Teks Doddi Ahmad Fauji
“Soekarno!” Teriak seseorang.
Kami menoleh ke arah teriakan itu. Rupanya berasal dari dalam toko klontongan yang sedang kami lalui.
Melihat kami menoleh, orang itu nampak bahagia dan segera ke luar dari toko. Ia mengulurkan senyuman dan menyalami kami. Tahu kami bukan orang Rusia, ia coba bicara dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.
Saya dan Benny Benke (wartawan koran Suara Merdeka), coba menyimak apa yang ia sampaikan. Kami beruntung bisa sampai ke Rusia untuk membaca puisi dan menjadi pembicara dalam seminar Kebudayaan Indonesia Terkini di Universitas Negeri Moskow, Rusia, dan di Universitas Negeri St. Petersburg, pada bulan Maret 2004 silam. Para peserta seminar adalah para profesor yang mewakili 7 Perguruan Tinggi di Rusia yang mempelajari kebudayaan Indonesia. Kami pun tentu memanfaatkan kunjungan ke Rusia itu untuk menyusuri jalan-jalan di Kota Moskow dan Kota St. Petersburg yang bersejarah.
Selama di Moskow, Benny tiba-tiba keranjingan mengenakan kupiah untuk menghalau udara dingin selepas rinyai salju reda. Saat menyusuri jalan-jalan itulah kami dengar seseorang meneriakkan kata “Soekarno” dari dalam toko.
“Saya pengagum Soekarno,” kata orang itu. Kupiah yang dipakai oleh Benny, kata dia, mengingatkannya kepada Presiden Soekarno yang pernah ia lihat dulu.
Lelaki itu pun bercerita. Waktu kecil dulu, ia dan teman-teman sekolahnya berjajar dan berbanjar di jalan menuju gelanggang olah raga Luzhniki, di Kota Moskow. Anak-anak disetting untuk mengibar-ngibarkan bendera Merah Putih ukuran mini guna menyambut kedatangan Presiden Soekarno yang akan berorasi di gedung itu pada 1956. Mengenakan baju kebesarannya, setelan sapari, Soekarno tak pernah menanggalkan kupiah di depan umum. Sejak Soekarno memperkenalkannya, walau tidak pernah dikukuhkan melalui Undang-undang, kupiah telah menjadi penutup kepala resmi bangsa Indonesia, yang dipakai oleh para Presiden dan anggota Kabinet, anggota DPR, pemuka agama Islam, termasuk dipakai oleh Kwik Kian Gie sewaktu menjabat Menteri di Kabinet Gotong Royong.
“Soekarno sangat hebat. Kami semua terpesona. Bung Karno berpidato Di Luzhniki. Kami anak-anak kecil, tentu tidak mengerti apa yang disampaikan dalam pidato Bung Karno, tapi kami semua bertepuk tangan. Aku masih ingat topi yang dipakainya, khas sekali, mungkin hanya orang Indonesia yang memakai topi seperti yang kamu pakai ini,” kata pemilik toko itu.
Kedatangan Soekarno menarik perhatian ribuan masyarakat Soviet. Acara yang paling istimewa adalah pertemuan akbar persahabatan Uni Soviet – Indonesia yang diadakan di gelanggang olah raga Luzhniki itu.
“Waktu itu, pidato Soekarno berkali-kali disambut gegap gempita tepuk tangan. Para hadirin telah terpesona dengan penampilan orator luar biasa ini. Semua memahami bahwa mereka sedang menyaksikan tokoh berskala dunia, putra sejati bangsanya yang luhur,” kata Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Alexander Ivanov, seperti ia tuliskan dalam Yubileum yang Ke-60 Hubungan Rusia – Indonesia.
Kunjungan resmi kenegaraan Bung Karno ke Rusia, mulai 28 Agustus hingga 12 September 1956, membuka sejarah baru hubungan bilateral Indonesia – Uni Soviet, yang masa itu dipimpin Nikita Khruschev. Pada 11 September, berhasil ditandatangani Pernyataan Bersama. Dokumen itu menegaskan, kedua negara akan membangun hubungan bilateral berdasarkan prinsip saling menghormati keutuhan wilayah dan kedaulatan masing-masing negara, penolakan campur tangan urusan masing-masing, dan akan mengikuti semangat serta prinsip-prinsip Konferensi Bandung. Kedua pihak sepakat untuk mengatur kerjasama di bidang perdagangan, teknologi, dan ekonomi berdasarkan kesetaraan dan saling menguntungkan.
