Pasangan suami isteri Anggar Prasetyo dan Laksmi Sitharesmi pameran bareng lagi di Galeri Canna. Keduanya merespons kota sebagai latar penciptaan.
Kita sering menemukan seseorang yang nampak sudah cukup tua, namun usianya masih muda. Beban hidup telah mempertua wajahnya dari yang semestinya. Imajinasi akan mereka yang disatroni beban hidup, menyeruak pada lukisan-lukisan Anggar Prasetyo dan Laksmi Shitaresmi yang dipamerkan di Galeri Canna, Jl Boulevard Barat Raya Blok LC. 6 N0. 33-34, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dibingkai dengan tema City, helatan seni rupa itu berlangsung sedari 20 Februari hingga 9 Maret 2007.
Kedua perupa, kebetulan suami isteri, memandang kota dari cara yang liyan. Suwrno Wisetrotomo menulis dalam katalog pameran, Anggar membahas persoalan kota dari luaran, sedangkan Laksmi dari jeroan. Saya membahasakan, Anggar membahas kota dari fisik infrastruktur berikut persoalannya, sedangkan Laksmi menyusuri kota dari sisi penghuninya berikut problematikanya.
Cara pandang keduanya memang dari sudut yang berbeda. Namun pandangannya tertumbuk pada soal yang sama, yaitu bahwa kota dan penghuninya nampak sudah begitu tua, kulitnya keriput, rentan diguncang prahara.
Anggar melihat kota dari sisi geografis. Kota-kota di Tanah Air ini, memang kebetulan berada di wilayah ring of fire bila dilihat dari lempeng bumi, adalah daerah yang rentan terkena gempa atau digoyang bencana alam dan banjir. Yogya tempat Anggar bermukim, diguncang gempa pada Mei 2006 lalu. Anggar memisualisasikan kota yang rentan terkena prahara itu, misalnya melalui lukisan batu ukuran besar, lebih masif dari menhir. Batu itu diganjal oleh sebutir telur supaya tidak menggelinding. Di atas batu itu, dibangun sebuah kota dengan gedung-gedungnya yang mencakari langit. Bayangkan, sebutir telur yang mudah pecah, menjadi pengganjal sebuah batu yang begitu besar.
Laksmi menyoroti kota dari sudut sosiologis. Ia memisualisasikan sepasang telapak tangan yang kulitnya sudah keriput. Saya menangkapnya sebagai simbol relasi sosial masyarakat kota yang sudah bergerak menjadi masyarakat modern penghuni kota-kota tua di Eropa, yaitu individualis. Simbolisasi itu dapat diresepsi misalnya melalui lukisan berjuluk Kulihat Ibunya Ibukota Pertiwi. Ada rasa sakit di situ, dari jari jemari yang ditusuki suatu benda menyerupai jarum.
Cara pandang yang bereda kedua perupa ini, yang kebetulan suami isteri, bisa jadi berangkat dari hasil diskusi dan kesepakatan. Aku bikin ini, kau garap yang itu. Tapi bisa jadi perbedaan itu lahir secara alamiah, toh secara kodrat keduanya memang berbeda, satu mewakili sifat lingga dan satunya yoni.
Yang menarik dari pameran kedua perupa ini adalah perjalanan estetik yang mereka tempuh. Kali pertama saya melihat pameran Anggar dan Laksmi tahun 2000 lalu, juga dalam pameran berdua, di Galeri Daun. Saat itu, lukisan-lukisan Laksmi memancarkan aura hati yang garang, sedangkan Anggar mengedepankan suasana hati yang murung. Kini lukisan keduanya terlihat soft, manis, walau mengemas kecemasan.
Kita sering menemukan seseorang yang nampak sudah cukup tua, namun usianya masih muda. Beban hidup telah mempertua wajahnya dari yang semestinya. Imajinasi akan mereka yang disatroni beban hidup, menyeruak pada lukisan-lukisan Anggar Prasetyo dan Laksmi Shitaresmi yang dipamerkan di Galeri Canna, Jl Boulevard Barat Raya Blok LC. 6 N0. 33-34, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dibingkai dengan tema City, helatan seni rupa itu berlangsung sedari 20 Februari hingga 9 Maret 2007.
Kedua perupa, kebetulan suami isteri, memandang kota dari cara yang liyan. Suwrno Wisetrotomo menulis dalam katalog pameran, Anggar membahas persoalan kota dari luaran, sedangkan Laksmi dari jeroan. Saya membahasakan, Anggar membahas kota dari fisik infrastruktur berikut persoalannya, sedangkan Laksmi menyusuri kota dari sisi penghuninya berikut problematikanya.
Cara pandang keduanya memang dari sudut yang berbeda. Namun pandangannya tertumbuk pada soal yang sama, yaitu bahwa kota dan penghuninya nampak sudah begitu tua, kulitnya keriput, rentan diguncang prahara.
Anggar melihat kota dari sisi geografis. Kota-kota di Tanah Air ini, memang kebetulan berada di wilayah ring of fire bila dilihat dari lempeng bumi, adalah daerah yang rentan terkena gempa atau digoyang bencana alam dan banjir. Yogya tempat Anggar bermukim, diguncang gempa pada Mei 2006 lalu. Anggar memisualisasikan kota yang rentan terkena prahara itu, misalnya melalui lukisan batu ukuran besar, lebih masif dari menhir. Batu itu diganjal oleh sebutir telur supaya tidak menggelinding. Di atas batu itu, dibangun sebuah kota dengan gedung-gedungnya yang mencakari langit. Bayangkan, sebutir telur yang mudah pecah, menjadi pengganjal sebuah batu yang begitu besar.
Laksmi menyoroti kota dari sudut sosiologis. Ia memisualisasikan sepasang telapak tangan yang kulitnya sudah keriput. Saya menangkapnya sebagai simbol relasi sosial masyarakat kota yang sudah bergerak menjadi masyarakat modern penghuni kota-kota tua di Eropa, yaitu individualis. Simbolisasi itu dapat diresepsi misalnya melalui lukisan berjuluk Kulihat Ibunya Ibukota Pertiwi. Ada rasa sakit di situ, dari jari jemari yang ditusuki suatu benda menyerupai jarum.
Cara pandang yang bereda kedua perupa ini, yang kebetulan suami isteri, bisa jadi berangkat dari hasil diskusi dan kesepakatan. Aku bikin ini, kau garap yang itu. Tapi bisa jadi perbedaan itu lahir secara alamiah, toh secara kodrat keduanya memang berbeda, satu mewakili sifat lingga dan satunya yoni.
Yang menarik dari pameran kedua perupa ini adalah perjalanan estetik yang mereka tempuh. Kali pertama saya melihat pameran Anggar dan Laksmi tahun 2000 lalu, juga dalam pameran berdua, di Galeri Daun. Saat itu, lukisan-lukisan Laksmi memancarkan aura hati yang garang, sedangkan Anggar mengedepankan suasana hati yang murung. Kini lukisan keduanya terlihat soft, manis, walau mengemas kecemasan.
No comments:
Post a Comment