Terjadi perubahan dan pergeseran makna kesenian setelah rezim Orde Baru. Kesenian bukan lagi profresi istimewa yang unik.
ADA argumentasi mengapa kebebasan berekspresi dalam berkesenian harus dibatasi. Bila tidak dibatasi, laku kreativitas memang bisa menerabas batas-batas yang mengganggu aspirasi pihak lain. Sebagai misal, memvisualisasikan Tuhan, malaikat, dan para nabi, terutama Nabi Muhammad, adalah pantangan bagi umat Islam. Karena itu, sekalipun yang membuat kartun Nabi Muhammad itu di Denmark, orang Islam di Indonesia ikut berang.
Kebebesan berekspresi atau litentia poetica memang bisa liar seliar-liarnya. Bila tidak diberi koridor, seniman dan karyanya bisa berlaku seperti ular berkepala dua yang akan mematuk kesana kemari. Itulah sebabnya, Rezim Orde Lama (Orla) menggariskan konsepsi kesenian pada yang bersifat progresif revolusioner. Acuannya adalah karya-karya yang secara tematik bernada realisme sosial, yang diadopsi oleh para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) penyokong Orla. Di luar itu, seniman dan karyanya akan didepak. Kesenian yang mendayu-dayu, dicap sampah.
Rezim Orde Baru (Orba) juga membuat kredo untuk kesenian yang dianggap sah, yaitu kesenian yang merupakan hasil ekspresi kebebasan yang bertanggungjawab. Rujukan Orba ini terasa samar. Namun intinya, kesenian yang dihasilkan oleh seniman Lekra mendapat pelarangan yang keras dan tegas. Kesenian yang mengertik rezim, akan dibungkam. Sama seperti Orla, Orba juga memandang sampah terhadap kesenian yang mandayu-dayu. Mungkin Anda masih ingat Menteri Penerangan Harmoko di kala itu, melarang lagu-lagu yang dinilai cengeng, yang mebuat redupnya bintang Obbie Mesakh, Rinto Hararap, Pance Pondaag, Betharia Sonata, Iis Sugiarto, dan lain-lain.
Baik Orla maupun Orba, sesikap sepandang dalam mendudukan kesenian. Keduanya menjadi regulator yang berperan aktif dalam mengontrol kesenian. Tetapi kacamata yang mereka pakai bukanlah kaidah estetika, melainkan ranah politik. Adapun perangai politik, seringkali alfa dalam menimbang nilai. Laku politik, tentu saja politik tanpa hati nurani, tidak segan-segan membunuh nilai. Sedang kesenian sarat dengan nilai. Karena itu, seringlah kesenian dengan politik berseberangan kepentingan.
Dalam perang kepentingan ini, kesenian lebih sering menjadi pihak yang babak belur. Politik mejadi panglima yang siap dan tega memberangus. Tetapi memberangus kesenian adalah perbuatan blunder, sebab bukan saja merugikan kesenian itu sendiri, melainkan telah memperlindap unsur yang berfungsi meretas ranah afektif manusia.
Kita adalah saksi, betapa dua rezim itu telah menjadi kurator paling linglung dalam jagad kesenian di Nusantara. Kesenian dipilih dan dipilah yang sesuai menurut garis politiknya. Yang keluar garis, jangan ambil bagian, atau silakan saja, tapi imbalannya mendekam di penjara. Kedua rezim ini sama-sama telah melakukan pembakaran terhadap buku karya seni, sama-sama telah mencekal seniman yang dinilainya nakal, dana sama-sama telah men-checkin-kan seniman bebal ke hotel prodeo.
Orla dan Orba sama saja represifnya terhadap kesenian. Keduanya, juga sama-sama menempatkan kesenian sebagai alat propaganda. Alhasil, kesenian menjadi dangkal, berbau demagog (pidato kebohongan). Dalam acara-acara seremonial, kesenian menjadi life service.
Dalam memandang kesenian yang bertema seksual, kedua rezim ini telah dibantu oleh Majelis Ulama Indoensia (MUI) dalam menentukan koridornya. Kesenian yang dinyatakan haram oleh MUI, dilaranglah oleh kedua rezim ini.