Usai orasi di Luzhniki, Bung Karno melihat-lihat gelanggang olah raga itu, dan berkata kepada Khruschev, “Saya ingin yang sama”.
Soviet pun segera mengirimkan para arsitek dan teknisi ke Indonesia untuk mewujudkan Gedung Olah Raga Senayan Bung Karno (Gelora Bung Karno). Pada 1962, menjelang Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games di Jakarta, Gelora Bung Karno sudah bisa diresmikan. Menurut Ivanov, dari segi mutunya, Gelora Bung Karno waktu itu bahkan lebih unggul dibanding Luzhniki.
“Di Gelora Bung Karno langsung dipasang pelindung untuk melindungi para penonton dari hujan dan sengatan matahari. Di Luzhniki, konstruksi seperti itu baru dipasang 40 tahun kemudian,” tulis Ivanov dalam situs resmi Kedubes Rusia untuk Indonesia.
Setalah kunjungan 1956, Soekarno mengunjungi Uni Sovyet tiga kali lagi, yaitu pada 1959, 1961 dan 1964. Pada 1960, Nikita Khruschev melakukan kunjungan balasan ke Indonesia, dan menghasilkan penandatanganan persetujuan-persetujuan baru mengenai kerjasama antara kedua negara.
Persetujuan-persetujuan baru itu berhasil melahirkan sejumlah kesepakatan bilatelar yang bersifat strategis, termasuk kerjasama dalam bidang peningkatan pertahanan Indonesia, modernisasi angkatan udara dan angkatan laut Indonesia. Uni Soviet mulai mengirimkan persenjataan dan peralatan militer ke Indonesia, juga beberapa ribu orang tentara maritim dan angkatan udara Indonesia, dididik dan dilatih di Uni Soviet.
Ivanov memerinci, pada masa kerjasama dengan Pemerintah Soekarno, Uni Soviet telah memasok persenjataan dan teknik militer dengan biaya melebihi satu miliar dollar AS (dengan perhitungan harga masa itu). Angkatan laut mendapat 70 buah kapal tempur dan kapal pendukung, termasuk kapal-kapal penjelalah bernama “Ordzhonikidze” (Indonesia member nama “Irian”), 6 buah kapal torpedo, 4 buah kapal jaga, 12 buah kapal selam, 12 buah kapal motor luncur rudal dan 12 buah kapal motor luncur torpedo, 10 buah kapal penyapu ranjau, pesawat-pesawat tempur MIG-17, MIG-19, MIG-21, dan pesawat-pesawat pendukung.
Pasukan marinir mendapat 100 buah tank amfibi, artileri, beberapa devisi rudal sistem pertahanan antirudal, persenjataan tembak, mesiu, dan amunisi untuk dua divisi pasukan militer. Angkatan Udara Indonesia disuplai dengan pesawat torpedo modern (TU-16 KS dan TU-16), pesawat pengebom, dan pesawat intelijen jarak jauh.
Berbekal persenjataan militer tersebut, Soekarno mengambil tindakan tegas terhadap Belanda yang masih bercokol di Papua. Pada tanggal 13 Desember 1961, Presiden Soekarno memerintahkan TNI untuk membebaskan Irian Jaya dengan tindakan perang serta menyampaikan amanat kepada bangsa Indonesia agar mengikuti Tiga Komando Rakyat (Trikora).
Saat mengambil keputusan itu, Presiden Soekarno mempunyai keyakinan kuat pada kekuatan tentara Indonesia dan pada dukungan dari para sekutu. Dukungan persenjataan militer dari Uni Soviet membuat TNI lebih kuat. Sedangkan dukungan secara politis, selain datang dari Rusia, juga datang dari Amerika Serikat, di mana Presiden Kennedy di PBB menyatakan guna menghindari perang di Pasifik, maka Belanda harus meninggalkan Papua Barat yang telah diganti nama oleh Bung Karno menjadi Irian (Ikut Republik Indonesia Anti Nederland).
Menurut beberapa pengamat, selain karena dukungan Soviet dan Amerika melalui Kennedy, kehadiran kapal selam Soviet di perairan Irian membuat Belanda menerima ultimatum Indonesia, tapi dengan catatan bahwa pada tahun 1969, warga Irian harus diberi kesempatan referendum untuk menentukan apakah tetap bergabung dengan Indonesia atau memisahkan diri dan membentuk pemerintahan sendiri. Hingga saat ini, Papua masih berlindung dalam payung NKRI.
Kiranya, bangsa Indonesia cukup beruntung dan patut bersyukur karena memiliki Negara sahabat seperti Rusia. Kontribusi Rusia terhadap Indonesia sudah cukup jelas dan tegas, baik dalam bidang politik maupun bantuan persenjataan militer. Hubungan Indonesia – Soviet memang sempat memburuk semasa Orde Baru berkuasa, namun tidak sampai memutuskan hubungan bilateral. Tapi setelah Soviet runtuh dan Orde Baru jatuh, hubungan Indonesia – Rusia kembali terjalin baik. Bahkan Rusia telah mengagendakan beberapa rencana untuk menjalin hubungan bilateral yang lebih harmonis dan saling menguntungkan.
Beberapa rencana yang telah diagendakan Rusia untuk Indonesia antara lain menjajaki kerja sama industri pertahanan dalam bentuk produksi disertai transfer teknologinya. Indonesia bukan hanya disuruh membeli alutsista (alat utama sistem persenjataan) buatan Rusia, tapi sekaligus diajari teknologinya, juga termasuk teknik produksinya. Seperti dituturkan Dubes Rusia untuk Indonesia Alexander Ivanov, Rusia akan menjalin kerjasama dengan PT Dirgantara Indonesia (pesawat), PT PAL (kapal laut), dan PT Pindad (persenjataan militer). Juga bersedia melatih beberapa perwira Indonesia di negeri beruang kutub itu.
"Dengan PT Pindad, kami sudah merancang nota kesepakatannya, sedangkan dengan PT Dirgantara Indonesia, kami sudah menyelesaikan nota kesepakatannya untuk segera disahkan oleh dua pihak," kata Ivanov seusai menyematkan penghargaan "Medal for Strengthening Combat Fraternity" dari Pemerintah Rusia kepada Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, di Jakarta, akhir September 2011.
Ivanov memerinci beberapa rencana yang akan dijalankan, misalnya menjajaki pembuatan tank dengan PT Pindad dan pemeliharaan menyeluruh sejumlah helikopter Mi-35 dengan PT Dirgantara Indonesia. Sementara dengan PT PAL, telah dilakukan penjajakan untuk pembuatan sejumlah peralatan dan persenjataan maritim.
Di tengah kondisi buruknya alutsista Indonesia, apalagi setelah berkiblat ke Amerika namun kemudian Amerika melakukan embargo, maka berkiblat ke arah utara (Rusia) untuk memperbaiki peralatan militer dan memperkuat pertahanan NKRI, merupakan langkah yang tepat. Pemerintah Indonesia jelas harus all out dalam menyambut tawaran dari Rusia itu, apalagi dengan catatan, bahwa hubungan bilateral Indonesia – Rusia sedari dulu, dijalankan tanpa ikatan politik atau ideologi.
Kita patut berkiblat ke Rusia karena negara dengan wilayah terbesar di dunia ini, bukan sekadar memiliki wilayah yang besar, tapi pernah menjadi negara adidaya di masa Uni Soviet dulu. Sekarang pun langkah pembangunan industri Rusia memperlihatkan indikasi bahwa mereka akan kembali menjadi negara adidaya.
Sejarah mencatat, bahwa Rusia memiliki sistem pertahanan yang kuat, serta persenjataan militer yang canggih. Mereka memang pernah dijajah oleh bangsa Mongolia, namun segera dapat membebaskan diri. Rusia pernah diserang oleh Napoleon Bonaparte, namun mereka memenangkan peperangan dan membuat tentara Napoleon pulang membawa kekalahan. Di masa perang dunia dua, salah satu kota penting Rusia, Stalingrad, pernah dikepung selama 900 hari oleh tentara Hitler. Namun mereka bertahan dan berhasil menghalau tentara Hitler. Tak puas sekedar menghalau, tentara Rusia segera mengejar tentara Jerman dan berhasil mengakhiri kediktatoran Hitler. Sejak itu, kawasan Eropa Timur pun menjadi mitra Uni Soviet dan mengukuhkan kebersamaan mereka dalam Fakta Warsawa.
Dalam sejarah, Rusia hanya pernah kalah perang secara memalukan dari Jepang pada era 1904 – 1905 dalam rangka memperebutkan kawasan Mansuria. Namun kekalahan ini tidak menjadikan Kekaisaran Rusia tamat riwayat. Sebagai negara, Rusia tetap berjaya.
Politik dan persenjataan militer Rusia, pernah menguasai separuh negara dan bangsa di dunia. Bahwa kemudian imperium Uni Soviet runtuh, bukan karena kalah perang militer melawan musuh, namun kalah dalam strategi politik. Uni Soviet kalah licik dalam berpolitik melawan trik Amerika dan sekutunya.
Berkiblat ke Rusia yang berada di utara itu, tentu kita jangan hanya menjiplak metode dan teknik perindustriannya, tapi juga harus belajar pada kebudayaannya.
Catatlah, betapa orang Rusia sangat menghargai hasil cipta karsa anak bangsanya, dan mendahulukan menghargai hasil cipta seni-budayanya. Patung yang terdekat dari Kremlin (pusat pemerintahan Rusia), adalah patung Alexander Pushkin (penyair), baru kemudian disusul patung Yuri Gagarin (astronot), dan patung terdekat berikutnya adalah patung kepala Lenin. Artinya, sekalipun mereka sangat membanggakan hasil-hasil industri teknologi, namun penghargaan kepada seniman-budayawan, lebih didahulukan. Taman Gorky (untuk mengenang sastrawan Maxim Gorky) yang berada di Moskow, menjadi taman utama dan sangat penting bagi masyarakat Rusia. Grup band Scorpions menggelar konser legendaris di Gorgy Park, yang kemudian dibadikan dalam lagu Wind of Change.
Bila suatu hari Anda berkunjung ke Kota St. Petersburg, Kota terbesar kedua di Rusia, cobalah amati dengan jeli jejak-jejak sejarah dan tanda penghargaan bagi para putra Rusia yang berprestasi. Setiap jengkal tanah di Kota St. Petersburg, seakan menjadi catatan sejarah prestasi bangsa Rusia. Di kota ini, banyak sekali rumah dipasangi plakat, misalnya bertuliskan, “Di rumah ini pernah tinggal seorang penemu turbin.” Bahkan kafe tempat Alexander Puskhin nongkrong dan membunuh waktu, masih terawat dengan baik hingga sekarang. Begitulah kebudayaan bangsa Rusia, gemar menghargai prestasi bangsanya, dan Kota St. Petersburg adalah gudang prasasti bagi insan-insan yang berprestasi.
Dalam persenjataan militer, walaupun sering dicemooh oleh bangsa Amerika melalui ilustrasi game atau film, namun terbukti AK-47 merupakan senjata paling sukses dan banyak diadopsi oleh berbagai negara. Dalam film-film Hollywood, selalu digambarkan musuh mereka menggunakan senjata AK-47 buatan Rusia, dan tentu musuh-musuh itu akan dikalahkan.
Dalam teknologi persenjataan militer, memang lambang kesuksesan Rusia disimbolkan dengan senapan serbu AK-47 hasil rancangan Mikhail Kalashnikov, di mana AK-47 ternyata diam-diam ada dalam bendera Mozambik, Burkina Faso, dan dalam bendera Hizbullah. Di beberapa negara Afrika, banyak anak yang diberni nama Kalash, yang merupakan kependekan dari Kalashnikov. Apapun yang terjadi, AK-47 buatan Rusia pernah menjadi yang terbaik di dunia, dan pernah digunakan oleh paling banyak tentara. Setidaknya, 10 negara telah membeli lisensi untuk memproduksi AK-47 di negaranya sendiri.
Rusia sudah mengulurkan tangan. Ada baiknya kita menyambut total uluran tangan itu. Ketika Alexander Ivanov ditanya oleh para wartawan, mengapa Rusia mau menggandeng Indonesia, Ivanov mejawab singkat dan padat, “Because we are friend.”
Sebagai teman yang pernah sama-sama pula bermusuhan dengan Amerika, tentu ia akan membantu permasalahan alutsista dan pertahanan NKRI yang rentan dari separatisme. Jangan salah bahwa Rusia juga rentan dari separatisme dan gangguan teroris. “Kita akan bekerjasama pula dalam memerangi separatisme dan terorisme,” kata Alexander Ivanov.
No comments:
Post a Comment