Thursday, April 21, 2011

Bom Waktu Seniman Aceh

Musibah tsunami dan perjanjian damai Helsinki, telah menjadi talu yang menabuh semangat seniman Aceh untuk lebih kreatif dari masa silam yang kelam.

Doddi Ahmad Fauji

Sebagian pemirsa televisi mengenal seniman tutur Agus Nuramal yang lebih dikenal sebagai Agus PM Toh. Ia kelahiran Kota Sabang. Beberapa kali muncul di televisi untuk membawakan iklan perdamaian, atau mempertontonkan kebolehannya bertutur ala PM Toh. Teater tutur yang dibawakan Agus Nuramal, bisa dikategorikan ke dalam seni pertunjukan kontemporer Aceh yang berbasis tradisi. Sedikit yang tahu tradisi bertutur ala PM Toh itu apa dan bagaimana?

Direktur Eksekutif Perhimpunan Seniman Aceh se-Jabodetabek (Sajak), Teuku Zulkarnaini (dipanggil Ipoel) memberi terang, istilah PM Toh ternyata berasal dari nama perusahaan otomotif bus yang melayani trayek Jakarta – Banda Aceh. Kala itu, ada seniman tutur bernama Teungku Adnan. Ia adalah gurunya Agus Nuramal. Setiap tampil, Adnan sering menirukan suara kelakson bus PM Toh, sehingga masyarakat menjulukinya Teungku Adnan PM Toh. Agus Nuramal pun dilabeli PM Toh sekalipun tidak suka menirukan suara klakson bus itu.

“Kalau menyebut PM Toh terkesan sebuah aliran kesenian khas Aceh, padahal itu nama bus,” kata Ipoel saat ditemui di kantornya, Rabu (5/12/2006).

Adnan memiliki kemampuan menampilkan seni tutur setelah menimbanya dari Mak Lapeh yang cukup terkenal di kawasan Aceh Selatan. Saat itu, Mak Lapeh hanya bertutur atau mendongeng, tanpa mengunakan alat peraga. Namun caranya mendongeng, mengandung kekuatan imajinasi karena cerita yang dituturkan ada kaitannya dengan realitas sosial masyarakat Aceh kala itu. Imajinasi yang hidup itu telah mengundang masyarakat untuk menyimaknya.

Adnan melakukan pengembangan seni tutur tradisional ini dengan mempertegas imajinasi melalui alat peraga seperti wayang. Lalu murid Adnan, yaitu amun Agus Nuramal tadi, melakukan radikalisasi pengembangan penggunaan peralatan itu. Di tangan Agus, benda-benda keseharian bisa menjadi personifikasi para tokoh yang dituturkannya. Sandal, sapu, lap, taplak, apapun, bisa dihadirkan oleh Agus sebagai mediasi untuk mempertegas imaji tuturan. Hal ini dilakukan oleh seniman-seniman kontemporer Indonesia lainnya seperti Slamet Gundono atau Sujiwo Tejo.

Sebenarnya, seni mendongeng sangat mendunia. Inilah kesenian pertama umat manusia. Menyebar ke berbagai arah angin, dan membumi pula di Nusantara. Naskah La Galigo yang ditemukan di Bugis, yang usia naskah itu sudah cukup tua, menandai betapa sudah tua pula usia seni di Nusantara.
Seni tutur kemudian berkembang dengan menambahkan alat peraga, baik berasal dari benda maupun diperagakan oleh manusia. Seni teater, jelas merupakan pengembangan dari seni tutur. Juga wayang, pada mulanya adalah seni mendongeng yang terus bertumbuh-kembang hingga nampak seperti sekarang ini. Di Nusantara, seni mendongeng menjadi kegandrungan masyarakat, dan itu menjadi sebab masyarakat Nusantara lebih akrab dengan citra audio tinimbang citra bacaan, yang membuat masyarakat Nusantara menjadi homo aliterasi atau niraksara seperti disinyalir oleh kritikus sastra A Teeuw dan Ajip Rosidi. Maka seni bertutur seperti yang dipertunjukkan oleh Agus Nuramal, nada-nadanya tidak akan lekang digerus oleh jaman. Apalagi bila seni bertutur itu terus-menerus dimodifikasi seperti yang dilakukan oleh Agus.

Memodifikasi seni tradisi supaya selaras dengan semangat jaman, itulah yang disebut kontemporerisasi. Dalam bidang kontemporisasi seni pertunjukan, seniman Aceh mengalami banyak kendala, sehingga kemunculan kesenian yang kontekstual dengan waktu dan tempat, amat jarang lahir dari daerah Barat Nusantara ini. Kendala itu, menurut Kepala Sekolah Menulis Do Karim, Fozan Santa, bersumber dari gangguan keamanan.
Konflik yang berkepanjangan sejak Aceh bergabung dengan RI, nyaris tidak surut, membuat seniman Aceh kurang memiliki waktu dan kesempatan yang nyaman untuk mengembangkan seni tradisinya.

“Bahkan dibandingkan dengan tahun 90-an, seni pertunjukan kontemporer Aceh sangat mengalami kemunduran,” kata Fozan Santa yang dihubungi via telepon.