Sayang sekali saya tidak mengalami represi di jaman Orla. Saya hanya mendengar dan membaca apa yang terjadi di kala itu. Saya menyimpulkan, karena rezim Orba lebih lama berkuasa, maka kondisi represif di jaman Orba lebih lama pula. Tetapi hasilnya, bisa jadi sama buruknya.
September 1997 mulai berhembus wind of change, dan menjadi mailstone pelbagai perubahan dan pergeseran di Tanah Air. Dalam konstelasi politik, September 1997 menjadi lentik api yang membakar tuntutan reformasi di Tanah Air, hingga berhasil menurunkan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Langkah ini diikuti dengan terbukanya keran-keran kebebasan yang selama Orba ditutup rapat-rapat. Semua orang jadi berani bicara, mengeritik, bahkan menghujat.
Di ranah kesenian, terjadi perubahan dan pergeseran atmosfer. Saya mencatat beberapa perubahan drastis setelah orde represif berlalu.
Pertama, aura kesenian mengalami kepudaran, terutama aura kesenian yang bertema kritik terhadap penguasa. Pada masa Orba, saat menonton pertunjukan Teater Koma atau pembacaan puisi oleh Rendra, tercium hembusan aroma pemberontakan. Bahkan dengan membaca puisi Widji Thukul saja, gugatan terhadap kekuasaan itu sudah terasa. Ketika sang rezim tumbang, pisau-pisau kritik itu menjadi tumpul adanya.
Kedua, meski aura kesenian memudar, tetapi justru yang ingin menjadi seniman malah berjubal. Para mantan pejabat Orba misalnya, tiba-tiba berkesenian, tulis-baca puisi, atau melukis. Generasi yang sudah post power syndrome, juga berkesenian. Tiba-tiba mantan direktur bank menjadi pelukis, lalu berpameran. Mantan GM hotel jadi penyair. Pengusaha sukses menerbitkan kumpulan puisi. Purnawirawan Jenderal menyanyi dan membuat album. Tokoh politik yang suaranya tidak merdu, membuat album campursari.
Mereka berkesenian dengan anggapan, bahwa kesenian bisa menghapus dosa-dosa politik yang pernah mereka lakukan. Mereka berkesenian dengan anggapan bahwa kesenian bisa menyembunyikan pakaian buruk yang mereka kenakan. Mereka berkesenian dengan andaian bahwa kesenian bisa menyulap wibawa dan harisma. Dan seperti sang rezim yang propagandis, mereka berkesenian dengan keyakinan bahwa kesenian bisa menjadi sarana kampanye yang efektif. Semua itu, memang, adalah hak setiap orang. Tapi setiap orang harus mengindahkan tanggungjawab estetik.
Ketiga, afek domino dari banyaknya yang ingin berkesenian, telah terjadi proses instanisasi dalam berkarya, diikuti dengan penggampangan dalam proses kreatif, serta pendangkalan dalam konsep. Sebagai misal, di era reformasi ini, bermunculan jenis kesenian yang disebut performance art (seni penampilan). Dikatakan instanisasi, penggampangan, dan pendangkalan, karena mereka berkesenian tanpa proses sublimisasi ide yang intens, juga tanpa kemampuan teknik estetik. Setiap orang seakan bisa menjadi performer art dengan bagus. Bagai euphoria reformasi yang melahirkan pengamat dadakan, para performer juga bermunculan di banyak kota.
Konvensi atau format yang diusung oleh mereka terasa naïf, yaitu menampilkan sesuatu, apapun itu, yang penting aneh atau terkadang vulgar seperti bertelanjang bulat. Beberapa kali saya menonton performance art yang beradegan nude. Pernah ada seorang performer dari Bandung bisa sampai tampil di festival luar negeri hanya kerena dia berani telanjang bulat. Tapi sekarang, kesenian performance art mulai surut, dan tinggal beberapa performer saja yang masih aktif.
Seni Performance art kali pertama muncul di Eropa pada masa perang dunia I sebagai respona para seniman dari wilayah netral seperti Swis, yang mulai menggejala pada 1916. Seniman dari negara yang terlibat perang, segera merespon gerakan ini, kemudian mereka mendeklarasikan gerakan kesenian dadaisme. Para penganut dada ini di antaranya membentuk poros seniman Kobra (Kopenhagen, Brussel, Amsterdam).
