Teks Doddi Ahmd Fauji
”Saya kira, rakyat (Argentina) benar-benar terhibur saat kami bermain menyerang, bergerak ke depan dengan cepat. Ketika mereka melihat tim ini terus-menerus bergerak, maju ke depan, umpan-umpan pendek, berpindah posisi dengan bola, saya kira rakyat akan gembira. Bisa saya katakan, rakyat bisa tenang. Sebab, tim ini bisa memperlihatkan kemampuan dalam hal apa saja. Sejauh ini, kami juga solid. Saya sangat gembira dan tenang,” kata Maradona, kepada para wartawan usai Argentina menghempaskan Yunani.
Bicara soal Argentina, sulit melupakan Diego Armando Maradona, si penari striptis paling merangsang di lapangan bola. Para pemain lawan bahkan wasit, ikut semaput tatkala Maradona menari. Bila ia sudah merumput, akan nampak beraksi layaknya seorang konduktor grup orchestra. Apakah dinamika permainan akan menjadi adagio (slowly and gracefully), stakato (tersendat-sendat), mau jadi andante atau allegro (sangat cepat), si pengukir gol “Tangan Tuhan” itulah yang menentukannya.
Maradona pantas berkata-kata jumawa, sebab sebagai pesepak bola, ia telah membuktikan dirinya bisa melipur rakyat Argentina yang sedang lara karena didera kekecewaan akibat kalah perang menghadapi Inggris dalam perebutan Pulau Malvinas pada 1982. Sejarah mencatat, pada Piala Dunia 1986 di Meksiko, Maradona berhasil membawa Argentina jadi juara dunia, setelah di final mengalahkan Jerman Barat. Sebelum sampai final, Argentina harus berhadapan dengan tim Inggris di babak perempat final. Pada saat melawan Inggris itulah, Maradona mempecundangi Inggris dengan dua gol yang unik. Satu gol bersifat spektakuler melalui grakan grand-jete yang harus melampaui 5 pemain Inggris, dan satu lagi gol berkat ”Tangan Tuhan”.
Kala itu, rakyat Argentina bersorak sorai sampai pagi, dan bisa sejenak melupakan luka akibat kalah perang melawan Inggris. Era Maradona lama sudah jadi silam. Kini dunia menyaksikan, Sang Armando itu merumput dengan posisi sebagai pelatih. Mampukah Maradona kembali menghibur rakyat Argentina?
Hingga Argentina menghempaskan Meksiko, harapan itu sudah didapat, tapi tentu belum sampai puncak katarsisnya. Jalan masih berliku, dan Argentina harus menghempaskan Jerman untuk bisa masuk ke semifinal. Menghadapi Jerman, tentu saja bukan perkara enteng. Apalagi dengan komposisi pemain Jerman yang revolusioner. Bila dikalkulasi berdasarkan usia, tim Der Panser adalah tim paling belia dari semua tim yang ada. Pelatih Timnas Jerman, Joachim Loew, melakukan perombakan besar-besaran. Jago-jago tua dikandangkan. Sungguh berbeda dengan Italia, Prancis, atau Inggris yang memaksakan para ”sepuh” untuk terus merumput.
Dengan pemain yang revolusioner, kalkulasi Timnas Jerman lebih mendekati harapan. Sekalipun sempat kalah oleh Serbia, toh Jerman bisa jadi juara grup, lalu menghempaskan Inggris di perdelapan final dengan skor yang meyakinkan 4-1. Akan soalnya usia, Argentina juga termasuk revolusioner, walau tidak seradikal Jerman. Ditelisik dari sisi usia, dua tim yang pernah saling menghempaskan dalam laga final beruntun (1986: Argentina menang, 1990: Jerman menang) itu, nampak akan kembali berseteru dengan pola permainan yang setarap: menyerang.