Tidak bisa dimungkiri, gangguan keamanan semasa konflik membuat proses kreativitas mengalami abnormalitas, misalnya latihan jadi terganggu, ruang pertunjukan jadi jarang karena banyak yang dirusak, dan penonton pun takut keluar malam.

“Pada masa itu, akhirnya seni pertunjukan banyak dilakukan siang hari, dan terbatas ditonton oleh kalangan ekslusif,” tambah Fozan.

Salah satu arena yang memacu pengembangan kreativitas seni adalah festival. Melalui festival, para seniman dapat mengukur keberhasilan daya cipta, dan para seniman dapat merayakan pertandingan gagasan dan pembaruan. Semasa konflik, festival kesenian di Aceh boleh disebut susut.

Pada bulan Agustus 2004, Gubernur Aceh Abdullah Puteh kala itu, kembali menghidupkan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Ajang PKA pernah dilaksanakan tiga kali, yang terakhir (PKA III) dihelat pada 1992. PKA tertunda 12 tahun karena konflik yang meletus. Untuk penyelenggaraan PKA IV, Gubernur Puteh membangun Taman Ratu Safiatuddin di daerah Lamprit, Banda Aceh, dengan dana milyaran. Di area lima hektar itu, dibangun 21 anjungan yang masing-masing dimiliki oleh kabupaten/kota se-Aceh yang memang berjumlah 21 distrik.

Rencananya, PKA akan terus dirayakan, dan Taman Ratu Safiatuddin akan dijadikan semacam Taman Mini Indonesia Indah yang ada di Jakarta. Tetapi Puteh kesandung kasus korupsi, yang membuatnya dilengeserkan dari kedudukan gubernur, lalu musibah tsunami merontokkan taman itu. Festival seni melalui PKA pun tersendat. Padahal melalui PKA, di mana saya juga ikut menonton PKA IV, pelbagai potensi kesenian Aceh bermunculan. Seni didong (dari Gayo), dabus (debus), tari Saman dan Seudati, juga silat, terlihat begitu meriah. Saat itu, saya melihat grup tari Saman yang membawa tambang. Selama menari sambil beratraksi, tambang itu dibentuk menjadi perahu. Tentulah ini adalah saman kontemporer.

Oleh sebab kondisi-kondisi di atas, menurut Fozan Santa yang dikenal sebagai sineas cum penulis ini, tentu sekarang-sekarang ini sulit berharap mucul kesenian-kesenian kontemporer dari Aceh dengan semangat pembaruan yang radikal dan mencengangkan. Apalagi Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam yang menerapkan hukum syariat, semakin membuat kreativitas seni terdinding oleh aturan-aturan syariat.
“Bahkan dulu, aktor teater saja tidak ada perempuan. Bila ada tokoh perempuan, ya dimainkan oleh laki-laki,” kata Fozan.

Posisi daerah Aceh berada di paling ujung Barat dan cukup jauh dari Pulau Jawa, menyebabkan pertukaran informasi di bidang kesenian menjadi lamban. Sedangkan dalam kerativitas seni, dibutuhkan kompetitor agar seniman terus berpacu menjadi yang terbaik. Letak geografis inipun menjadi kendala bagi pengembangan seni kontemporer. Adapun jika menengok kesenian Malaysia, meski jaraknya dekat, karya mereka tidak lebih baik dari seniman Pulau Jawa. Dalam soal kesenian, Negeri Jiran itu tertinggal beberapa langkah dari seniman Nusantara. Mungkin di era konvergensi ini, di mana informasi sudah bisa diakses lebih luas dan cepat, seniman Aceh akan lebih mudah bergeliat. Perbandingan tidak mesti lagi ke Jawa, tapi langsung ke berbagai seniman dunia.

Tetapi Fozan optimistik, di masa hadapan, seni kontemporer dari Aceh akan muncul dengan mencengangkan. Apalagi musibah tsunami, pada sisi lain, ternyata membawa berkah. Banyaknya dana dan kesempatan bagi para seniman untuk melahirkan kreasi baru yang dirujuk dari seni tradisi, menjadi katalisator optimistik itu. Juga banyaknya NGO dari luar negeri yang memanfaatkan seni pertunjukan sebagai media terafi psikologis bagi korban tsunami, menjadi instrumen untuk menumbuhkembangkan kesenian Aceh yang kontekstual.

Juga modal untuk mengembangkan kreativitas bagi seniman Aceh, sangat terbuka lebar, sebab seni tradisi yang menjadi landasan tumbuh-kembang, masih subur dirayakan masyarakat. Sebut misalnya tari Saman dan Seudati, telah menjadi kebudayaan rutin semisal sembahyang. Saat ini, upacara kenduri di Aceh, kurang afdol kalau tidak disertai tarian tradisi. Pun setelah musibah tsunami dan perjanjian damai Helsinki, kehendak seniman Aceh untuk lebih keratif, seperti memancar dari sumur air yang jernih. Pada saatnya, seniman Aceh akan meledak dengan kerativitas. ***

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung