Teks Doddi Ahmad Fauji
Efektivitas dan efisiensi juga menjadi rumus paling konkret di lapangan bola. Hingga perempat final Piala Dunia 2010, tim yang berhasil mengerucut adalah mereka yang bermain lebih efektif. Brasil sudah bermain dengan efektif, tetapi Belanda yang sebenarnya belum menerapkan total football, bisa lebih efektif lagi dalam membendung atau menggempur benteng lawan.
Para pemain Pangeran Oranye hilir-mudik tanpa ragu, maju-mundur untuk saling membahu dalam membangun efektivitas. Untunglah para pemain Belanda kurang memiliki sifat ria, sehingga mereka bersedia melebur ke dalam kesebelasan. Permainan individual yang kurang berguna, macam menggocek yang berlebihan, tidak begitu mencolok dipraktikkan oleh para pebola Belanda.
Lalu Argentina. Tim Tango asuhan Diego Maradona juga sudah bermain dengan efektif. Namun mengapa mereka kalah dengan begitu memalukan dari Jerman? Kegagalan mengejawantahkan diktat "efisiensi" barangkali merupakan jawabannya. Efisiensi bisa diterjemahkan macam-macam, namun orang bijak tahu bahwa muara dari konsep efisiensi adalah penghematan.
Kita saksikan, para pemain Argentina, barangkali karena mengikuti seruan Sang Diego, tampak menjadi begitu bertele-tele. Maradona memang seniman, ia begitu gemar menari, menggocek lawan sepuas-puasnya. Ketika menjadi pelatih, rumus itu pun diterapkannya. Para pemainnya dianjurkan untuk bermain dengan riang, menggiring bola layaknya sedang menari. Menghadapi para pemain yang secara skill individual masih lemah, seruan itu bisa mendatangkan hasil yang menghibur. Tetapi menghadapi tim Der Panzer yang sedari dulu dikenal memiliki keterampilan unggul dan kekompakan luar biasa, konsep tari Tango jadi tidak efisien. Yang ada, tenaga terkuras, hasilnya nihil.
Menerapkan diktat efisiensi, di medan laga yang bisa melambungkan sebuah nama hingga jadi bintang yang cemerlang, sungguh menjadi sesuatu yang sulit untuk dipraktikkan. Super-ego yang melekat pada jiwa tiap pebola, juga jadi musuh yang nyata untuk sebuah tim. Ketika dua kesebelasan memiliki materi yang sepadan, maka musuh utama dalam bermain bola, ternyata bukan hanya lawan, tapi juga kawan sendiri. Bola bukanlah permainan individual macam bulu tangkis atau tenis, tapi permainan berjamaah di mana setiap individu harus berkontribusi dalam membangun ensemble energy (tenaga kebersamaan).
Dalam soal membangun ensemble energy, pemain Jerman lebih solid dan efisien. Mereka tidak terlalu banyak bergerak, sebab begitu menerima bola, paling hanya satu dua kali melakukan sentuhan, lalu segera mengumpan bola ke teman yang berdiri pada posisi tepat. Jika pun harus menggiring bola, itu dilakukan ketika lengang dari hadangan. Menggiringnya pun tidak bertele-tele, langsung menusuk ke daerah sensitif. Begitu terlihat ada lawan yang menghadang, mereka langsung menyelamatkan bola dengan cara mengumpannya, atau melakukan shock therapy ke kiper lawan.
Sedang para pebola Argentina, terlalu ria. Mereka mengiring bola tidak langsung menusuk ke jantung pertahanan lawan, tapi melakukan show up terlebih dulu. Seolah-olah pamer kemampuan. Barangkali untuk berkata: "Lihat, aku bisa seperti Maradona". Padahal semestinya semua pebola Argentina memiliki kesadaran yang tinggi, bahwa Maradona pun bukan semata-mata dewa yang gemar show up. Tidak selamanya ia menggiring bola. Justru ia lebih dikenal sebagai pengumpan yang akurat.