Dua tim itu seperti kadung ditelan stigma yang dilekatkan oleh warga dunia, bahwa pola permainan mereka sama-sama menyerang, tapi dengan pola yang berbeda. Jerman menyerang dengan metode menghemat, maka dari itu dikenal sebagai tim efektif, sedang Argentina menyerang dengan metode eksentrik, dan karena itu tim ini dikenal sebagai tim intuitif. Jerman adalah tim yang sangat sainstis, sedangkan Argentina mendekati tim seniman. Siapakah yang akan menang?
Bila masa lalu ikut menentukan apa yang akan terjadi di hadapan, maka kalkukasi fight kedua tim itu, setidaknya setelah tahun 1986, posisi Argentina di atas angin. Tahun 1986, Argentina memukul Jerman (Barat kala itu) dengan posisi 3-2, dan pada 1990, Jerman mengalahkan Argentina dengan posisi 1-0 lewat tendangan penalti. Pertemuan berikutnya, terjadi sekitar enam kali. Argentina menang tiga kali, dan seri tiga kali, atau dalam enam pertemuan terakhir, Jerman tidak bisa mengalahkan Aregntina. Lalu bagaimana di pertarungan yang ke-7 nanti?
Bola bisa benar-benar bundar, artinya, catatan di atas kertas tidak menjamin. Tetapi warga dunia sedang penasaran, adakah Maradona akan tetap sama ”gila” ketika ia merumput sebagai pemain dengan merumput sebagai pelatih?
Maradona sendiri, yang walau ada warga Argentina yang menempatkannya sebagai nabi, toh tidak berani sesumbar. Ia mengatakan, tim kami bisa bermain apa saja. Kepada para pemain, Maradona selalu menyarankan untuk membawa bola layaknya menari. Tentu jika pernyataan Sang Armando itu benar-benar bukan ”omdo” (omong doang), maka rakyat akan bisa tenang.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini pertama kali dimuat pada 29 Juni 2010 di Jurnal Nasional.
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Top%20Soccer&berita=135810&pagecomment=1
”Saya kira, rakyat (Argentina) benar-benar terhibur saat kami bermain menyerang, bergerak ke depan dengan cepat. Ketika mereka melihat tim ini terus-menerus bergerak, maju ke depan, umpan-umpan pendek, berpindah posisi dengan bola, saya kira rakyat akan gembira. Bisa saya katakan, rakyat bisa tenang. Sebab, tim ini bisa memperlihatkan kemampuan dalam hal apa saja. Sejauh ini, kami juga solid. Saya sangat gembira dan tenang,” kata Maradona, kepada para wartawan usai Argentina menghempaskan Yunani.
Bicara soal Argentina, sulit melupakan Diego Armando Maradona, si penari striptis paling merangsang di lapangan bola. Para pemain lawan bahkan wasit, ikut semaput tatkala Maradona menari. Bila ia sudah merumput, akan nampak beraksi layaknya seorang konduktor grup orchestra. Apakah dinamika permainan akan menjadi adagio (slowly and gracefully), stakato (tersendat-sendat), mau jadi andante atau allegro (sangat cepat), si pengukir gol “Tangan Tuhan” itulah yang menentukannya.
Maradona pantas berkata-kata jumawa, sebab sebagai pesepak bola, ia telah membuktikan dirinya bisa melipur rakyat Argentina yang sedang lara karena didera kekecewaan akibat kalah perang menghadapi Inggris dalam perebutan Pulau Malvinas pada 1982. Sejarah mencatat, pada Piala Dunia 1986 di Meksiko, Maradona berhasil membawa Argentina jadi juara dunia, setelah di final mengalahkan Jerman Barat. Sebelum sampai final, Argentina harus berhadapan dengan tim Inggris di babak perempat final. Pada saat melawan Inggris itulah, Maradona mempecundangi Inggris dengan dua gol yang unik. Satu gol bersifat spektakuler melalui grakan grand-jete yang harus melampaui 5 pemain Inggris, dan satu lagi gol berkat ”Tangan Tuhan”.
