ajaran Pancasila semakin ditinggalkan. Semakin banyaknya orang-orang yang mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan, semakin mencerminkan betapa spirit Bung Karno hanya tinggal jargon. Sungguh jauh dari spirit Bung Karno yang betapa kuat dan kukuh menggenggam semangat kebangsaan. Demi bangsa, ia tidak gentar oleh bedil dan senapan, juga tidak lumpuh oleh penyekapan dan pembuangan. Pun, ia tidak pernah terdengar melakukan korupsi.
Bung Karno kemudian menegaskan, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Sejarah, tentu bukan sekadar untuk dihapal, tapi untuk dinukil dan ditafsir terus-menerus. Selanjutnya, mari kita belajar pada sejarah lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, serta berpisahnya Timor Timur, yaitu bahwa pertahanan yang paling kuat ialah membangun jiwa-jiwa yang kuat. Di kawasan perbatasan wilayah, yang diperkuat bukan hanya benteng mentereng, tapi jiwa-jiwa dengan semangat kebangsaan yang menyala-nyala.
***
No comments:
Post a Comment