Sunday, September 25, 2011

Malam Pertama Begitu Menyiksa

Teks Doddi Ahmd Fauji

Slogan salah satu merk parfum berbunyi ”kesan pertama begitu menggoda”. Tetapi menonton Piala Dunia di malam perdana, saya ingin memelesetkan slogan itu menjadi klausa seperti ini: malam pertama begitu menyiksa!

Menonton sesuatu yang menoton, memang kurang menyenangkan. Energi terkuras, rasa jenuh seperti diunduh, lalu kantuk datang menjenguk. Padahal yang kita cerna itu ialah olah raga sepakbola, yang di setakat kapitalisasi sport ini, supersoccer telah disajikan dengan begitu agresif. Semestinya, kesan pertama benar-benar menggoda, lalu kita terhibur.

Tetapi apa dikata, empat kesebelasan yang berlaga di malam perdana, masing-masing hanya bisa menampilkan alur konvensional yang konservatif. Terutama menyaksikan Prancis versus Uruguay. Tampak sekali, mereka tampil laiknya pengantin baru, yang energi dan emosinya telah terkuras habis di masa persiapan-pesiapan, hingga ketika malam perdana menjelang, yang tersisa tinggalah ”demam” dan rasa letih yang berkobar.

Duel Meksiko vis a vis Afrika Selatan, masih melahirkan debar-debar sebab ada gol yang tercipta, walau berakhir imbang. Unjuk sepak bola tanpa gol, akan terasa hambar ibarat sayur asam tanpa garam. Bahkan sebanyak-banyaknya gol tecipta pun, bila berakhir imbang, masih belum memenuhi kriteria game. Doktrin sebuah game selalu menuntut lahirnya pemenang di satu panggung, dan pecundang di pojok lainnya.

Menyimak Meksiko lawan Afrika Selatan, apapun yang terjadi, solidaritas dan permakluman masih bisa diberikan, toh mereka bukan kelas wahid dalam konstelasi persepakbolaan dunia. Bahkan ada yang berkelakar, bila memprediksi Meksiko atau Afrika Selatan bisa jadi juara dunia, itu sama dengan menganggap Tuhan telah bekerja dengan tidak sungguh-sungguh. Kelakar itu tentu kelewat berlebihan, sebab ada adagium yang sesekali terbukti: bola itu bundar, bisa menggelinding ke mana saja.

Permakluman bisa diberikan kepada Meksiko dan Afrika Selatan, tetapi tidak kepada Uruguay dan Prancis. Sebagaimana sejarah mencatat, kedua kontestan ini sama-sama pernah menyuguhkan sajian yang memikat, dan sama-sama pernah jadi juara dunia. Juga kedua kesebelasan ini, adalah bangsa yang mengandung sisi putik, jadi seharusnya bisa memberikan suguhan yang menarik.

Tempat pertama pertandingan Piala Dunia adalah di Uruguay, sekaligus Uruguay pula yang menjadi jJuara perdana. Saya bertanya-tanya, mengapa Uruguay yang menjadi tuan rumah pertama sekaligus juara pertama? Bisa jadi karena negara kecil ini terjepit di antara dua negara besar secara wilayah maupun tradisi sepak bola, yakni Argentina dan Brasil. Untuk mencari wilayah netral kala itu, di antara dua ambisi yang bergelora, maka dipilihlah negara sempit Uruguay yang memang memisahkan Argentina dari Brazil. Negara ini juga dipilih, karena kala itu merupakan kawasan aman, makmur, dan demokratis. Lebih dari itu, inilah sebuah negara yang secara etimologis memiliki makna yang amat puitis. Nama Uruguay berasal dari bahasa Guaraní dari Paraguay, yang artinya ”Sungai burung-burung yang dilukis”.

Adapun Prancis, yang setelah berkali-kali “adug lajer” dalam piala dunia, akhirnya berhasil jadi juara ketika menjadi tuan rumah pada Piala Dunia 1998. Sebagai bangsa yang beradab, Prancis adalah negara yang dipilih menjadi markas UNESCO, badan dunia yang mengurusi kebudayaan dan peradaban. Prancislah satu-satunya negara yang para Presiden-nya selalu membuka pidato kenegaraan dengan kalimat kurang lebih seperti ini: Dengan mengucapkan terima kasih kepada para pemikir terdahulu yang memungkinkan negara dan bangsa kita seperti sekarang ini, maka pidato kenegaraan ini saya mulai.

Tetapi sesuatu yang monoton, datar, membosankan, dan melahirkan stagnasi, seringkali terjadi di pelbagai sektor. Dalam kesenian pun, ada beberapa naskah teater yang bila dipertunjukan oleh aktor belum kawakan, selalu melahirkan atmosfer membosankan, yakni lakon Waiting for Godot (1952) dan Endgame (1957), yang keduanya buah tangan Samuel Beckett (lahir di Dublin, Irlandia, 13 April 1906‘“meninggal 22 Desember 1989).

Kita menunggu gol tercipta, namun tak kunjung tiba, hingga permainan pun berakhir. Ya, ibarat menonton Waiting for Godot lalu lakon Endgame ketika dimainkan oleh aktor masih belajar: monoton dan menyiksa. Karena itu, pada Piala Dunia 2010 ini, kiranya bukan hanya saya yang segera ingin menyimak suguhan Argentina, yang selain memiliki si ”Bocah Ajaib” Lionel Messi, juga diarsiteki si ”Tangan Tuhan” Maradona. Doddi Ahmad Fauji

baca di:
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Top%20Soccer&berita=134081&pagecomment=1

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung