Teks Doddi Ahmd Fauji
BOLA sering kali menista, bukan karena dipecundangi oleh tim yang benar-benar tangguh, solid, efektif, dan produktif, melainkan oleh keputusan wasit yang tidak make sense, yang merampas rasa keadilan. Keputusan wasit yang kontroversial, kerap lebih menyakitkan daripada kekalahan itu sendiri.
Bila dicarikan logika atau apologia, akan panjang lebar dan tidak habis-habisnya. Keputusan wasit akan terasa kejam bila tidak akurat. Namun Kaka, percayalah, berjuta mata yang menyaksikan tragedi kecil itu, ikut terhenyak bersamamu, dan tentu merasa kecewa. Kiranya perasaan seperti itu pula yang dirasakan Rudy Voeler 20 tahun silam, atau oleh Zinedine Zidane empat tahun silam. Walau ternoda, untunglah Brasil menang tekak, sedang Prancis harus menangis. Meski kalah, Zidane tetaplah pahlawan di mata pengagumnya, juga di hati bangsa leluhurnya. Pun Kau, Kaka, tetaplah pemain yang memesona, yang memikat berlaksa mata wanita. Menurut beberapa wanita pencinta bola, kau adalah pemain paling ganteng di Piala Dunia 2010.
Pada akhirnya permakluman harus diberikan karena sebuah diktum berbunyi: wasit juga manusia, dan manusia bisa berbuat salah. Hanya memang, meski di lapangan bola, sebaiknya tidak berbuat salah melulu, seperti yang dipertontonkan para pesepak bola Kamerun versus Denmark dalam suatu hiburan yang tidak menghibur. Keputusan wasit yang kemarin, tidak seluruhnya salah, walau tidak betul semua. Jadi tampaknya, para pemain bola harus ekstrahati-hati, termasuk berhati-hati dalam mengendalikan emosi, jangan sampai terpancing. Terutama menghadapi Italia yang ahli licik dan provokatif. Sepanjang saya menyaksikan bola, bila Italia tidak licik dan tidak provokatif, gankster mafioso itu cenderung kalah.
Tidak terpancing emosi sungguh suatu perbuatan yang teramat sulit dilakukan ketika laga bola mendekati ajang taekwondo. Pertandingan brutal Portugal lawan Belanda di Piala Dunia 2006, adalah contoh dari pameran emosi yang terbakar. Tidak kurang dari empat kartu merah dan belasan kartu kuning dilayangkan wasit yang menghakimi peragaan ”gladiator” kala itu. Bola yang semestinya jadi tontonan menyenangkan, sekaligus jadi tuntunan akan laku sportivitas, berubah jadi ladang pembantaian betis yang begitu menakutkan.
Apa-apa yang terjadi di dini hari Waktu Indonesia bagian Barat, ketika separuh mata di seantero jagat menyaksikan ketimpangan itu, adalah suatu tesis yang menegaskan bahwa bola, sekalipun sudah diatur dengan prosedur yang fair, tetaplah menyimpan kemungkinan fatal untuk mengatakan ada suatu yang tidak masuk akal. Kemenangan tertunda Jerman atas Serbia, juga tidak masuk akal bila diukur dengan parameter bola yang normal. Namun agaknya, banyak yang tidak normal dalam Piala Dunia 2010 ini, termasuk ganjaran yang diberikan Stephane Lannoy dari Prancis kepada Kaka. Juga bertumbangannya tim-tim besar yang diunggulkan oleh bandar judi, kiranya menjadi determinasi dari sesuatu yang surealis.
Namun bisa jadi, bola ikut menjadi katalisator dari sedang berlangsungnya perpindahan dominasi puncak-puncak peradaban. Hegel berujar, bahwa puncak peradaban akan berputar laiknya lingkaran spiral. Hal itu ia ungkapkan, setelah melihat adanya perpindahan puncak kebudayaan dari Tanah Babilonia lalu bergeser ke Mesir, pindah ke Yunani-Romawi, memuncak di Jajirah Arabia, lalu kembali ke Eropa, dan perlahan pindah ke Amerika.
John Naisbit meramalkan, setelah tahun 2000 akan menjadi abad Asia, khususon bangsa Asia keturunan Naga Emas atau Ras Mongoloid. Memang, memasuki tahun 2000, gebrakan Korea Selatan cukup meyakinkan untuk melihat determinasi perubahan di atas peradaban. Namun perubahan itu masih dalam taraf pertaruhan di tingkat ratifikasi antara negara modern (baca: Eropa, Amerika, Kanada) melawan negara-negara Asia dan Afrika. Dalam sidang di badan UNESCO, warga Asia termasuk Indonesia, berjuang habis-habisan supaya badan UNESCO menyetujui hak paten atas karya seni dan budaya tradisi sebuah bangsa, sedangkan negara modern hingga saat ini tidak mau menyetujuinya.
Bila perjuangan bangsa-bangsa ini berhasil, maka devisa akan mengalir dari sektor industri kreatif ke wilayah Asia, sebab corak seni budaya tradisi bangsa Asia saat ini dinilai paling kaya di dunia. Bangsa modern yang mau menikmati musik Cianjuran misalnya, atau menikmati tempe mendoan, bila ratifikasi hak paten itu disetujui, maka harus bayar royalti ke Indonesia. Bila ini terjadi, perpindahan puncak peradaban mulai memperlihatkan indikasi-indikasinya.
Namun pergeseran puncak peradaban itu tampaknya masih membutuhkan waktu dan perjuangan lain. Juga bola, belum bisa menjadi indikasi yang memenuhi ekspektasi warga Asia, apalagi dua Korea plus Jepang sebagai wakil Asia, masih dilibas habis secara realistis oleh raksasa-raksasa bola. Dan tentu siapa pun tidak berharap ada angin yang menyambet para wasit hingga meniup peluit kontroversial.
---------------------------------------
pertama kali terbit di koran jurnal nasional dan jurnal bogor, 22 juni 2010.
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Top%20Soccer&berita=135076&pagecomment=1
BOLA sering kali menista, bukan karena dipecundangi oleh tim yang benar-benar tangguh, solid, efektif, dan produktif, melainkan oleh keputusan wasit yang tidak make sense, yang merampas rasa keadilan. Keputusan wasit yang kontroversial, kerap lebih menyakitkan daripada kekalahan itu sendiri.
Bila dicarikan logika atau apologia, akan panjang lebar dan tidak habis-habisnya. Keputusan wasit akan terasa kejam bila tidak akurat. Namun Kaka, percayalah, berjuta mata yang menyaksikan tragedi kecil itu, ikut terhenyak bersamamu, dan tentu merasa kecewa. Kiranya perasaan seperti itu pula yang dirasakan Rudy Voeler 20 tahun silam, atau oleh Zinedine Zidane empat tahun silam. Walau ternoda, untunglah Brasil menang tekak, sedang Prancis harus menangis. Meski kalah, Zidane tetaplah pahlawan di mata pengagumnya, juga di hati bangsa leluhurnya. Pun Kau, Kaka, tetaplah pemain yang memesona, yang memikat berlaksa mata wanita. Menurut beberapa wanita pencinta bola, kau adalah pemain paling ganteng di Piala Dunia 2010.
Pada akhirnya permakluman harus diberikan karena sebuah diktum berbunyi: wasit juga manusia, dan manusia bisa berbuat salah. Hanya memang, meski di lapangan bola, sebaiknya tidak berbuat salah melulu, seperti yang dipertontonkan para pesepak bola Kamerun versus Denmark dalam suatu hiburan yang tidak menghibur. Keputusan wasit yang kemarin, tidak seluruhnya salah, walau tidak betul semua. Jadi tampaknya, para pemain bola harus ekstrahati-hati, termasuk berhati-hati dalam mengendalikan emosi, jangan sampai terpancing. Terutama menghadapi Italia yang ahli licik dan provokatif. Sepanjang saya menyaksikan bola, bila Italia tidak licik dan tidak provokatif, gankster mafioso itu cenderung kalah.
Tidak terpancing emosi sungguh suatu perbuatan yang teramat sulit dilakukan ketika laga bola mendekati ajang taekwondo. Pertandingan brutal Portugal lawan Belanda di Piala Dunia 2006, adalah contoh dari pameran emosi yang terbakar. Tidak kurang dari empat kartu merah dan belasan kartu kuning dilayangkan wasit yang menghakimi peragaan ”gladiator” kala itu. Bola yang semestinya jadi tontonan menyenangkan, sekaligus jadi tuntunan akan laku sportivitas, berubah jadi ladang pembantaian betis yang begitu menakutkan.
Apa-apa yang terjadi di dini hari Waktu Indonesia bagian Barat, ketika separuh mata di seantero jagat menyaksikan ketimpangan itu, adalah suatu tesis yang menegaskan bahwa bola, sekalipun sudah diatur dengan prosedur yang fair, tetaplah menyimpan kemungkinan fatal untuk mengatakan ada suatu yang tidak masuk akal. Kemenangan tertunda Jerman atas Serbia, juga tidak masuk akal bila diukur dengan parameter bola yang normal. Namun agaknya, banyak yang tidak normal dalam Piala Dunia 2010 ini, termasuk ganjaran yang diberikan Stephane Lannoy dari Prancis kepada Kaka. Juga bertumbangannya tim-tim besar yang diunggulkan oleh bandar judi, kiranya menjadi determinasi dari sesuatu yang surealis.
Namun bisa jadi, bola ikut menjadi katalisator dari sedang berlangsungnya perpindahan dominasi puncak-puncak peradaban. Hegel berujar, bahwa puncak peradaban akan berputar laiknya lingkaran spiral. Hal itu ia ungkapkan, setelah melihat adanya perpindahan puncak kebudayaan dari Tanah Babilonia lalu bergeser ke Mesir, pindah ke Yunani-Romawi, memuncak di Jajirah Arabia, lalu kembali ke Eropa, dan perlahan pindah ke Amerika.
John Naisbit meramalkan, setelah tahun 2000 akan menjadi abad Asia, khususon bangsa Asia keturunan Naga Emas atau Ras Mongoloid. Memang, memasuki tahun 2000, gebrakan Korea Selatan cukup meyakinkan untuk melihat determinasi perubahan di atas peradaban. Namun perubahan itu masih dalam taraf pertaruhan di tingkat ratifikasi antara negara modern (baca: Eropa, Amerika, Kanada) melawan negara-negara Asia dan Afrika. Dalam sidang di badan UNESCO, warga Asia termasuk Indonesia, berjuang habis-habisan supaya badan UNESCO menyetujui hak paten atas karya seni dan budaya tradisi sebuah bangsa, sedangkan negara modern hingga saat ini tidak mau menyetujuinya.
Bila perjuangan bangsa-bangsa ini berhasil, maka devisa akan mengalir dari sektor industri kreatif ke wilayah Asia, sebab corak seni budaya tradisi bangsa Asia saat ini dinilai paling kaya di dunia. Bangsa modern yang mau menikmati musik Cianjuran misalnya, atau menikmati tempe mendoan, bila ratifikasi hak paten itu disetujui, maka harus bayar royalti ke Indonesia. Bila ini terjadi, perpindahan puncak peradaban mulai memperlihatkan indikasi-indikasinya.
Namun pergeseran puncak peradaban itu tampaknya masih membutuhkan waktu dan perjuangan lain. Juga bola, belum bisa menjadi indikasi yang memenuhi ekspektasi warga Asia, apalagi dua Korea plus Jepang sebagai wakil Asia, masih dilibas habis secara realistis oleh raksasa-raksasa bola. Dan tentu siapa pun tidak berharap ada angin yang menyambet para wasit hingga meniup peluit kontroversial.
---------------------------------------
pertama kali terbit di koran jurnal nasional dan jurnal bogor, 22 juni 2010.
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Top%20Soccer&berita=135076&pagecomment=1
No comments:
Post a Comment