Sekarang Nasirun sudah jadi milyarder. Tapi tetap saja ia seorang ndeso. Suatu hari, Nasirun menerima undangan untuk berkunjung ke rumah salah satu bos grup Sampoerna, namanya Pak Sunardjo, bermukim di Surabaya. Orang sering menyebutnya Naryo Sampoerna. Di kalangan seniman rupa, nama Naryo Sampoerna tentu cukup dikenal. Dialah kolektor lukisan yang berani mem-bidding lukisan Nyoman Masriadi dengan harga hamper Rp 10 milyar pada sebuah lelang lukisan di luar negeri. Pak Naryo kini tekah mendirikan Sampoerna Art Haouse di Surabaya, sebuah ruang seni yang mewah tenan.
Maka berangkatlah Nasirun ke Surabaya guna memenuhi undangan Pak Naryo. Sepulang dari Surabaya, sang Isteri menceritakan, betapa yang mengundang resah, apakah Nasirun jadi berangkat ke Surabaya. Ajudan Pak naryo menelepon ke rumah Nasirun di Yogya, apakah sang pelukis jadi berangkat ke Surabaya?
Istri Nasirun menerangkan, sang pelukis sudah berangkat ke Surabaya.
“Naik penerbangan apa, Bu?”
“Naik penerbangan bagaimana maksudnya, Pak?” isteri Nasirun balik bertanya.
“Maksud saya, Bapak naik pesawat apa? Jam berapa akan tiba di Surabaya?”
“Oh, Mas Nasirun tidak naik pesawat Pak, tapi naik kereta api?”
“Baiklah Bu. Apa saya bisa tahu nomor HP Pak Nasirun?”
“Mas Nasirun tidak punya HP, Pak.”
“Apa Pak Nasirun naik kereta yang ke stasiun Pasar Turi atau ke stasiun Gubeng?”
“Wah saya tidak tahu Pak. Tadi Pak Nasirun berangkat pukul 05.00 pagi.”
Mendengar Nasurin naik kereta api, entah yang ke Pasar Turi entah yang ke Gubeng, dan tidak punya HP untuk dikonfirmasi, paniklah ajudan yang ditugasi mengurusi kedatangan Nasirun ke Surabaya. Sang ajudan segera mengutus orang-orangngnya untuk mendatangi Stasiun Gubeng dan Stasiun Pasar Turi, keduanya merupakan stasiun di Surabaya. Mereka ditugasi untuk menunggu kedatangan Nasirun.
Nasirun tiba di Pasar Gubang siang-siang. Ia tidak tahu harus ke mana. Ia baru sadar kalau ia tidak tahu harus bagaimana, harus bertemu siapa, harus menelepon ke mana. Di tengah kebingungan itu, akhirnya Nasirun berjalan ke luar dari stasiun. Tak jauh dari pintu ke luar stasiun, ada pertunjukan doger monyet. Untuk mengusir kebingungan, akhirnya ia nonton doger monyet.
Orang-orang Sunardjo yang diutus ke stasiun Gubeng (juga yang diutus ke stasiun Pasar Turi), kebingungan. Mereka tidak tahu sosok Nasirun seperti apa. Mereka menunggu di pintu ke luar stasiun dengan membawa spanduk kecil bertuliskan, “Bapak Nasirun.”
Tapi Nasirun tidak ngeh waktu melihat tulisan itu. Dia keburu ngeloyor ke luar stasiun, dan kini sedang asyik menikmati tontonan doger monyet.
Tidak habis akal, utusan Sunardjo segera menelepon sang bos (ajudan Pak Naryo), menanyakan sosok Nasirun seperti apa. Si bos juga tidak tahu. Akhirnya si Bos menelepon kembali ke rumah Nasirun di Yogya, menanyakan seperti apa sosok Nasirun.
“Rambutnya panjang, kriwel-kriwel, diikat kuncir. Berjanggut, tapi tidak lebat. Kulitnya hitam, tingginya kira-kira 170 cm. Memakai kaos oblong dan celana jins warna hitam. Tidak membawa tas,” demikian sang isteri menjelaskan sosok suaminya.
Berbekal penjelasan itu, anak buah si Bos berkeliaran mencari Nasirun. Mereka hampir putus asa. Sampai akhirnya salah seorang di antara mereka hendak membeli rokok di kios, kebetulan melewati area doger monyet. Ia seperti melihat sosok yang dijelaskan sang isteri melalui si bos. Orang itu pun mendekat.
“Maaf Pak, apa Bapak bernama Nasirun?”
“Ya, saya Nasirun.”
“Apa Bapak pelukis dari Yogya?”
“Ya, saya pelukis dari Yogya.”
“Apa Bapak akan memenuhi undangan dari Bapak Sunardjo.”
“Betul sekali. Kok Mas tahu? apa mas intel?”
“Kalau begitu benar Bapak orang yang saya cari. Mari ikut saya.”
Nasirun ikut saja, tapi dengan perasaan cemas. Tiba-tiba saja terpikir bahwa orang yang menanyainya itu seorang intel. Mungkin karena pikiran Nasirun juga sedang kalut, masih kalut, karena tidak tahu ke mana harus pergi, jadinya ia sedikit curiga terhadap orang yang tahu rencananya.
Nasirun tambah kaget karena ia dijemput oleh rombongan (kira-kira tediri dari lima orang dengan menggunakan dua mobil). Nasirun didudukkan di kursi tengah dengan mobil mewah yang baru pertama kalinya ia tumpangi mobil semewah itu.
“Saya diminta menjemput Bapak oleh Pak Sunardjo. Saya kebingungan mencari Bapak,” kata salah seorang di antara mereka.
Mendengar ucapan itu, resah Nasirun kini reda. Ia tidak sedang diculik, tapi mau dibawa ke alamat yang benar.
Sampai di hotel mewah di Surabaya, Nasirun langsung di antar memasuki kamar hotel untuknya yang telah dipersiapkan. Bengong ia, karena sesampainya di kamar, rasa lapar menghardiknya, dan ia kehabisan rokok. Karena tidak ada rokok di kamar itu, akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari kamar hotel guna mencari makan dan membeli rokok.
“Aku mencari rokok di kios kaki lima, padahal nginap di hotel bintang lima… hahahaha ….,” tutur Nasirun pada suatu malam di tahun 2009.
No comments:
Post a Comment