Pada Piala Dunia 1990, Maradona nyaris tidak mencetak bola, kecuali pada adu penalti lawan Yugoslavia. Tetapi Argentina bisa masuk final adalah berkat umpan-umpan Maradona. Di babak semi final misalnya, Argentina membobol gawang Italia yang sebelumnya tidak pernah kemasukan. Kala itu terjadi kemelut, lalu Maradona mengumpan bola ke depan, di mana Canigia yang berdiri tanpa kawalan ketat, segera mengeksekusinya. Walter Zenga pun melongo. Telur yang ia pelihara, akhirnya pecah oleh sundulan Canigia yang sederhana. Gol yang tercipta sungguh tidak terduga, bahkan bisa jadi Canigia sendiri tidak menduganya. Keunikan itu tercipta, sekali lagi, adalah berkat umpan matang dan tidak terduga dari Sang Diego.
Tetapi yang dipertontonkan Argentina saat dicukur Jerman 0-4 malam itu, menjadi sinyalemen bahwa kebesaran Maradona terlampau membayang-bayangi batok kepala para pemain, hingga mereka melakukan pamer yang berlebih, kelewat ria, begitu enggan berbagi, dan akhirnya berulang-ulang hanya melakukan in-efisiensi. Ketika gol tidak kunjung tercipta, mereka tambah frustrasi.
Maradona akan jadi kambing hitam. Terlepas dari in-efisiensi, terlihat juga bahwa taktik yang diterapkan Maradona tidak mujarab. Messi yang ditaruh sebagai penyerang lubang tak berdaya ketika dikepung tiga atau empat pemain Jerman. Pemain Terbaik Dunia dengan naluri mencetak gol amat tinggi itu diberangus oleh kegigihan Tembok Berlin. Sementara, Maradona dengan raut cemas mulai tampak menggenggam gelang, macam ajimat yang keramat. Ia mungkin berharap keajaiban.
Tetapi keajaiban tidak datang di tengah in-efisiensi. Mungkin gelang itu justru membawa sial, yang membuat Maradona melakukan blunder besar dalam menerapkan taktik, yang membuatnya skak mat tidak berkutik.
--------------------------
tulisan ini dimuat pertama di Jurnal Nasional (5 - 7 2010) dan Jurnal Bogor ((5 - 7 2010).
http://www.jurnalnasional.com/show/arsip?berita=136404&pagecomment=1&date=2010-7-5
Efektivitas dan efisiensi juga menjadi rumus paling konkret di lapangan bola. Hingga perempat final Piala Dunia 2010, tim yang berhasil mengerucut adalah mereka yang bermain lebih efektif. Brasil sudah bermain dengan efektif, tetapi Belanda yang sebenarnya belum menerapkan total football, bisa lebih efektif lagi dalam membendung atau menggempur benteng lawan.
Para pemain Pangeran Oranye hilir-mudik tanpa ragu, maju-mundur untuk saling membahu dalam membangun efektivitas. Untunglah para pemain Belanda kurang memiliki sifat ria, sehingga mereka bersedia melebur ke dalam kesebelasan. Permainan individual yang kurang berguna, macam menggocek yang berlebihan, tidak begitu mencolok dipraktikkan oleh para pebola Belanda.
Lalu Argentina. Tim Tango asuhan Diego Maradona juga sudah bermain dengan efektif. Namun mengapa mereka kalah dengan begitu memalukan dari Jerman? Kegagalan mengejawantahkan diktat "efisiensi" barangkali merupakan jawabannya. Efisiensi bisa diterjemahkan macam-macam, namun orang bijak tahu bahwa muara dari konsep efisiensi adalah penghematan.
Kita saksikan, para pemain Argentina, barangkali karena mengikuti seruan Sang Diego, tampak menjadi begitu bertele-tele. Maradona memang seniman, ia begitu gemar menari, menggocek lawan sepuas-puasnya. Ketika menjadi pelatih, rumus itu pun diterapkannya. Para pemainnya dianjurkan untuk bermain dengan riang, menggiring bola layaknya sedang menari. Menghadapi para pemain yang secara skill individual masih lemah, seruan itu bisa mendatangkan hasil yang menghibur. Tetapi menghadapi tim Der Panzer yang sedari dulu dikenal memiliki keterampilan unggul dan kekompakan luar biasa, konsep tari Tango jadi tidak efisien. Yang ada, tenaga terkuras, hasilnya nihil.
Menerapkan diktat efisiensi, di medan laga yang bisa melambungkan sebuah nama hingga jadi bintang yang cemerlang, sungguh menjadi sesuatu yang sulit untuk dipraktikkan. Super-ego yang melekat pada jiwa tiap pebola, juga jadi musuh yang nyata untuk sebuah tim. Ketika dua kesebelasan memiliki materi yang sepadan, maka musuh utama dalam bermain bola, ternyata bukan hanya lawan, tapi juga kawan sendiri. Bola bukanlah permainan individual macam bulu tangkis atau tenis, tapi permainan berjamaah di mana setiap individu harus berkontribusi dalam membangun ensemble energy (tenaga kebersamaan).
Dalam soal membangun ensemble energy, pemain Jerman lebih solid dan efisien. Mereka tidak terlalu banyak bergerak, sebab begitu menerima bola, paling hanya satu dua kali melakukan sentuhan, lalu segera mengumpan bola ke teman yang berdiri pada posisi tepat. Jika pun harus menggiring bola, itu dilakukan ketika lengang dari hadangan. Menggiringnya pun tidak bertele-tele, langsung menusuk ke daerah sensitif. Begitu terlihat ada lawan yang menghadang, mereka langsung menyelamatkan bola dengan cara mengumpannya, atau melakukan shock therapy ke kiper lawan.
Sedang para pebola Argentina, terlalu ria. Mereka mengiring bola tidak langsung menusuk ke jantung pertahanan lawan, tapi melakukan show up terlebih dulu. Seolah-olah pamer kemampuan. Barangkali untuk berkata: "Lihat, aku bisa seperti Maradona". Padahal semestinya semua pebola Argentina memiliki kesadaran yang tinggi, bahwa Maradona pun bukan semata-mata dewa yang gemar show up. Tidak selamanya ia menggiring bola. Justru ia lebih dikenal sebagai pengumpan yang akurat.
Pada Piala Dunia 1990, Maradona nyaris tidak mencetak bola, kecuali pada adu penalti lawan Yugoslavia. Tetapi Argentina bisa masuk final adalah berkat umpan-umpan Maradona. Di babak semi final misalnya, Argentina membobol gawang Italia yang sebelumnya tidak pernah kemasukan. Kala itu terjadi kemelut, lalu Maradona mengumpan bola ke depan, di mana Canigia yang berdiri tanpa kawalan ketat, segera mengeksekusinya. Walter Zenga pun melongo. Telur yang ia pelihara, akhirnya pecah oleh sundulan Canigia yang sederhana. Gol yang tercipta sungguh tidak terduga, bahkan bisa jadi Canigia sendiri tidak menduganya. Keunikan itu tercipta, sekali lagi, adalah berkat umpan matang dan tidak terduga dari Sang Diego.
Tetapi yang dipertontonkan Argentina saat dicukur Jerman 0-4 malam itu, menjadi sinyalemen bahwa kebesaran Maradona terlampau membayang-bayangi batok kepala para pemain, hingga mereka melakukan pamer yang berlebih, kelewat ria, begitu enggan berbagi, dan akhirnya berulang-ulang hanya melakukan in-efisiensi. Ketika gol tidak kunjung tercipta, mereka tambah frustrasi.
Maradona akan jadi kambing hitam. Terlepas dari in-efisiensi, terlihat juga bahwa taktik yang diterapkan Maradona tidak mujarab. Messi yang ditaruh sebagai penyerang lubang tak berdaya ketika dikepung tiga atau empat pemain Jerman. Pemain Terbaik Dunia dengan naluri mencetak gol amat tinggi itu diberangus oleh kegigihan Tembok Berlin. Sementara, Maradona dengan raut cemas mulai tampak menggenggam gelang, macam ajimat yang keramat. Ia mungkin berharap keajaiban.
Tetapi keajaiban tidak datang di tengah in-efisiensi. Mungkin gelang itu justru membawa sial, yang membuat Maradona melakukan blunder besar dalam menerapkan taktik, yang membuatnya skak mat tidak berkutik.
--------------------------
tulisan ini dimuat pertama di Jurnal Nasional (5 - 7 2010) dan Jurnal Bogor ((5 - 7 2010).
http://www.jurnalnasional.com/show/arsip?berita=136404&pagecomment=1&date=2010-7-5
No comments:
Post a Comment