Dadaisme ialah sebentuk manifesto yang mengumandangkan politik anti perang lewat karya seni. Bentuk keseniannya menihilkan standar seni modern yang sudah baku. Seni modern sepenuhnya diabdikan untuk kesenian atau l’ art pour l’ art (seni untuk seni), dan dadaisme menertawakannya.
Para seniman yang memprotes peperangan melihat, kesenian modern yang diagungkan itu ternyata tuli lagi bisu di hadapan peperangan. Maka jadilah kesenian dadaisme diabdikan untuk kepentingan kemanusiaan. Bentuk kesenian tidak dipersoalkan lagi, keindahan dinisbikan, yang penting temanya mengugat peperangan itu. Manuver, teror, shock therapy, adalah ciri-ciri muatan yang diusung dadaisme.
Faham dada bergerak di bidang seni rupa, sastra (puisi, manifesto seni, teori seni), teater, rancangan grafis, dan lain-lain. Salah satu bentuk kesenian yang mengemuka saat itu adalah performance art. Masuk ke dalam kategori ini adalah body art (inilah yang sering disebut performance art di Indonesia), fluxus (musik eksperimentalia diiringi visualisasi gambar), happening art (seni peristiwa), puisi aksi (yang pembacaannya atraktif, dan ternyata secara naluriah beberapa penyair Indonesia sudah membaca puisi secara atraktif zonder mengikuti gerakan dadaisme).
Tahun 70-an, muncul gerakan neo-dadaisme sebagai bentuk protes terhadap perang dingin antara blok Barat dan Blok Timur. Performance art semakin menjadi primadona di era neo-dadaisme. Salah satu tokoh neodadaisme adalah Joseph Beuys (Jerman). Seniman lain yang cukup terkemuka di antaranya Yves Klein, Vito Acconci, Hermann Nitsch, Chris Burden, Carolee Schneemann, Yoko Ono, Wolf Vostell, dan Allan Kaprow.
Di luar sana, performance art bukan suatu kesenian yang ujug-ujug (tiba-tiba) muncul tanpa dasar. Sebelum loncat jadi mahiwal (nyeleneh), mereka adalah seniman modernis yang menguasi pakem-pakem estetika, baik itu sastrawan, aktor, perupa, musisi, komposer, penari, koreografer, termasuk fotografer. Dasar-dasar teknik seni neo-dadaisme memang berasal dari disiplin genre-genre seni modern.
Seni performance art di era neo-dadaisme itulah yang masuk ke Indonesia sekira tahun 80-an. Kemudian marak setelah gerakan reformasi 1998. Tetapi, yang diusungnya itu sudah berbeda jauh dari wacana performance art di luar sana, yang lahir sebagai gugatan terhadap kondisi sosial-politik dan peperangan.
Di Indonesia, performance art hadir sebagai ‘ujug-ujug’ akibat dari sikap latah dan euphoria, serta sikap menggampangkan kesenian. Dikiranya performance art itu asal aneh, nyeleneh, atau telanjang. Akhirnya, mereka tampil menjadi bintang semalaman. Besoknya sudah dilupakan orang.
Keempat, juga kerana latah ikut-ikutan dengan wacana yang sedang berhembus di luar sana, para seniman kita mulai membongkar pakem-pakem kesenian modern yang sebelum reformasi dianut dengan kukuh. Dekonstruksi kesenian terjadi di semua genre. Banyak orang yang sebelumnya tidak pernah berkecimpung di kesenian secara formalis-strukturalis, tiba-tiba langsung hadir sebagai seniman dekonstruktif. Alhasil, banyak ulah seniman dadakan itu yang justru mendestruktifikasi kesenian, atau dalam bahasa yang sopan: Melahirkan kesenian tanpa estetika.
Kelima, khusus di bidang seni rupa terjadi pelebaran makna. Semula, seni rupa merupakan terjemahan dari fine art (seni yang indah) atau high art (seni bermutu tinggi). Tetapi di luar sana, terutama Eropa dan Amerika, konsep fine art telah diruntuhkan oleh para eksponen dadaisme itu, sehingga terjadi prubahan istilah menjadi visual art. Seharusnya kita juga segera mengganti istilah seni rupa (fine art) menjadi seni tampak (visual art). Tapi kalau mau menggunakan seni tampak, nanti dikira ikut-ikutan Malaysia.
Dengan perluasan makna seni rupa ini, cakupannya pun jadi tambah luas. Sekarang ini, segala sesuatu karya seni yang nampak (visual), dapat dikategorikan ke dalam seni rupa. Misalnya arsitektur, seni video, fotografi, puisi kongkret, performance art, desain komputer, digital printing, seni foto kopi, masuk ke dalam keluarga besar seni rupa.
Keenam, berkat penemuan piranti teknologi yang revolusioner, yang mendukung untuk semakin mudah berkarya, maka pengerjaan karya seni memang bisa menjadi lebih mudah. Ingin menjadi pelukis misalnya, stakat ini tidak begitu sukar lagi.
Dulu, yang namanya melukis itu adalah menggambar pada sebuah kanvas dengan kuwas atau pisau palet. Sekarang, Anda cukup memotret wajah seseorang, lalu hasilnya dicetak di atas kanvas dalam ukuran besar. Foto pada kanvas itu kemudian dilabur sedikit dengan cat agar terdapat sentuhan tangan Anda. Selanjutnya tinggal mengklaim bahwa foto di atas kanvas itu adalah lukisan dengan teknik garapan dan materialnya adalah mix (campuran), atau bisa ditulis teknik garapan dan materialnya adalah digital printing dan drawing.
Sekarang ini, telah ditemukan mesin digital printer yang bisa mencetak image file (data gambar) full color dalam ukuran yang besar, lebarnya mencapai tiga meter, sedangkan panjangnya bisa sepanjang-panjangnya. Adalah perusahan Canon, Eastman Kodak, Epson, Hewlett-Packard, ITNH Ixia, Mimaki, Mutoh, ColorSpan, dan Roland DGA yang telah berhasil melakukan revolusi printer itu.
Kawan saya, Deddy PAW, seorang pelukis yang piawai melukis realis-naturalis dengan teknik manual atau hand made, tapi mulai menggunakan bantuan digital printer ukuran besar itu. Deddy PAW membuat konsep lukisan dengan didesain oleh komputer, biasanya menggunakan program photoshop. Ia mengolah foto sebaik-baiknya, kemudian di-print di atas kanvas ukuran besar. Hasil printer itu dipulas lagi dengan cat minyak atau akrilik. Hasilnya? Lukisan realis-naturalis yang ia buat prosesnya lebih cepat dikerjakan, dan lebih mirip dengan foto. Ternyata gubahan dia banyak peminatnya. Seni lukis realis- naturalis akhirnya mengalami reinkarnasi.
Penggunaan printer ukuran besar untuk kesenian, pertama kali dipopulerkan oleh mesin merek Iris model 3024, sebuah anak perusahaan Bedford yang berkantor di Massachusetts. Pertama kali diperkenalkan pada September 1987 di Miami.
Mendekati tahaun 1990, Printer Irish mulai digunakan di lapangan kesenian secara meluas oleh Graham Nash untuk mereproduksi karya foto dalam ukuran besar. Kini di Indonesia, digital printer ukuran besar mulai menggantikan teknik melukis air brush yang dimanfaatkan untuk membuat gambar halus pada baligo, papan rekalame, spanduk, dan lain-lain seperti dapat dilihat di mall. Sampul sebuah majalah, koran, atau tabloid sekarang tidak perlu digambar dengan teknik air brush jika ingin diperbesar. Di cetak printer hasilnya lebih bagus dan pengerjaannya lebih cepat.
Berkat penemuan digital printer dalam ukruan besar itu, beberapa pelukis yang memerlukan gambar realis-naturalis, seperti wajah orang, tinggal mengolah foto dengan desain komputer, terus di print, jadilah lukisan.
Kesenian kini bukan lagi sebuah profesi istimewa. Contoh radikal, kencing di trotoar jalan, kemudian dishoot dengan kamera, sudah bisa disebut veideo art. Tapi memang, bukan kesenian kalau tidak nyeleneh.
ADA argumentasi mengapa kebebasan berekspresi dalam berkesenian harus dibatasi. Bila tidak dibatasi, laku kreativitas memang bisa menerabas batas-batas yang mengganggu aspirasi pihak lain. Sebagai misal, memvisualisasikan Tuhan, malaikat, dan para nabi, terutama Nabi Muhammad, adalah pantangan bagi umat Islam. Karena itu, sekalipun yang membuat kartun Nabi Muhammad itu di Denmark, orang Islam di Indonesia ikut berang.
Kebebesan berekspresi atau litentia poetica memang bisa liar seliar-liarnya. Bila tidak diberi koridor, seniman dan karyanya bisa berlaku seperti ular berkepala dua yang akan mematuk kesana kemari. Itulah sebabnya, Rezim Orde Lama (Orla) menggariskan konsepsi kesenian pada yang bersifat progresif revolusioner. Acuannya adalah karya-karya yang secara tematik bernada realisme sosial, yang diadopsi oleh para seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) penyokong Orla. Di luar itu, seniman dan karyanya akan didepak. Kesenian yang mendayu-dayu, dicap sampah.
Rezim Orde Baru (Orba) juga membuat kredo untuk kesenian yang dianggap sah, yaitu kesenian yang merupakan hasil ekspresi kebebasan yang bertanggungjawab. Rujukan Orba ini terasa samar. Namun intinya, kesenian yang dihasilkan oleh seniman Lekra mendapat pelarangan yang keras dan tegas. Kesenian yang mengertik rezim, akan dibungkam. Sama seperti Orla, Orba juga memandang sampah terhadap kesenian yang mandayu-dayu. Mungkin Anda masih ingat Menteri Penerangan Harmoko di kala itu, melarang lagu-lagu yang dinilai cengeng, yang mebuat redupnya bintang Obbie Mesakh, Rinto Hararap, Pance Pondaag, Betharia Sonata, Iis Sugiarto, dan lain-lain.
Baik Orla maupun Orba, sesikap sepandang dalam mendudukan kesenian. Keduanya menjadi regulator yang berperan aktif dalam mengontrol kesenian. Tetapi kacamata yang mereka pakai bukanlah kaidah estetika, melainkan ranah politik. Adapun perangai politik, seringkali alfa dalam menimbang nilai. Laku politik, tentu saja politik tanpa hati nurani, tidak segan-segan membunuh nilai. Sedang kesenian sarat dengan nilai. Karena itu, seringlah kesenian dengan politik berseberangan kepentingan.
Dalam perang kepentingan ini, kesenian lebih sering menjadi pihak yang babak belur. Politik mejadi panglima yang siap dan tega memberangus. Tetapi memberangus kesenian adalah perbuatan blunder, sebab bukan saja merugikan kesenian itu sendiri, melainkan telah memperlindap unsur yang berfungsi meretas ranah afektif manusia.
Kita adalah saksi, betapa dua rezim itu telah menjadi kurator paling linglung dalam jagad kesenian di Nusantara. Kesenian dipilih dan dipilah yang sesuai menurut garis politiknya. Yang keluar garis, jangan ambil bagian, atau silakan saja, tapi imbalannya mendekam di penjara. Kedua rezim ini sama-sama telah melakukan pembakaran terhadap buku karya seni, sama-sama telah mencekal seniman yang dinilainya nakal, dana sama-sama telah men-checkin-kan seniman bebal ke hotel prodeo.
Orla dan Orba sama saja represifnya terhadap kesenian. Keduanya, juga sama-sama menempatkan kesenian sebagai alat propaganda. Alhasil, kesenian menjadi dangkal, berbau demagog (pidato kebohongan). Dalam acara-acara seremonial, kesenian menjadi life service.
Dalam memandang kesenian yang bertema seksual, kedua rezim ini telah dibantu oleh Majelis Ulama Indoensia (MUI) dalam menentukan koridornya. Kesenian yang dinyatakan haram oleh MUI, dilaranglah oleh kedua rezim ini.
