Teks Doddi Ahmd Fauji
Kita menjadi peduli setelah kebakaran jenggot. Apakah perlu seluruh jenggot kita dibakar supaya makin peduli terhadap seni-budaya warisan leluhur?
Film lawas berjuluk Enemy at The Gates besutan sutradara Jean-Jacques Annaud yang saya tonton sekira enam kali via DVD bajakan, beberapa tahun silam, tiba-tiba terngiang ulang ketika “ketegangan” antara Indonesia versus Malaysia yang dilabeli si Maling Sia itu, kembali bergema. Masyarakat kita menuduh Malaysia sebagai si tukang curi.
Tapi tahukah Anda bahwa panitia hak patent dunia menuduh masyarakat Indonesia sebagai tukang bajak alias si maling juga. DVD yang saya tonton berulang-ulang itu, juga software untuk mengetik tulisan ini, tiada lain adalah hasil bajakan. Di negeri kita, benda hasil bajakan, alias hasil curian, dari mulai kaset hingga CD, dari mulai CD (celana dalam) hingga kacamata, sangat meruyak, dan hal itulah yang membuat bangsa kita terkena “watch list”. Betapa ironis.
Juga betapa ironis, banyak masyarakat yang ikut-ikutan menyebut Maling Sia, ternyata baru tahu Tari Pendet itu seperti apa setelah tarian itu ditayangkan oleh televisi. Televisi pun baru mau menayangkannya untuk melengkapi berita yang bisa mendatangkan pemirsa. Jumlah pemirsa berbanding lurus dengan kedatangan pengiklan. Kalau Malaysia tidak pernah bikin gara-gara, mungkin televisi tidak akan pernah menayangkan tarian itu, dan mungkin banyak masyarakat tidak pernah tahu Tari Pendet itu seperti apa hingga akhir hayatnya.
enemy at the gates
Barangkali, kita membutuhkan lecutan orang lain untuk membangunkan kesadaran diri yang masih juga tertidur pulas. Kita butuh kebakaran jenggot, supaya bangkit harga diri yang masih merangkak.
Enemy at The Gates setidaknya turut menyalakan warwah (semangat) saya guna memenangkan “peperangan” melawan apa itu si Maling Sia, atau maling-maling lainnya, termasuk melawan maling diri sendiri. Hidup memang peperangan.
Wolfgang von Goethe berujar, hidup adalah pertempuran. Mungkinkah Goethe mengatakan hidup adalah peperangan setelah ia mengutip salah satu lirik dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi, … satu dan yang lain di antara kalian, akan jadi seteru abadi? Sepulang dari Badar, Rasul menjawab pertanyaan sahabat, kita akan menghadapi peperangan yang lebih berat, yaitu perang melawan diri sendiri.
Tentu dalam film yang dibintangi Jude Law (Vassili Zaitsev), Ed Harris (Major König), Rachel Weisz (Tania Chernova), Joseph Fiennes (Commisar Danilov) itu tidak ada khotbah seperti yang dikutipkan pada paragraf di atas. Film yang dirilis 16 Maret 2001 ini berkisah tentang pertarungan sniper Rusia (Vssili Zaitsev) melawan sniper Jerman (Major König).
Sebelum film berfokus pada cerita pertarungan dua sniper di sela-sela peperangan Stalingrad, dikisahkan bagaimana Rusia dengan mudah diduduki oleh tentara Hitler. Rusia mengerahkan rakyat sebagai milisi, tapi di bantai oleh serdadu Der Fuhrer. Dalam barisan milisi itu, ada pemuda Vassili Zaitsev dan Commisar Danilov yang tidak terbunuh. Zaitsev hanya diberi empat butir peluru, tapi tidak diberi bedilnya.
Kala itu, Rusia memang kekurangan senjata, hingga banyak milisi yang hanya dibekali peluru untuk tempur melawan tentara Jerman yang bedilnya sangat modern. Milisi yang dibekali peluru, harus menunggu giliran bedil temannya habis peluru, atau menunggu temannya tewas, baru peluru itu bisa digunakan.
enemy at the gates
Para milisi sudah terbunuh, dan mayat bergeletakan. Ketika diinspeksi oleh tentara Jerman, Vassili Zaitsev dan Commisar Danilov pura-pura sudah terbunuh. Ketika inspektor sudah berlalu, Zaitsev dan Danilov sama-sama bergerak, dan saling tahu bahwa tinggal berdua yang belum terbunuh. Lalu Zaitsev meminjam bedil milik Danilov. Ia mulai mengisikan sebutir peluru ke dalam bedil. Lalu membidik perwira Jerman yang tengah mandi. Perwira itu tertembak tepat di kepala. Hari itu, empat butir peluru Zaitsev berhasil membunuh empat perwira Jerman yang ditembak dengan cara sniper.
