Teks Sepak Bola Doddi Ahmad Fauji
Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, satu semenanjung, itulah Korea. Tetapi tepatnya sejak 8 September 1945, teori dan ambisi dua negara adidaya, datang menyeruak dan mengoyak bagai hantu di siang bolong, membelah Korea jadi dua negara, di mana masing-masing penguasanya, membentengi wilayah dengan ideologi yang berseberangan.
Ideologi kapitalisme disemai oleh Amerika Serikat, yang merangsek melalui zona bagian selatan semenanjung, lalu mendorong rakyat di sana agar membentuk negara Korea Selatan. Sementara faham Marxisme - Leninisme ditaburkan oleh Uni Soviet yang menyatroni daerah di atas garis 38 derajat lintang utara, lalu memprovokasi rakyat setempat agar membentuk negara Korea Utara. Hingga kini, Korea Utara masih bersikukuh sebagai penghayat Marxisme - Leninisme itu.
Satu bahasa satu semenanjung itu pun, jadi bangsa yang berwajah ganda. Yang satu, terbuka untuk menerima pelbagai perubahan, membuat wajahnya tampak meriah oleh make up pembangunan. Sementara yang satunya lagi menghijab wajahnya dari pelbagai perubahan, termasuk menutup diri dari informasi dan komunikasi, sampai-sampai latihan sepak bola tidak boleh ditonton oleh wartawan.
Ulah politik yang sebermula bertujuan mulia, akhirnya sering jadi bumerang, memaksa saudara satu bangsa bertikai habis-habisan, lalu memendam dendam berkepanjangan seperti yang terjadi pada satu Korea yang terbelah jadi dua itu. Hingga saat ini, ketika Tembok Berlin sudah roboh, dendam dua Korea yang bersaudara itu seperti dian yang tak kunjung padam.
Sepak bola, belum bisa, atau mungkin tidak akan pernah bisa mempersatukan mereka. Bahkan menjelang Piala Dunia 2010, api amarah di antara mereka, tampak berkobar-kobar. Karamnya kapal perang Korea Selatan beberapa waktu lalu, dituding telah ditenggelamkan oleh Korea Utara. Korea Utara segera mengirim surat bantahan ke PBB karena terdengar selentingan, badan bangsa-bangsa yang harus netral itu, hendak mendiskualifikasi kepesertaan Korea Utara dari Piala Dunia 2010.
Terlepas dari persoalan politik, dua negara Korea itu, adalah benar-benar satu bangsa yang mewarisi tabiat dan karakteristik leluhurnya. Kedua warga dari dua negara itu, bila ditelusur ke luhur, adalah bagian dari rumpun Mongoloid. Mereka setara dengan bangsa China, Jepang, Tibet, Taiwan, juga Vietnam sebagian warga Thailand adalah keturunan Mongoloid. Seperempat warga dunia ini, adalah keturunan ras Mongoloid, namun pemukimannya tersebar ke berbagai pelosok, hingga ke Indonesia.
Adapun bangsa Mongoloid, seperti salah satunya tergambarkan dalam kisah nyata seorang Temujin yang kemudian berjuluk Jengis Khan, adalah bangsa yang mengesahkan pembalasan atas dendam. Pada film tentang Jengis Khan atau film-film Mandarin macam yang dibintangi Jet Li dan Jackie Chan, orang yang hendak membalaskan dendam atas nama leluhurnya, bukan saja disyahkan, tetapi dihormati sebagai anak yang mengabdi kepada kebesaran keluarga.
Lihatlah Korea Utara, sengaja meluncurkan rudal teranyar tepat ketika Amerika Serikat hendak merayakan Independence Day yang jatuh pada 4 Juli. Pemilihan waktu untuk launching rudal ini, menjelas-tegaskan kepada Amerika yang telah menyulut perang saudara di Korea, bahwa warga Korea Utara selaku keturunan Mongoloid, masih menyimpan dendam dan akan membalaskannya.
Mungkin dendam itu tidak melalu melalui perang, tapi bisa saja melalui pelucutan harga diri. Kekalahan sebuah negara pada ajang sepak bola, adalah bagian dari pelucutan martabat itu. Kiranya mungkin, warga Korea Utara sangat berharap bisa bertemu tim Amerika Serikat di Piala Dunia 2010, untuk membalaskan dendam yang menahun terpendam.
Dua negara Korea itu, sebermula adalah satu nusa, satu bangsa, satu karakter. Juga dalam urusan sepak bola. Sejarah mencatat, dua negara ini sama-sama pernah mengempaskan Italia di babak perdelapan final Piala Dunia. Korea Utara melakukannya pada 1966, sedang Korea Selatan pada 2002. Itulah prestasi tertinggi yang pernah diraih bangsa Asia. Kehadiran dua Korea, tentu saja akan makin mempertajam Asia.
Sama seperti halnya kekuasaan di etnis Jawa, kekuasaan di etnis Korea juga pernah terpecah-pecah. Kekuasaan etnis Jawa (tidak termasuk Sunda di dalamnya) pernah dipersatukan oleh Kerajaan Majapahit, bahkan bisa melakukan ekspansi hingga ke barat, kekuasaan Korea di masa silam, juga pernah dipersatukan di bawah bendera Kerajaan Silla, dan melebarkan kekuasaannya ke wilayah barat. Jawa kemudian menjadi kunci dari apa yang disebut NKRI, dan adakah bangsa Korea itu kembali ke masa Silla, ketika mereka bersatu atas nama satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, satu semenanjung?
Mungkin tidak penting benar mencari tahu jawaban itu. Toh kekuasaan komunisme yang kaku dan feodal, satu demi satu luntur digerus gelegak zaman. China adalah contoh terkini betapa komunisme perlahan-lahan rontok, dan bisa jadi Korea Utara akan menyusul ketika junta militer mulai kehilangan gigi.
Apa pun yang terjadi, kita tahu bahwa bola itu bundar, dan bisa menggelinding ke sana ke mari. Sebagai sesama Asia, tentu kita berharap dua Korea itu benar-benar bisa menjadi kuda hitam yang mencengangkan. Kemenangan mereka dalam persepakbolaan dunia, bisa saja menjadi inspirasi dua Korea untuk kembali ke kejayaan kerajaan Silla.
Di jurnal bogor, tulisan ini juga dimuatkan, nama rubriknya SEPAK SANA SEPAK SINI.
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Top%20Soccer&berita=134456&pagecomment=1
Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, satu semenanjung, itulah Korea. Tetapi tepatnya sejak 8 September 1945, teori dan ambisi dua negara adidaya, datang menyeruak dan mengoyak bagai hantu di siang bolong, membelah Korea jadi dua negara, di mana masing-masing penguasanya, membentengi wilayah dengan ideologi yang berseberangan.
Ideologi kapitalisme disemai oleh Amerika Serikat, yang merangsek melalui zona bagian selatan semenanjung, lalu mendorong rakyat di sana agar membentuk negara Korea Selatan. Sementara faham Marxisme - Leninisme ditaburkan oleh Uni Soviet yang menyatroni daerah di atas garis 38 derajat lintang utara, lalu memprovokasi rakyat setempat agar membentuk negara Korea Utara. Hingga kini, Korea Utara masih bersikukuh sebagai penghayat Marxisme - Leninisme itu.
Satu bahasa satu semenanjung itu pun, jadi bangsa yang berwajah ganda. Yang satu, terbuka untuk menerima pelbagai perubahan, membuat wajahnya tampak meriah oleh make up pembangunan. Sementara yang satunya lagi menghijab wajahnya dari pelbagai perubahan, termasuk menutup diri dari informasi dan komunikasi, sampai-sampai latihan sepak bola tidak boleh ditonton oleh wartawan.
Ulah politik yang sebermula bertujuan mulia, akhirnya sering jadi bumerang, memaksa saudara satu bangsa bertikai habis-habisan, lalu memendam dendam berkepanjangan seperti yang terjadi pada satu Korea yang terbelah jadi dua itu. Hingga saat ini, ketika Tembok Berlin sudah roboh, dendam dua Korea yang bersaudara itu seperti dian yang tak kunjung padam.
Sepak bola, belum bisa, atau mungkin tidak akan pernah bisa mempersatukan mereka. Bahkan menjelang Piala Dunia 2010, api amarah di antara mereka, tampak berkobar-kobar. Karamnya kapal perang Korea Selatan beberapa waktu lalu, dituding telah ditenggelamkan oleh Korea Utara. Korea Utara segera mengirim surat bantahan ke PBB karena terdengar selentingan, badan bangsa-bangsa yang harus netral itu, hendak mendiskualifikasi kepesertaan Korea Utara dari Piala Dunia 2010.
Terlepas dari persoalan politik, dua negara Korea itu, adalah benar-benar satu bangsa yang mewarisi tabiat dan karakteristik leluhurnya. Kedua warga dari dua negara itu, bila ditelusur ke luhur, adalah bagian dari rumpun Mongoloid. Mereka setara dengan bangsa China, Jepang, Tibet, Taiwan, juga Vietnam sebagian warga Thailand adalah keturunan Mongoloid. Seperempat warga dunia ini, adalah keturunan ras Mongoloid, namun pemukimannya tersebar ke berbagai pelosok, hingga ke Indonesia.
Adapun bangsa Mongoloid, seperti salah satunya tergambarkan dalam kisah nyata seorang Temujin yang kemudian berjuluk Jengis Khan, adalah bangsa yang mengesahkan pembalasan atas dendam. Pada film tentang Jengis Khan atau film-film Mandarin macam yang dibintangi Jet Li dan Jackie Chan, orang yang hendak membalaskan dendam atas nama leluhurnya, bukan saja disyahkan, tetapi dihormati sebagai anak yang mengabdi kepada kebesaran keluarga.
Lihatlah Korea Utara, sengaja meluncurkan rudal teranyar tepat ketika Amerika Serikat hendak merayakan Independence Day yang jatuh pada 4 Juli. Pemilihan waktu untuk launching rudal ini, menjelas-tegaskan kepada Amerika yang telah menyulut perang saudara di Korea, bahwa warga Korea Utara selaku keturunan Mongoloid, masih menyimpan dendam dan akan membalaskannya.
Mungkin dendam itu tidak melalu melalui perang, tapi bisa saja melalui pelucutan harga diri. Kekalahan sebuah negara pada ajang sepak bola, adalah bagian dari pelucutan martabat itu. Kiranya mungkin, warga Korea Utara sangat berharap bisa bertemu tim Amerika Serikat di Piala Dunia 2010, untuk membalaskan dendam yang menahun terpendam.
Dua negara Korea itu, sebermula adalah satu nusa, satu bangsa, satu karakter. Juga dalam urusan sepak bola. Sejarah mencatat, dua negara ini sama-sama pernah mengempaskan Italia di babak perdelapan final Piala Dunia. Korea Utara melakukannya pada 1966, sedang Korea Selatan pada 2002. Itulah prestasi tertinggi yang pernah diraih bangsa Asia. Kehadiran dua Korea, tentu saja akan makin mempertajam Asia.
Sama seperti halnya kekuasaan di etnis Jawa, kekuasaan di etnis Korea juga pernah terpecah-pecah. Kekuasaan etnis Jawa (tidak termasuk Sunda di dalamnya) pernah dipersatukan oleh Kerajaan Majapahit, bahkan bisa melakukan ekspansi hingga ke barat, kekuasaan Korea di masa silam, juga pernah dipersatukan di bawah bendera Kerajaan Silla, dan melebarkan kekuasaannya ke wilayah barat. Jawa kemudian menjadi kunci dari apa yang disebut NKRI, dan adakah bangsa Korea itu kembali ke masa Silla, ketika mereka bersatu atas nama satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, satu semenanjung?
Mungkin tidak penting benar mencari tahu jawaban itu. Toh kekuasaan komunisme yang kaku dan feodal, satu demi satu luntur digerus gelegak zaman. China adalah contoh terkini betapa komunisme perlahan-lahan rontok, dan bisa jadi Korea Utara akan menyusul ketika junta militer mulai kehilangan gigi.
Apa pun yang terjadi, kita tahu bahwa bola itu bundar, dan bisa menggelinding ke sana ke mari. Sebagai sesama Asia, tentu kita berharap dua Korea itu benar-benar bisa menjadi kuda hitam yang mencengangkan. Kemenangan mereka dalam persepakbolaan dunia, bisa saja menjadi inspirasi dua Korea untuk kembali ke kejayaan kerajaan Silla.
Di jurnal bogor, tulisan ini juga dimuatkan, nama rubriknya SEPAK SANA SEPAK SINI.
http://www.jurnalnasional.com/show/newspaper?rubrik=Top%20Soccer&berita=134456&pagecomment=1
No comments:
Post a Comment