Teks Doddi Ahmd Fauji
Apa yang akan terjadi di kemudian hari? Adalah teka-teki yang tak bisa diterka, tetapi bisa ditaksir dan ditafsir, bisa dikira-kira dan diramal, kemudian disimpulkan menjadi nubuat atau prediksi.
Manusia tidak tahu apa yang akan berlangsung di hadapan, tapi selalu ingin mengetahuinya dengan pasti, supaya bisa mengantisapi apapun yang terjadi. Untuk itulah para futurolog atau dukun ramal bermunculan, apakah diimplementasikan dalam bentuk film futuristik atau ramalan macam tarot, macam yang disampaikan Nostradamus, Joyoboyo, Ronggo Warsito, atau almarhuman Mama Lorens.
Memprediksi tentu tidak asal ucap. Tapi dibutuhkan berbagai katalisator yang argumentatif dan linier untuk menarik asumsi. Dibutuhkan rumus, kode, formulasi, hingga ke pembacaan historis agar dapat memetakan apa yang bakal terjadi di masa hadapan. Dengan kata lain, memprediksi adalah ranah kerja afektif atau akal budi. Sedangkan mereka yang bekerja dengan tataran kognisi atau emosi, yang lahir bukanlah prediksi, tapi spekulasi.
Terserah Anda akan menjustifikasi tulisan ini sebagai spekulasi atau prediksi, atau kombinasi dari keduanya, namun betapa nikmat bila membayang dua Korea akan bertemu di Durban atau di Cafe Town pada babak semi final. Bila itu terhadi, pantaslah bila ajang itu kita namakan rendezvous (pertemuan kembali). Tentu saja diksi rendezvous teramat hiperbolis, sebab makna yang sesungguhnya dari rendezvous adalah pertemuan bersifat romantis. Sedangkan untuk dua Korea ini, bila itu terjadi, bukan untuk memadu kasih, tapi untuk saling hajar sebagaimana yang pernah mereka lakukan dalam ”Perang yang Dimandatkan” pada pertengahan dekade 40-an di abad silam.
Apa mungkin rendezvouz itu akan terjadi?
Hal itu amat mungkin terjadi, sebab ada dua katalisator prediktif di atas kertas, juga ada dua doktrin bola yang bersifat emosional-spekulatif, serta ada satu kemungkinan nisbi yang bisa saja terjadi.
Katalisator pertama, Korea Utara dan Korea Selatan pernah sampai ke perempat final dengan sama-sama menumbangkan raksasa bola Italia.
Katalisator kedua, spirit dan marwah kedua Korea itu adalah senada, ingin membuktikan yang terbaik bukan saja kepada negaranya, tetapi kepada negara saudaranya, toh kawan dan lawan, adalah saudara, sebagaimana juga Kabil dan Habil adalah kakak beradik. Dua Korea itu sama-sama sedang mewarisi kebangkitan Asia paska tahun 2000 sebagaimana pernah diprediski oleh John Naisbit. Setelah tahun 2000, Asia memang bangkit, terutama dilecut oleh China yang ikut andil dalam menggoyahkan perekonomian Amerika.
Lalu tentang doktrin bola yang bersifat spekulatif, penjelasannya seperti berikut ini. Pertama, bahwa di dalam kompetisi, sering diyakini adanya tim kuda hitam yang akan melaju dengan mencengangkan. Kedudukan dua Korea ini, saat ini, ditempatkan sebagai kuda hitam. Apalagi posisi Korea Utara yang menduduki peringkat di atas 100 dalam rangking sepakbola dunia.
Doktrin kedua, bolah itu bundar dan bisa menggelinding ke manapun. Kita adalah saksi betapa dalam sepakbola pun, selalu ada keajaiban yang seolah-olah itu hanya bisa terjadi atas kehendak dan kuasa Tuhan.
Bila kemenangan dalam tanding bola juga ikut ditentukan oleh doa, yang artinya ”pangeran ora sare” (Tuhan tidak tidur), maka satu dari dua kemungkinan yang nisbi, akan berpihak kepada dua Korea.
Penduduk dunia paling banyak dan paling bertakwa, berada di kawasan Asia, di mana menurut sejarah, seluruh agama besar baik yang samawi maupun yang ardhi, lahirnya di Asia. Apakah ajaran Yahudi atau Mazusi, Islam atau Kristiani, Hindu atau Budha, Konghutju atau Tao, bermula dan disebarluaskan dari Asia. Kiranya, para penduduk Asia akan lebih merasa beriman dan bertakwa bila doa-doanya dipersembahkan untuk kedua Korea itu. Sebab bagaimanapun, seperti kata pepatah, ”buruk-buruk papan jati” (jelek atau buruk, toh saudara sejati). Jika saudara berkelahi, patut dibela, sekalipun dengan doa.
Apakah Anda warga Asia? Jika ya, mari kita berharap dua Korea bertemu di perempat final.
Tulisan ini diturunkan di Jurnal Bogor, Sabtu, 19 Juni 2010.
