Menjadi seniman di Indonesia, memiliki nilai gambling yang tinggi, termasuk seniman rupa. Bila pencaharian sepenuhnya bergantung pada hasil berkesenian, seringkali dapur seniman megap-megap untuk ngepul. Banyak seniman rupa yang terpaksa harus nyambi pekerjaan lain supaya perut tidak berontak.
Tetapi tentu ada seniman-seniman yang berhasil secara ekonomi, malah berkecukupan, dengan tetap mengandalkan penghasilan dari berkesenian. Perupa Jeihan Sukmantoro adalah contohnya.
Tapi jangan lihat kesuksesan material Jeihan di masa sekarang, di mana seniman kelahiran Solo 1938 itu kini memiliki beberapa rumah, studi lukis empat lantai, bahkan memiliki mesjid. Lihatlah dulu ketika ia berjuang habis-habisan guna sukses di dunia seni rupa, khususnya lukisan.
Dulu perekonomian Jeihan sempat morat-marit. Saya tidak tahu persis, tapi ia yang mengatakannya, bahwa dulu sempat harus jual celana buat beli beras, jual baju ditukar lauk-pauk. Tapi Jeihan tidak kapok, tidak takut, dan tidak goyah dengan keyakinan memilih jalan “kuas” untuk melakoni hidup ini.
Sampai pada suatu hari, ia berkesempatan menggelar pameran tunggal di Balai
Budaya, Jakarta Pusat. Gedung ini dulu cukup legendaris. Banyak seniman yang dibesarkan di gedung yang kini nasibnya tragis itu. Tapi pameran lukisan kala itu, sekita tahun 70-an, belum tentu bisa mendatangkan kesuksesan. Belum tentu karya yang dipamerkan dibeli oleh kolektor. Bukan hanya kala itu, sekarang pun belum tentu sebuah pameran bisa menjualkan karya yang dipamerkan.
Jeihan pun mengalaminya. Luksian-lukisan yang dipamerkan tidak laku. Ia bingung harus membawa pulang karya lukisnya ke Bandung, harus sewa mobil, dan tentu membutuhkan biaya. Akhirnya ia menawarkan lukisannya dengan harga yang murah, bisa dikatakan banting harga.
Namanya juga hasil banting harga, tentu uang yang dihasilkan tidak banyak. Tapi Jeihan sudah punya anak, dan yang namanya anak tidak amu tahu bagaimana keuangan orang tua. Yang mereka tahu, bapak pergi ke Jakarta, pasti bawa oleh-oleh.
Sebelum sampai ke rumah, Jeihan mampir ke Pasar Andir di Bandung, guna mencari oleh-oleh. Ia melihat rambutan. Maka diboronglah satu kol dolak rambutan, dan di bawa pulang ke rumah.
“Ini anak-anak, oleh-olehnya, rambutan satu mobil,” kata Jeihan, menghibur anak-anaknya. Tapi dalam hati menjerit, ini rambutan hasil banting harga lukisan.
Tetapi tentu ada seniman-seniman yang berhasil secara ekonomi, malah berkecukupan, dengan tetap mengandalkan penghasilan dari berkesenian. Perupa Jeihan Sukmantoro adalah contohnya.
Tapi jangan lihat kesuksesan material Jeihan di masa sekarang, di mana seniman kelahiran Solo 1938 itu kini memiliki beberapa rumah, studi lukis empat lantai, bahkan memiliki mesjid. Lihatlah dulu ketika ia berjuang habis-habisan guna sukses di dunia seni rupa, khususnya lukisan.
Dulu perekonomian Jeihan sempat morat-marit. Saya tidak tahu persis, tapi ia yang mengatakannya, bahwa dulu sempat harus jual celana buat beli beras, jual baju ditukar lauk-pauk. Tapi Jeihan tidak kapok, tidak takut, dan tidak goyah dengan keyakinan memilih jalan “kuas” untuk melakoni hidup ini.
Sampai pada suatu hari, ia berkesempatan menggelar pameran tunggal di Balai
Budaya, Jakarta Pusat. Gedung ini dulu cukup legendaris. Banyak seniman yang dibesarkan di gedung yang kini nasibnya tragis itu. Tapi pameran lukisan kala itu, sekita tahun 70-an, belum tentu bisa mendatangkan kesuksesan. Belum tentu karya yang dipamerkan dibeli oleh kolektor. Bukan hanya kala itu, sekarang pun belum tentu sebuah pameran bisa menjualkan karya yang dipamerkan.
Jeihan pun mengalaminya. Luksian-lukisan yang dipamerkan tidak laku. Ia bingung harus membawa pulang karya lukisnya ke Bandung, harus sewa mobil, dan tentu membutuhkan biaya. Akhirnya ia menawarkan lukisannya dengan harga yang murah, bisa dikatakan banting harga.
Namanya juga hasil banting harga, tentu uang yang dihasilkan tidak banyak. Tapi Jeihan sudah punya anak, dan yang namanya anak tidak amu tahu bagaimana keuangan orang tua. Yang mereka tahu, bapak pergi ke Jakarta, pasti bawa oleh-oleh.
Sebelum sampai ke rumah, Jeihan mampir ke Pasar Andir di Bandung, guna mencari oleh-oleh. Ia melihat rambutan. Maka diboronglah satu kol dolak rambutan, dan di bawa pulang ke rumah.
“Ini anak-anak, oleh-olehnya, rambutan satu mobil,” kata Jeihan, menghibur anak-anaknya. Tapi dalam hati menjerit, ini rambutan hasil banting harga lukisan.
No comments:
Post a Comment