Sayang sekali saya tidak mengalami represi di jaman Orla. Saya hanya mendengar dan membaca apa yang terjadi di kala itu. Saya menyimpulkan, karena rezim Orba lebih lama berkuasa, maka kondisi represif di jaman Orba lebih lama pula. Tetapi hasilnya, bisa jadi sama buruknya.
September 1997 mulai berhembus wind of change, dan menjadi mailstone pelbagai perubahan dan pergeseran di Tanah Air. Dalam konstelasi politik, September 1997 menjadi lentik api yang membakar tuntutan reformasi di Tanah Air, hingga berhasil menurunkan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Langkah ini diikuti dengan terbukanya keran-keran kebebasan yang selama Orba ditutup rapat-rapat. Semua orang jadi berani bicara, mengeritik, bahkan menghujat.
Di ranah kesenian, terjadi perubahan dan pergeseran atmosfer. Saya mencatat beberapa perubahan drastis setelah orde represif berlalu.
Pertama, aura kesenian mengalami kepudaran, terutama aura kesenian yang bertema kritik terhadap penguasa. Pada masa Orba, saat menonton pertunjukan Teater Koma atau pembacaan puisi oleh Rendra, tercium hembusan aroma pemberontakan. Bahkan dengan membaca puisi Widji Thukul saja, gugatan terhadap kekuasaan itu sudah terasa. Ketika sang rezim tumbang, pisau-pisau kritik itu menjadi tumpul adanya.
Kedua, meski aura kesenian memudar, tetapi justru yang ingin menjadi seniman malah berjubal. Para mantan pejabat Orba misalnya, tiba-tiba berkesenian, tulis-baca puisi, atau melukis. Generasi yang sudah post power syndrome, juga berkesenian. Tiba-tiba mantan direktur bank menjadi pelukis, lalu berpameran. Mantan GM hotel jadi penyair. Pengusaha sukses menerbitkan kumpulan puisi. Purnawirawan Jenderal menyanyi dan membuat album. Tokoh politik yang suaranya tidak merdu, membuat album campursari.
Mereka berkesenian dengan anggapan, bahwa kesenian bisa menghapus dosa-dosa politik yang pernah mereka lakukan. Mereka berkesenian dengan anggapan bahwa kesenian bisa menyembunyikan pakaian buruk yang mereka kenakan. Mereka berkesenian dengan andaian bahwa kesenian bisa menyulap wibawa dan harisma. Dan seperti sang rezim yang propagandis, mereka berkesenian dengan keyakinan bahwa kesenian bisa menjadi sarana kampanye yang efektif. Semua itu, memang, adalah hak setiap orang. Tapi setiap orang harus mengindahkan tanggungjawab estetik.
Ketiga, afek domino dari banyaknya yang ingin berkesenian, telah terjadi proses instanisasi dalam berkarya, diikuti dengan penggampangan dalam proses kreatif, serta pendangkalan dalam konsep. Sebagai misal, di era reformasi ini, bermunculan jenis kesenian yang disebut performance art (seni penampilan). Dikatakan instanisasi, penggampangan, dan pendangkalan, karena mereka berkesenian tanpa proses sublimisasi ide yang intens, juga tanpa kemampuan teknik estetik. Setiap orang seakan bisa menjadi performer art dengan bagus. Bagai euphoria reformasi yang melahirkan pengamat dadakan, para performer juga bermunculan di banyak kota.
Konvensi atau format yang diusung oleh mereka terasa naïf, yaitu menampilkan sesuatu, apapun itu, yang penting aneh atau terkadang vulgar seperti bertelanjang bulat. Beberapa kali saya menonton performance art yang beradegan nude. Pernah ada seorang performer dari Bandung bisa sampai tampil di festival luar negeri hanya kerena dia berani telanjang bulat. Tapi sekarang, kesenian performance art mulai surut, dan tinggal beberapa performer saja yang masih aktif.
Seni Performance art kali pertama muncul di Eropa pada masa perang dunia I sebagai respona para seniman dari wilayah netral seperti Swis, yang mulai menggejala pada 1916. Seniman dari negara yang terlibat perang, segera merespon gerakan ini, kemudian mereka mendeklarasikan gerakan kesenian dadaisme. Para penganut dada ini di antaranya membentuk poros seniman Kobra (Kopenhagen, Brussel, Amsterdam).
Dadaisme ialah sebentuk manifesto yang mengumandangkan politik anti perang lewat karya seni. Bentuk keseniannya menihilkan standar seni modern yang sudah baku. Seni modern sepenuhnya diabdikan untuk kesenian atau l’ art pour l’ art (seni untuk seni), dan dadaisme menertawakannya.
Para seniman yang memprotes peperangan melihat, kesenian modern yang diagungkan itu ternyata tuli lagi bisu di hadapan peperangan. Maka jadilah kesenian dadaisme diabdikan untuk kepentingan kemanusiaan. Bentuk kesenian tidak dipersoalkan lagi, keindahan dinisbikan, yang penting temanya mengugat peperangan itu. Manuver, teror, shock therapy, adalah ciri-ciri muatan yang diusung dadaisme.
Faham dada bergerak di bidang seni rupa, sastra (puisi, manifesto seni, teori seni), teater, rancangan grafis, dan lain-lain. Salah satu bentuk kesenian yang mengemuka saat itu adalah performance art. Masuk ke dalam kategori ini adalah body art (inilah yang sering disebut performance art di Indonesia), fluxus (musik eksperimentalia diiringi visualisasi gambar), happening art (seni peristiwa), puisi aksi (yang pembacaannya atraktif, dan ternyata secara naluriah beberapa penyair Indonesia sudah membaca puisi secara atraktif zonder mengikuti gerakan dadaisme).
Tahun 70-an, muncul gerakan neo-dadaisme sebagai bentuk protes terhadap perang dingin antara blok Barat dan Blok Timur. Performance art semakin menjadi primadona di era neo-dadaisme. Salah satu tokoh neodadaisme adalah Joseph Beuys (Jerman). Seniman lain yang cukup terkemuka di antaranya Yves Klein, Vito Acconci, Hermann Nitsch, Chris Burden, Carolee Schneemann, Yoko Ono, Wolf Vostell, dan Allan Kaprow.
Di luar sana, performance art bukan suatu kesenian yang ujug-ujug (tiba-tiba) muncul tanpa dasar. Sebelum loncat jadi mahiwal (nyeleneh), mereka adalah seniman modernis yang menguasi pakem-pakem estetika, baik itu sastrawan, aktor, perupa, musisi, komposer, penari, koreografer, termasuk fotografer. Dasar-dasar teknik seni neo-dadaisme memang berasal dari disiplin genre-genre seni modern.
Seni performance art di era neo-dadaisme itulah yang masuk ke Indonesia sekira tahun 80-an. Kemudian marak setelah gerakan reformasi 1998. Tetapi, yang diusungnya itu sudah berbeda jauh dari wacana performance art di luar sana, yang lahir sebagai gugatan terhadap kondisi sosial-politik dan peperangan.
Di Indonesia, performance art hadir sebagai ‘ujug-ujug’ akibat dari sikap latah dan euphoria, serta sikap menggampangkan kesenian. Dikiranya performance art itu asal aneh, nyeleneh, atau telanjang. Akhirnya, mereka tampil menjadi bintang semalaman. Besoknya sudah dilupakan orang.
Keempat, juga kerana latah ikut-ikutan dengan wacana yang sedang berhembus di luar sana, para seniman kita mulai membongkar pakem-pakem kesenian modern yang sebelum reformasi dianut dengan kukuh. Dekonstruksi kesenian terjadi di semua genre. Banyak orang yang sebelumnya tidak pernah berkecimpung di kesenian secara formalis-strukturalis, tiba-tiba langsung hadir sebagai seniman dekonstruktif. Alhasil, banyak ulah seniman dadakan itu yang justru mendestruktifikasi kesenian, atau dalam bahasa yang sopan: Melahirkan kesenian tanpa estetika.
Kelima, khusus di bidang seni rupa terjadi pelebaran makna. Semula, seni rupa merupakan terjemahan dari fine art (seni yang indah) atau high art (seni bermutu tinggi). Tetapi di luar sana, terutama Eropa dan Amerika, konsep fine art telah diruntuhkan oleh para eksponen dadaisme itu, sehingga terjadi prubahan istilah menjadi visual art. Seharusnya kita juga segera mengganti istilah seni rupa (fine art) menjadi seni tampak (visual art). Tapi kalau mau menggunakan seni tampak, nanti dikira ikut-ikutan Malaysia.
