Saturday, September 24, 2011

Di Gurun Messias Turun

Teks Doddi Ahmd Fauji

Panitia Guinness World Book of Records kiranya tidak pernah mendengar kelakar Sutiyoso yang menyatakan dialah satu-satunya Gubernur di Indonesia yang pernah melayani lima Presiden. Memang, selama Sutiyoso menjabat Gubernur DKI Jakarta, telah terjadi lima kali pergantian Presiden, dari Soeharto ke BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY. Mungkin bukan hanya satu-satunya di Indonesia, tapi di dunia.

Konsekuensi logis dari kelakar itu ialah seperti ini: Sebagai orang nomor satu di Ibukota Negara, maka ia pun tentu semestinya menjadi orang nomor satu pula dalam hal mengabdi pada kebutuhan Presiden (baca: Negara), terutama yang berkaitan dengan aksesibilitas dan kenyamanan Ibukota Negara. Bila jalanan masih juga macet atau Istana Negara terancam banjir bandang, orang nomor satu di DKI harus bertanggung jawab. Atas dasar konsekuensi logis itulah Sutiyoso membangun bus way dan Kanal Timur. Sayang kedua proyek itu belum tuntas dan memperlihatkan hasil yang mujarab.

Barangkali panitia Guinness World Book of Records bukan saja tidak pernah mendengar, tapi memandang tidak perlu mendengarkan kelakar sang Gubernur. Sebab dalam hal rekor berjumlah lima terkait dengan pergantian Presiden, ternyata ada peristiwa yang lebih dramatis dan redikal. Hanya dalam dua pekan (14 hari), pernah terjadi pergantian Presiden hingga lima kali. Dinamika kekuasaan yang kelewat abnormal itu, berlangsung di Negeri Paling Selatan di Selatan. Mungkin Sutiyoso berhak tercatat di Guinness, tapi jelas Negara Argentina jauh lebih pantas. Bayangkan Bang Yos, ada dua Presiden Argentina yang masing-masing menjabat hanya dua hari.

Betapa dinamisnya kekuasaan di Tanah Evita du Veron itu. Lima Presiden Argentina yang berganti-ganti dengan cepat dalam dua pekan itu ialah: Fernando de la Rúa digantikan oleh Ramón Puerta (21 – 23 Desember 2001), San Luis Adolfo Rodriguez Saá (23 Desember 2001 – 1 Januari 2002), Eduardo Camano (1 – 2 Januari 2002), lalu Eduardo Duhalde (2 Januari 2002 – 25 Mei 2003). Dinamika itu jadi tampak lebih menarik lagi unik karena Eduardo Duhalde yang begitu bertahta, dengan jantan menyatakan, “Argentina Bangkrut”.

Perekonomian Argentina kala itu memang didera krisis hingga super kurus. Bayangkan, negeri yang pernah makmur dan berkecukupan itu, harus mengalami hiper-inflasi mencapai 5.000% begitu memasuki dekade 90-an di milenium yang silam. Duhalde yang menerima warisan utang begitu menggunung, terpaksa menyatakan negara dalam keadaan pailit. Resesi ekonomi di masa itu, jelas lebih parah daripada yang dihadapi Evita du Veron, yang membuat Evita terpaksa menabur-naburkan uang kepada rakyat untuk memprovokasi mereka bahwa negara belum bangkrut, masih siap mendengarkan perut yang bernyanyi.

Di ranah konstelasi politik, Argentina pada abad 20 juga pernah ditumbuhsuburi oleh despotan yang sinting, yang memelihara semak-belukar fasisme dan otoritarianisme. Rezim militer yang paling zalim pernah bersitahta antara 1976 dan 1983. Sebagaimana rezim militer di Jakata, rejim militer di sana juga sering melanggar hak asasi manusia dan melakukan desaparecidos (mereka yang dilenyapkan)— dalam peristiwa yang dipanggil dirty war atau ”perang kotor”.

Dalam kondisi terpuruk yang paling buruk, tentu dibutuhkan seorang juru selamat atau messias. Sepak bola sebenarnya bisa menjadi juru selamat imajinatif. Tetapi sebagaimana di aras politik dan ekonomi, sepakbola Argentina kala itu, juga mengalami stagnasi. Paska Maradona, sepak bola Argentina hanya menjadi komplementer yang tidak bisa membangun harga diri dan inspirasi bangsa. Bukan hanya di lapangan eksekutif messias itu dibutuhkan, di lapangan hijau pun, Argentina teramat sangat membutuhkannya.

Agaknya, feeling warga dunia kali ini mendekati kesamaan, yakni bahwa messias itu, sebagaimana juga Sang Messias Yesus Kristus, harus turun di gurun. Dan di gurun Selatan Afrika, sang Messias itu, bisa jadi memang benar-benar turun untuk mengentaskan perbolaan sebuah bangsa yang menghuni Negeri Paling Selatan di Selatan.

Indikasi ke arah sana, bukanlah impian di siang bolong. Toh pelbagai fakta menjelas-tegaskan bahwa terdapat kesamaan antara Sang Diego (Maradona) dengan Sang Messias (Lionel Andres Messi). Pada usia belia, Messi dan Maradona sama-sama menjadi pemain terbaik dan pencetak gol terbanyak. Secara koinsidensi (kebetulan), Messi dan Maradona punya debut yang sama sebagai pemain timnas Argentina senior, yakni harus memberangus Hungaria. Messi pernah men-drible bola dengan amat menawan ke gawang Getafe di Copa del Rey pada 2007, nyaris persis dengan yang ditunaikan Maradona ke gawag Inggris pada Piala Dunia 1986.

Juga ternyata, keduanya pernah sama-sama mencetak gol dengan “Tangan Tuhan”. Dan untuk semua alasan kesamaan yang bersifat koinseidensi itulah Sang Diego pun mengeluarkan testimoni yang bombastis, bahwa hanya Messi seorang diri yang pantas menjadi reinkarnasi dirinya. Namun sebuah tanya belum berjawab hingga Piala Dunia ini usai: Benarkah hanya di gurun Messias akan turun?
-----------------------------------------

Tulisan ini terbit pertama di koran Jurnal Nasional, Kamis 24 Juni 2010.

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung