Saturday, September 24, 2011

Menanti Sang Anemer Jadi Konduktor

Teks Doddi Ahmd Fauji

tulisan ini, pada hari yg sama, dimuat juga di jurnal bogor, hal 19, tp tidak kutemukan link nya di www.jurnalbogor.com.

Boleh jadi Anda bukan golongan bigot (fans fanatik) tim Argentina. Tapi kiranya Anda sulit mengelak, kalau Anda termasuk pencinta bola yang mencandu utak-atik Lionel Andres Messi. Sebab bila diibaratkan partitur sebuah lagu, mobilitas Messi itu masuk ke dalam kategori refrain, yakni bar-bar yang paling syahdu dan nikmat untuk didengarkan. Bila kita yang menyanyikannya, mengumandangkan refrain itu bisa mendatangkan katarsis tersendiri.

Tanding perdana di Stadion Ellis Park, Messi memang tidak mencetak gol. Tapi mata dunia memandang lekat ke tiap pergerakannya. Dia memang eye-catching, jadi gimmick, menjadi elemen estetik yang mencolok dari permainan tim Argentina yang tampil menawan bak seniman.

Menonton tim Albiceleste merumput, kita seperti diajak mengapresiasi para seniman sedang manggung. Secara fisik pun para pebola Argentina mayoritas memiliki aura eksentrik, salah satu elemen yang menjadi penanda adanya estetika. Eksentrisitas mereka salah satunya tampak pada rambut gondrong atau plontos sekalian. Ada juga yang mengurus brewok atau jenggot. Dari sisi penampilan, sejak zaman Mario Kempes, Diego Armando Maradona, Claudio Canigia, Gabriela Batistuta, Daniel Ortega, hingga Lionel Messi, para pebola Argentina mayoritas hobi berambut gondrong, dan kegondrongan itu adalah refleksi dari jiwa-jiwa yang "bebas" dalam berekspresi.

Kebebasan berekspresi atau litentia of poetica yang dimiliki para pemain Argentina, tercermin juga dalam teknik men-dribble bola yang lincah dan lekat, seakan bola dan sepatu mereka, masing-masing dikasih magnet yang saling menyerap. Kebebasan itu, terlihat pula pada metode mereka merebut bola dari kaki lawan dengan teknik menyerobot dari belakang saat lawan lengah. Kedua metode itu telah menjadi semacam stempel untuk mengatakan bahwa Tim Tango adalah tim paling atraktif, sedangkan sesuatu yang atraktif, cenderung menghibur. Silogisme yang bisa ditarik dari premis di atas ialah: Argentina menghibur.

Atraktivitas sepak bola Argentina, makin tegas formatnya pada era kejayaan Maradona yang mempersembahkan kemenangan lewat "Tangan Tuhan". Dan sekarang, si Diego itu, menjadi arsitek Tim Tango. Tidak berlebihan rasanya bila sepanjang 2010 ini, kita akan disuguhi pertunjukan kesenian yang menghibur. Dan kejutan itu, salah satunya lahir dari kaki Messi.

Saat ini, Messi pun jadi penyerang paling ditakuti oleh musuh, yang membuat pertahanan musuh lebih berkonstrasi untuk mengawalnya. Hal ini menjadi keuntungan bagi Argentina, sebab bola bisa melesak ke gawang lawan, meski tidak oleh kaki atau kepala Messi. Kata Maradona, yang penting menang, siapa pun yang mencetak, tak masalah.

Tetapi apakah Messi akan menciptakan "kesenian" setarap dengan yang pernah diukir oleh Sang Diego? Kita tunggu saja.

Jauh-jauh hari, para pengamat dan pencinta bola sudah bisa mengidentifikasi persamaan-persamaan kehebatan antara Messi dengan Maradona. Tidak sedikit yang menyebut-nyebut, Messi adalah reinkarnasi dari Maradona. Di situs Youtube misalnya, ada komparasi sekuel antara Maradona dengan Lionel Messi yang hampir sama, yakni ketika keduanya menciptakan solo run.

Maradona melakukan solo run ketika ia berusia 26, yakni saat menggulung Inggris, sedangkan Messi melakukannya saat ia berusia 19, saat mengikuti Getafe di semifinal Copa del Rey 2008. Detail solo run yang dilakukan Messi nyaris selaras dengan yang dilakukan Maradona. Secara skill dan teknis, bisa kita lihat Messi sudah bisa menyamai kemampuan Maradona. Bahkan bila dibandingkan pada masa usia yang sama, bisa jadi Messi lebih hebat dari Maradona. Tapi, saat Sang Diego melakukan solo run, di sana Sang Diego melakukan gerakan yang sangat sulit, yang dalam tari balet akan disebut grand jeté.

Ditinjau dari ranah kognisi, tampak bahwa Messi yang lahir pada 24 Juni 1987, kurang garang dan kurang obsesius dibandingkan dengan Sang Diego yang lahir pada 30 Oktober 1960. Kegarangan dan obsesi Sang Diego itu, ikut mengukuhkan kebesaran namanya.

Kegarangan dan obsesi itu pula yang membuat Maradona menjadi inspirator dan motivator, macam konduktor dari sebuah oskestra. Apakah permainan yang sedang digelar akan dibuat menjadi adagio atau allegro, Maradona-lah yang paling menentukan. Irama permainan kawan dan lawan, ditentukan oleh Maradona. Pada sisi ini, Messi belum bisa menjadi konduktor. Apalagi Sang Diego masih merumput, walau dalam posisi sebagai pelatih. Inspirator Argentina, mau tak mau, masih di tangan Maradona. Bahkan di lapangan, wibawa Messi sertingkat di bawah Tepez.

Bila diibartkan membangun rumah, saat ini posisi Messi berada pada posisi Sang Anemer (developer). Namun, dengan masih berdaulatnya sang arsitek yang karismatik, dan dengan didukung Sang Anemer (developer) yang yang brilian, tahun ini tampaknya Argentina akan berhasil mengukir karya seni yang agung.

http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Top%20Soccer&berita=134215&pagecomment=1

No comments:

Post a Comment

tulisan yang nyambung