Apa yang akan terjadi di kemudian hari? Adalah teka-teki yang tak bisa diterka, tetapi bisa ditaksir dan ditafsir, bisa dikira-kira dan diramal, kemudian disimpulkan menjadi nubuat atau prediksi.
Manusia tidak tahu apa yang akan berlangsung di hadapan, tapi selalu ingin mengetahuinya dengan pasti, supaya bisa mengantisapi apapun yang terjadi. Untuk itulah para futurolog atau dukun ramal bermunculan, apakah diimplementasikan dalam bentuk film futuristik atau ramalan macam tarot, macam yang disampaikan Nostradamus, Joyoboyo, Ronggo Warsito, atau almarhuman Mama Lorens.
Memprediksi tentu tidak asal ucap. Tapi dibutuhkan berbagai katalisator yang argumentatif dan linier untuk menarik asumsi. Dibutuhkan rumus, kode, formulasi, hingga ke pembacaan historis agar dapat memetakan apa yang bakal terjadi di masa hadapan. Dengan kata lain, memprediksi adalah ranah kerja afektif atau akal budi. Sedangkan mereka yang bekerja dengan tataran kognisi atau emosi, yang lahir bukanlah prediksi, tapi spekulasi.
Terserah Anda akan menjustifikasi tulisan ini sebagai spekulasi atau prediksi, atau kombinasi dari keduanya, namun betapa nikmat bila membayang dua Korea akan bertemu di Durban atau di Cafe Town pada babak semi final. Bila itu terhadi, pantaslah bila ajang itu kita namakan rendezvous (pertemuan kembali). Tentu saja diksi rendezvous teramat hiperbolis, sebab makna yang sesungguhnya dari rendezvous adalah pertemuan bersifat romantis. Sedangkan untuk dua Korea ini, bila itu terjadi, bukan untuk memadu kasih, tapi untuk saling hajar sebagaimana yang pernah mereka lakukan dalam ”Perang yang Dimandatkan” pada pertengahan dekade 40-an di abad silam.
Apa mungkin rendezvouz itu akan terjadi?
Hal itu amat mungkin terjadi, sebab ada dua katalisator prediktif di atas kertas, juga ada dua doktrin bola yang bersifat emosional-spekulatif, serta ada satu kemungkinan nisbi yang bisa saja terjadi.
Katalisator pertama, Korea Utara dan Korea Selatan pernah sampai ke perempat final dengan sama-sama menumbangkan raksasa bola Italia.
Katalisator kedua, spirit dan marwah kedua Korea itu adalah senada, ingin membuktikan yang terbaik bukan saja kepada negaranya, tetapi kepada negara saudaranya, toh kawan dan lawan, adalah saudara, sebagaimana juga Kabil dan Habil adalah kakak beradik. Dua Korea itu sama-sama sedang mewarisi kebangkitan Asia paska tahun 2000 sebagaimana pernah diprediski oleh John Naisbit. Setelah tahun 2000, Asia memang bangkit, terutama dilecut oleh China yang ikut andil dalam menggoyahkan perekonomian Amerika.
Lalu tentang doktrin bola yang bersifat spekulatif, penjelasannya seperti berikut ini. Pertama, bahwa di dalam kompetisi, sering diyakini adanya tim kuda hitam yang akan melaju dengan mencengangkan. Kedudukan dua Korea ini, saat ini, ditempatkan sebagai kuda hitam. Apalagi posisi Korea Utara yang menduduki peringkat di atas 100 dalam rangking sepakbola dunia.
Doktrin kedua, bolah itu bundar dan bisa menggelinding ke manapun. Kita adalah saksi betapa dalam sepakbola pun, selalu ada keajaiban yang seolah-olah itu hanya bisa terjadi atas kehendak dan kuasa Tuhan.
Bila kemenangan dalam tanding bola juga ikut ditentukan oleh doa, yang artinya ”pangeran ora sare” (Tuhan tidak tidur), maka satu dari dua kemungkinan yang nisbi, akan berpihak kepada dua Korea.
Penduduk dunia paling banyak dan paling bertakwa, berada di kawasan Asia, di mana menurut sejarah, seluruh agama besar baik yang samawi maupun yang ardhi, lahirnya di Asia. Apakah ajaran Yahudi atau Mazusi, Islam atau Kristiani, Hindu atau Budha, Konghutju atau Tao, bermula dan disebarluaskan dari Asia. Kiranya, para penduduk Asia akan lebih merasa beriman dan bertakwa bila doa-doanya dipersembahkan untuk kedua Korea itu. Sebab bagaimanapun, seperti kata pepatah, ”buruk-buruk papan jati” (jelek atau buruk, toh saudara sejati). Jika saudara berkelahi, patut dibela, sekalipun dengan doa.
Apakah Anda warga Asia? Jika ya, mari kita berharap dua Korea bertemu di perempat final.
Tulisan ini diturunkan di Jurnal Bogor, Sabtu, 19 Juni 2010.
No comments:
Post a Comment