Adegan beralih ke markas tentara Stalin. Sang Komandan marah besar karena milisi tidak berhasil membendung tentara Jerman. Para Commiser yang masih hidup, dikumpulkan dan dimarahi. Saat Komandan marah, nyeletuklah Commisar Danilov, “Give them hope,” katanya, dalam suara yang gugup.
“Apa?” tanya komandan.
“Give them hope!”
Maksudnya, berilah tentara dan milisi itu harapan. Karena dengan adanya harapan, semangat untuk mewujudkan cita-cita akan terus menyala, dan cita-cita setinggi langit alias impian, bisa tergapai.
enemy at the gates
Lalu Commisar Danilov berkisah, ada seorang milisi yang jago tembak dan berhasil membunuh empat perwira musuh. Danilov mengusulkan, supaya kisah sukses Vassili Zaitsev disebar luaskan melalui pamphlet kepada penghuni Stalingrad yang ketakutan karena kota itu tengah dikepung Jerman, bahwa ada juru tembak yang ulung, yang akan menyelamatkan kota dari musuh. Juga mengobarkan semangat untuk tidak menyerah kepada tentara Rusia yang terbatas persenjatannya.
Harapan. Itulah kata yang ampuh dalam melakoni hidup. Manusia paling buruk di muka bumi, ialah mereka yang sudah tidak memiliki harapan. Berkat harapan itulah, Stalingrad yang dikepung tentara Jerman, dapat bertahan hingga 900 hari (sesuai dengan fakta sejarah). Bahkan ketika salju rinyai dan cuaca mencapai titik kulminasi paling beku, tentara Jerman yang kehabisan amunisi dan logistik, bisa dikalahkan.
Sedari dulu hingga stakat ini, manusia membutuhkan tiga kata kunci: harapan, penjelasan, dan prediksi. Apa yang akan terjadi di kemudian hari setelah bangsa pembajak ini menuding hidung Maling Sia yang mencuri pendet, angklung, dan lain-lain? Dibutuhkan penjelasan dan prediksi, supaya bangkit harapan.
Tidak lama lagi, bangsa kita akan bangkit, dan penggalan puisi Kriapur ini barangkali turut mewakili prediksi tersebut: Bangsaku bangsa dari segala bangsa/ rakyatku telah siap dengan tombaknya/ siap dengan amuknya// Bayi-bayi menggenggam pisau di lidahnya//…
Kita menjadi peduli setelah kebakaran jenggot. Apakah perlu seluruh jenggot kita dibakar supaya makin peduli terhadap seni-budaya warisan leluhur?
Film lawas berjuluk Enemy at The Gates besutan sutradara Jean-Jacques Annaud yang saya tonton sekira enam kali via DVD bajakan, beberapa tahun silam, tiba-tiba terngiang ulang ketika “ketegangan” antara Indonesia versus Malaysia yang dilabeli si Maling Sia itu, kembali bergema. Masyarakat kita menuduh Malaysia sebagai si tukang curi.
Tapi tahukah Anda bahwa panitia hak patent dunia menuduh masyarakat Indonesia sebagai tukang bajak alias si maling juga. DVD yang saya tonton berulang-ulang itu, juga software untuk mengetik tulisan ini, tiada lain adalah hasil bajakan. Di negeri kita, benda hasil bajakan, alias hasil curian, dari mulai kaset hingga CD, dari mulai CD (celana dalam) hingga kacamata, sangat meruyak, dan hal itulah yang membuat bangsa kita terkena “watch list”. Betapa ironis.
Juga betapa ironis, banyak masyarakat yang ikut-ikutan menyebut Maling Sia, ternyata baru tahu Tari Pendet itu seperti apa setelah tarian itu ditayangkan oleh televisi. Televisi pun baru mau menayangkannya untuk melengkapi berita yang bisa mendatangkan pemirsa. Jumlah pemirsa berbanding lurus dengan kedatangan pengiklan. Kalau Malaysia tidak pernah bikin gara-gara, mungkin televisi tidak akan pernah menayangkan tarian itu, dan mungkin banyak masyarakat tidak pernah tahu Tari Pendet itu seperti apa hingga akhir hayatnya.
enemy at the gates
Barangkali, kita membutuhkan lecutan orang lain untuk membangunkan kesadaran diri yang masih juga tertidur pulas. Kita butuh kebakaran jenggot, supaya bangkit harga diri yang masih merangkak.
Enemy at The Gates setidaknya turut menyalakan warwah (semangat) saya guna memenangkan “peperangan” melawan apa itu si Maling Sia, atau maling-maling lainnya, termasuk melawan maling diri sendiri. Hidup memang peperangan.