Kala itu, rakyat Argentina bersorak sorai sampai pagi, dan bisa sejenak melupakan luka akibat kalah perang melawan Inggris. Era Maradona lama sudah jadi silam. Kini dunia menyaksikan, Sang Armando itu merumput dengan posisi sebagai pelatih. Mampukah Maradona kembali menghibur rakyat Argentina?
Hingga Argentina menghempaskan Meksiko, harapan itu sudah didapat, tapi tentu belum sampai puncak katarsisnya. Jalan masih berliku, dan Argentina harus menghempaskan Jerman untuk bisa masuk ke semifinal. Menghadapi Jerman, tentu saja bukan perkara enteng. Apalagi dengan komposisi pemain Jerman yang revolusioner. Bila dikalkulasi berdasarkan usia, tim Der Panser adalah tim paling belia dari semua tim yang ada. Pelatih Timnas Jerman, Joachim Loew, melakukan perombakan besar-besaran. Jago-jago tua dikandangkan. Sungguh berbeda dengan Italia, Prancis, atau Inggris yang memaksakan para ”sepuh” untuk terus merumput.
Dengan pemain yang revolusioner, kalkulasi Timnas Jerman lebih mendekati harapan. Sekalipun sempat kalah oleh Serbia, toh Jerman bisa jadi juara grup, lalu menghempaskan Inggris di perdelapan final dengan skor yang meyakinkan 4-1. Akan soalnya usia, Argentina juga termasuk revolusioner, walau tidak seradikal Jerman. Ditelisik dari sisi usia, dua tim yang pernah saling menghempaskan dalam laga final beruntun (1986: Argentina menang, 1990: Jerman menang) itu, nampak akan kembali berseteru dengan pola permainan yang setarap: menyerang.
Dua tim itu seperti kadung ditelan stigma yang dilekatkan oleh warga dunia, bahwa pola permainan mereka sama-sama menyerang, tapi dengan pola yang berbeda. Jerman menyerang dengan metode menghemat, maka dari itu dikenal sebagai tim efektif, sedang Argentina menyerang dengan metode eksentrik, dan karena itu tim ini dikenal sebagai tim intuitif. Jerman adalah tim yang sangat sainstis, sedangkan Argentina mendekati tim seniman. Siapakah yang akan menang?
Bila masa lalu ikut menentukan apa yang akan terjadi di hadapan, maka kalkukasi fight kedua tim itu, setidaknya setelah tahun 1986, posisi Argentina di atas angin. Tahun 1986, Argentina memukul Jerman (Barat kala itu) dengan posisi 3-2, dan pada 1990, Jerman mengalahkan Argentina dengan posisi 1-0 lewat tendangan penalti. Pertemuan berikutnya, terjadi sekitar enam kali. Argentina menang tiga kali, dan seri tiga kali, atau dalam enam pertemuan terakhir, Jerman tidak bisa mengalahkan Aregntina. Lalu bagaimana di pertarungan yang ke-7 nanti?
Bola bisa benar-benar bundar, artinya, catatan di atas kertas tidak menjamin. Tetapi warga dunia sedang penasaran, adakah Maradona akan tetap sama ”gila” ketika ia merumput sebagai pemain dengan merumput sebagai pelatih?
Maradona sendiri, yang walau ada warga Argentina yang menempatkannya sebagai nabi, toh tidak berani sesumbar. Ia mengatakan, tim kami bisa bermain apa saja. Kepada para pemain, Maradona selalu menyarankan untuk membawa bola layaknya menari. Tentu jika pernyataan Sang Armando itu benar-benar bukan ”omdo” (omong doang), maka rakyat akan bisa tenang.
--------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini pertama kali dimuat pada 29 Juni 2010 di Jurnal Nasional.
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Top%20Soccer&berita=135810&pagecomment=1
No comments:
Post a Comment