Perupa J. Ariadhitya Pramuhendra mereinkarnasi lukisan Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci. Ia memerankan tokoh Yesus dalam karyanya.
Bagi Pramuhendra, peristiwa itu sebagai suatu metafor, suatu momentum penting dalam kehidupan relegi serta menjadi bermakna simbolik bagi dirinya, bahwa setiap sosok di sana mungkin bisa mewakili situasi keimanan seseorang pada saat sekarang.
Demikian cacatan kuratorial Rifky Effendy, pada katalog pameran J. Ariadhitya Pramuhendra berjuluk On Last Supper (Pada Perjamuan Terakhir) yang berlangsung di Cemara 6 Galeri, Jl. HOS Cokroaminoto No. 9 – 11, Jakarta Pusat. Pameran berlangsung pada 11 – 25 Maret 2008.
Last Supper atau perjamuan terakhir, adalah persitiwa penting dalam keyakinan Kristiani, yaitu ketika Yesus sebelum dikhianati Yudas, mengumpulkan 12 muridnya dalam suatu silaturahmi. Yesus membagi-bagikan roti dan anggur, seraya menjelaskan anggur dan roti itu adalah simbol darah dan dagingnya. Setelah itu, Isa Almasih menyatakan, ada muridnya yang bakal berkhianat.
Kejadian yang diceritakan dalam Inzil itu, pernah divisualisasikan oleh seniman supertalenta Leonardo da Vinci dengal titel Last Supper atas pesanan Puas untuk dipajang di Gereja Milan. Lukisan ini, bertahun-tahun menjadi rujukan visual bagi umat Kristiani dalam memahami kejadian perjamuan terakhir.
Perupa J. Ariadhitya Pramuhendra kemudian melakukan semacam reinkarnasi atas tokoh-tokoh yang ada dalam lukisan itu. Para tokoh yang nampak dalam lukisan, termasuk Yesus, diganti oleh dirinya, namun gestur atau adegan para tokoh tetap dipertahankan.
Mulanya, Ariadhitya menirukan gestur pada tokoh oleh dirinya sendiri, termasuk tokoh Yesus, kemudian dipotret. Hasil potretnya diolah dengan photoshop, lalu dilukis dalam kanvas dengan pinsil arang. Maka Ariadhitya pun menjadi tokoh Yesus dalam karyanya. Asmudjo Jono Irianto pernah melakukan hal serupa pada lukisan Monalisa yang juga digubah da Vinci. Asmudjo menyebutnya, itulah proses kleptosign (mencuri tanda).
Saya bukan umat Kristiani, jadi tidak bisa menghayati relejiusitas yang terpancar dalam lukisan Leonardo itu, juga lukisan reinkarnasi gubahan Ariadhitya. Bagi saya, nilai lukisan itu sama dengan potret orang-orang yang sedang melakukan thawaf. Hanya sebuah foto, kebetulan foto orang-orang sedang thawaf.
Melihat foto orang sedang thawaf, atau menggubah lukisan orang sedang thawaf, rasanya tidak berkait dengan relijiusitas, apalagi kalau melukisnya sambil menenggak alkohol. Karena itu, saya melihat karya Ariadhitya berupa lukisan, digital printing, dan patung sebagai karya seni rupa yang tidak berkait dengan intensitas beragama.
Sebagai karya visual, drawing hasil bebatan Ariadhitya cukup menarik dan eksotik. Karena ukruannya besar-besar, sangat bagus menjadi backround untuk berpose. Memang, banyak pengujung yang tertarik difoto dengan latar karya Ariadhitya itu. Saya katakan, drawing-nya bagus. Ada suasana yang mamancar darinya.
Tapi jelas makna lukisan Leonardo da Vinci memiliki kedekatan emosional dan relejiusitas bagi Ariadhitya yang beragama Katolik. Mungkin bagi Ariadhitya, menggubah ulang karya da Vinci adalah sebuah laku relejius, sama nilainya dengan Ahamd Sadali atau AD Pirous saat menggubah kaligrafi yang dinukil dari Quran. Bagi beberapa kaligrafer, membuat karya adalah bagian dari dakwah. Apa benar seperti itu.
Saya tanya Ariadhitya, motif apa yang menggugah pameran ini?
“Berdasarkan imaji iman saya. Saya mengambil lukisan Leonardo karena itu adalah ikon relijius.”
Tapi saya melihat, ada persoalan terpisah antara bentuk visual dengan tema yang diusung?
“Bentuk seni rupa tidak bisa dipisahkan dari tema yang diusung. Bahkan seni rupa selalu berkait dengan persoalan lain, misalnya politik dan ekonomi.”
Lalu, pangkal berangkat pameran ini dari tema atau bentuk?
“Saya memberangkatkannya dari tema. Tadi kan saya bilang, motifnya berdasarkan imaji keimanan saya. Tema Last Supper ini sangat tepat dilakukan dengan cara memasuki lukisan Leonardo da Vinci yang telah menjadi ikon dalam ajaran Kristiani.”
Drawing Anda itu handmade atau hasil digital printing yang ditimpah dengan pensil arang?
“Pada mulanya adalah foto, kemudian saya olah dengan photoshop, diprint, lalu hasil printing saya gambar dalam kanvas.”
Seperti itulah jawaban J. Ariadhitya Pramuhendra. Pameran ini menegaskan, bahwa seni rupa hanyalah sebuah media untuk menyampaikan gagasan, baik gagasan visual maupun gagasan tematik. Untuk bisa memahami tema yang diusung seorang seniman, apresiator harus terlibat atau memiliki ikatan batin dengan konteks persoalan yang dihadapkan oleh seniman.
Bagi Pramuhendra, peristiwa itu sebagai suatu metafor, suatu momentum penting dalam kehidupan relegi serta menjadi bermakna simbolik bagi dirinya, bahwa setiap sosok di sana mungkin bisa mewakili situasi keimanan seseorang pada saat sekarang.
Demikian cacatan kuratorial Rifky Effendy, pada katalog pameran J. Ariadhitya Pramuhendra berjuluk On Last Supper (Pada Perjamuan Terakhir) yang berlangsung di Cemara 6 Galeri, Jl. HOS Cokroaminoto No. 9 – 11, Jakarta Pusat. Pameran berlangsung pada 11 – 25 Maret 2008.
Last Supper atau perjamuan terakhir, adalah persitiwa penting dalam keyakinan Kristiani, yaitu ketika Yesus sebelum dikhianati Yudas, mengumpulkan 12 muridnya dalam suatu silaturahmi. Yesus membagi-bagikan roti dan anggur, seraya menjelaskan anggur dan roti itu adalah simbol darah dan dagingnya. Setelah itu, Isa Almasih menyatakan, ada muridnya yang bakal berkhianat.
Kejadian yang diceritakan dalam Inzil itu, pernah divisualisasikan oleh seniman supertalenta Leonardo da Vinci dengal titel Last Supper atas pesanan Puas untuk dipajang di Gereja Milan. Lukisan ini, bertahun-tahun menjadi rujukan visual bagi umat Kristiani dalam memahami kejadian perjamuan terakhir.
Perupa J. Ariadhitya Pramuhendra kemudian melakukan semacam reinkarnasi atas tokoh-tokoh yang ada dalam lukisan itu. Para tokoh yang nampak dalam lukisan, termasuk Yesus, diganti oleh dirinya, namun gestur atau adegan para tokoh tetap dipertahankan.
Mulanya, Ariadhitya menirukan gestur pada tokoh oleh dirinya sendiri, termasuk tokoh Yesus, kemudian dipotret. Hasil potretnya diolah dengan photoshop, lalu dilukis dalam kanvas dengan pinsil arang. Maka Ariadhitya pun menjadi tokoh Yesus dalam karyanya. Asmudjo Jono Irianto pernah melakukan hal serupa pada lukisan Monalisa yang juga digubah da Vinci. Asmudjo menyebutnya, itulah proses kleptosign (mencuri tanda).
Saya bukan umat Kristiani, jadi tidak bisa menghayati relejiusitas yang terpancar dalam lukisan Leonardo itu, juga lukisan reinkarnasi gubahan Ariadhitya. Bagi saya, nilai lukisan itu sama dengan potret orang-orang yang sedang melakukan thawaf. Hanya sebuah foto, kebetulan foto orang-orang sedang thawaf.
Melihat foto orang sedang thawaf, atau menggubah lukisan orang sedang thawaf, rasanya tidak berkait dengan relijiusitas, apalagi kalau melukisnya sambil menenggak alkohol. Karena itu, saya melihat karya Ariadhitya berupa lukisan, digital printing, dan patung sebagai karya seni rupa yang tidak berkait dengan intensitas beragama.
Sebagai karya visual, drawing hasil bebatan Ariadhitya cukup menarik dan eksotik. Karena ukruannya besar-besar, sangat bagus menjadi backround untuk berpose. Memang, banyak pengujung yang tertarik difoto dengan latar karya Ariadhitya itu. Saya katakan, drawing-nya bagus. Ada suasana yang mamancar darinya.
Tapi jelas makna lukisan Leonardo da Vinci memiliki kedekatan emosional dan relejiusitas bagi Ariadhitya yang beragama Katolik. Mungkin bagi Ariadhitya, menggubah ulang karya da Vinci adalah sebuah laku relejius, sama nilainya dengan Ahamd Sadali atau AD Pirous saat menggubah kaligrafi yang dinukil dari Quran. Bagi beberapa kaligrafer, membuat karya adalah bagian dari dakwah. Apa benar seperti itu.
Saya tanya Ariadhitya, motif apa yang menggugah pameran ini?
“Berdasarkan imaji iman saya. Saya mengambil lukisan Leonardo karena itu adalah ikon relijius.”
Tapi saya melihat, ada persoalan terpisah antara bentuk visual dengan tema yang diusung?
“Bentuk seni rupa tidak bisa dipisahkan dari tema yang diusung. Bahkan seni rupa selalu berkait dengan persoalan lain, misalnya politik dan ekonomi.”
Lalu, pangkal berangkat pameran ini dari tema atau bentuk?
“Saya memberangkatkannya dari tema. Tadi kan saya bilang, motifnya berdasarkan imaji keimanan saya. Tema Last Supper ini sangat tepat dilakukan dengan cara memasuki lukisan Leonardo da Vinci yang telah menjadi ikon dalam ajaran Kristiani.”
Drawing Anda itu handmade atau hasil digital printing yang ditimpah dengan pensil arang?
“Pada mulanya adalah foto, kemudian saya olah dengan photoshop, diprint, lalu hasil printing saya gambar dalam kanvas.”
Seperti itulah jawaban J. Ariadhitya Pramuhendra. Pameran ini menegaskan, bahwa seni rupa hanyalah sebuah media untuk menyampaikan gagasan, baik gagasan visual maupun gagasan tematik. Untuk bisa memahami tema yang diusung seorang seniman, apresiator harus terlibat atau memiliki ikatan batin dengan konteks persoalan yang dihadapkan oleh seniman.
No comments:
Post a Comment