Wolfgang von Goethe berujar, hidup adalah pertempuran. Mungkinkah Goethe mengatakan hidup adalah peperangan setelah ia mengutip salah satu lirik dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi, … satu dan yang lain di antara kalian, akan jadi seteru abadi? Sepulang dari Badar, Rasul menjawab pertanyaan sahabat, kita akan menghadapi peperangan yang lebih berat, yaitu perang melawan diri sendiri.
Tentu dalam film yang dibintangi Jude Law (Vassili Zaitsev), Ed Harris (Major König), Rachel Weisz (Tania Chernova), Joseph Fiennes (Commisar Danilov) itu tidak ada khotbah seperti yang dikutipkan pada paragraf di atas. Film yang dirilis 16 Maret 2001 ini berkisah tentang pertarungan sniper Rusia (Vssili Zaitsev) melawan sniper Jerman (Major König).
Sebelum film berfokus pada cerita pertarungan dua sniper di sela-sela peperangan Stalingrad, dikisahkan bagaimana Rusia dengan mudah diduduki oleh tentara Hitler. Rusia mengerahkan rakyat sebagai milisi, tapi di bantai oleh serdadu Der Fuhrer. Dalam barisan milisi itu, ada pemuda Vassili Zaitsev dan Commisar Danilov yang tidak terbunuh. Zaitsev hanya diberi empat butir peluru, tapi tidak diberi bedilnya.
Kala itu, Rusia memang kekurangan senjata, hingga banyak milisi yang hanya dibekali peluru untuk tempur melawan tentara Jerman yang bedilnya sangat modern. Milisi yang dibekali peluru, harus menunggu giliran bedil temannya habis peluru, atau menunggu temannya tewas, baru peluru itu bisa digunakan.
enemy at the gates
Para milisi sudah terbunuh, dan mayat bergeletakan. Ketika diinspeksi oleh tentara Jerman, Vassili Zaitsev dan Commisar Danilov pura-pura sudah terbunuh. Ketika inspektor sudah berlalu, Zaitsev dan Danilov sama-sama bergerak, dan saling tahu bahwa tinggal berdua yang belum terbunuh. Lalu Zaitsev meminjam bedil milik Danilov. Ia mulai mengisikan sebutir peluru ke dalam bedil. Lalu membidik perwira Jerman yang tengah mandi. Perwira itu tertembak tepat di kepala. Hari itu, empat butir peluru Zaitsev berhasil membunuh empat perwira Jerman yang ditembak dengan cara sniper.
Adegan beralih ke markas tentara Stalin. Sang Komandan marah besar karena milisi tidak berhasil membendung tentara Jerman. Para Commiser yang masih hidup, dikumpulkan dan dimarahi. Saat Komandan marah, nyeletuklah Commisar Danilov, “Give them hope,” katanya, dalam suara yang gugup.
“Apa?” tanya komandan.
“Give them hope!”
Maksudnya, berilah tentara dan milisi itu harapan. Karena dengan adanya harapan, semangat untuk mewujudkan cita-cita akan terus menyala, dan cita-cita setinggi langit alias impian, bisa tergapai.
enemy at the gates
Lalu Commisar Danilov berkisah, ada seorang milisi yang jago tembak dan berhasil membunuh empat perwira musuh. Danilov mengusulkan, supaya kisah sukses Vassili Zaitsev disebar luaskan melalui pamphlet kepada penghuni Stalingrad yang ketakutan karena kota itu tengah dikepung Jerman, bahwa ada juru tembak yang ulung, yang akan menyelamatkan kota dari musuh. Juga mengobarkan semangat untuk tidak menyerah kepada tentara Rusia yang terbatas persenjatannya.
Harapan. Itulah kata yang ampuh dalam melakoni hidup. Manusia paling buruk di muka bumi, ialah mereka yang sudah tidak memiliki harapan. Berkat harapan itulah, Stalingrad yang dikepung tentara Jerman, dapat bertahan hingga 900 hari (sesuai dengan fakta sejarah). Bahkan ketika salju rinyai dan cuaca mencapai titik kulminasi paling beku, tentara Jerman yang kehabisan amunisi dan logistik, bisa dikalahkan.
Sedari dulu hingga stakat ini, manusia membutuhkan tiga kata kunci: harapan, penjelasan, dan prediksi. Apa yang akan terjadi di kemudian hari setelah bangsa pembajak ini menuding hidung Maling Sia yang mencuri pendet, angklung, dan lain-lain? Dibutuhkan penjelasan dan prediksi, supaya bangkit harapan.
Tidak lama lagi, bangsa kita akan bangkit, dan penggalan puisi Kriapur ini barangkali turut mewakili prediksi tersebut: Bangsaku bangsa dari segala bangsa/ rakyatku telah siap dengan tombaknya/ siap dengan amuknya// Bayi-bayi menggenggam pisau di lidahnya//…
film yang bagus. aku nonton sampai 6 kali.
ReplyDelete