Dengan perluasan makna seni rupa ini, cakupannya pun jadi tambah luas. Sekarang ini, segala sesuatu karya seni yang nampak (visual), dapat dikategorikan ke dalam seni rupa. Misalnya arsitektur, seni video, fotografi, puisi kongkret, performance art, desain komputer, digital printing, seni foto kopi, masuk ke dalam keluarga besar seni rupa.
Keenam, berkat penemuan piranti teknologi yang revolusioner, yang mendukung untuk semakin mudah berkarya, maka pengerjaan karya seni memang bisa menjadi lebih mudah. Ingin menjadi pelukis misalnya, stakat ini tidak begitu sukar lagi.
Dulu, yang namanya melukis itu adalah menggambar pada sebuah kanvas dengan kuwas atau pisau palet. Sekarang, Anda cukup memotret wajah seseorang, lalu hasilnya dicetak di atas kanvas dalam ukuran besar. Foto pada kanvas itu kemudian dilabur sedikit dengan cat agar terdapat sentuhan tangan Anda. Selanjutnya tinggal mengklaim bahwa foto di atas kanvas itu adalah lukisan dengan teknik garapan dan materialnya adalah mix (campuran), atau bisa ditulis teknik garapan dan materialnya adalah digital printing dan drawing.
Sekarang ini, telah ditemukan mesin digital printer yang bisa mencetak image file (data gambar) full color dalam ukuran yang besar, lebarnya mencapai tiga meter, sedangkan panjangnya bisa sepanjang-panjangnya. Adalah perusahan Canon, Eastman Kodak, Epson, Hewlett-Packard, ITNH Ixia, Mimaki, Mutoh, ColorSpan, dan Roland DGA yang telah berhasil melakukan revolusi printer itu.
Kawan saya, Deddy PAW, seorang pelukis yang piawai melukis realis-naturalis dengan teknik manual atau hand made, tapi mulai menggunakan bantuan digital printer ukuran besar itu. Deddy PAW membuat konsep lukisan dengan didesain oleh komputer, biasanya menggunakan program photoshop. Ia mengolah foto sebaik-baiknya, kemudian di-print di atas kanvas ukuran besar. Hasil printer itu dipulas lagi dengan cat minyak atau akrilik. Hasilnya? Lukisan realis-naturalis yang ia buat prosesnya lebih cepat dikerjakan, dan lebih mirip dengan foto. Ternyata gubahan dia banyak peminatnya. Seni lukis realis- naturalis akhirnya mengalami reinkarnasi.
Penggunaan printer ukuran besar untuk kesenian, pertama kali dipopulerkan oleh mesin merek Iris model 3024, sebuah anak perusahaan Bedford yang berkantor di Massachusetts. Pertama kali diperkenalkan pada September 1987 di Miami.
Mendekati tahaun 1990, Printer Irish mulai digunakan di lapangan kesenian secara meluas oleh Graham Nash untuk mereproduksi karya foto dalam ukuran besar. Kini di Indonesia, digital printer ukuran besar mulai menggantikan teknik melukis air brush yang dimanfaatkan untuk membuat gambar halus pada baligo, papan rekalame, spanduk, dan lain-lain seperti dapat dilihat di mall. Sampul sebuah majalah, koran, atau tabloid sekarang tidak perlu digambar dengan teknik air brush jika ingin diperbesar. Di cetak printer hasilnya lebih bagus dan pengerjaannya lebih cepat.
Berkat penemuan digital printer dalam ukruan besar itu, beberapa pelukis yang memerlukan gambar realis-naturalis, seperti wajah orang, tinggal mengolah foto dengan desain komputer, terus di print, jadilah lukisan.
Kesenian kini bukan lagi sebuah profesi istimewa. Contoh radikal, kencing di trotoar jalan, kemudian dishoot dengan kamera, sudah bisa disebut veideo art. Tapi memang, bukan kesenian kalau tidak nyeleneh.
No comments:
Post a Comment