Tuesday, August 14, 2007

Ihtisar Nyai Ontosoroh

Pertunjukan teater Nyair Ontosoroh kurang greget, dan terasa monoton.


BAHKAN dari jauh pun, wajah angkuh itu terlihat. Kepalanya agak mendongak. Tegap tubuhnya, kasar kata-katanya, lantang suaranya, mencerminkan seorang yang dilanda amarah. Dia memang marah sepenuh dendamnya.
Dan ia berkata, kurang lebih seperti ini, “Seandainya dia Kristen, dia tetaplah pribumi. Tuan telah mencampurkan darah suci Eropa dengan darah kafir pribumi. Tuan telah melakukan dosa darah yang tidak terampuni.”
Si pendendam itu, dialah Ir. Maurits, salah satu tokoh dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Tokoh ini diperankan oleh Hendra Yan dalam pertunjukan teater bertajuk Nyai Ontosoroh di Taman Ismail Marzuki, pada 12 – 14 Agustus 2007 ini. Naskah Nyai Ontosoroh ditulis oleh Faiza Mardzoeki, dan penyutradaraannya dilakukan oleh Wawan Sofwan.
Hendra memerankannya dengan daya pikat. Gerak tubuhnya yang kaku, suaranya yang mengandung geram, cara menunjuk-nunjuk lawan mainnya dengan tongkat, sungguh mencerminkan seorang pendendam yang datang untuk menghardik. Adegan ini, sepanjang pengamatan saya dalam tiga kali menonton Nyai Ontosoroh, menjadi adegan paling memikat, menghibur, sekaligus ikut mengaduk perasaan saya yang terwarisi sikap inferiority complex sebagai warga inlander.
Fragmen ini dalam novel Bumi Manusia, menjadi titik tolak dari konlik yang sesungguhnya, yang musti dihadapi oleh Sanikem yang telah bermetamorfosis menjadi Nyai Ontosoroh. Pram mendeskripsikan, kehadiran Maurist telah mengguncang sendi-sendi kehidupan Ontosoroh.
Syukurlah adegan ini dipanggungkan dengan baik, dan sekali lagi, menurut saya, inilah adegan paling baik. Seandainya 30 adegan yang lainnya, sebelum dan sesudahnya, bisa dimainkan sekualitas adegan itu, maka pertunjukan Nyai Ontosoroh selama tiga jam, akan menjadi tontonan yang memikat.
Novel Bumi Manusia, menurut hemat saya, adalah kisah super melodaramatik. Pram berhasil menguras perasaan pembaca. Bahagia, sedih, marah, lelucon, bahkan murka, tumpah-ruah bergantian. Tetapi ketika menyaksikan pertunjukan Nyai Ontosoroh, yang lebih banyak muncul adalah pertunjukan yang datar, netral, sedangkan untuk beberapa adegan, nampak cenderung menjemukan. Mengapa hal ini terjadi?
Tiada kambing paling hitam yang bisa dipersalahkan selain menunjuk pada kegagalan para aktor dalam berakting. Terutama akting tokoh Minke yang diperankan Temmy Meltanto, dan tokoh Annelies yang dimainkan Madina Wowor, menjadi musabab dari terasa lambannya ini pertunjukan. Juga peran Darsam yang dimainkan oleh aktor yang secara pisik serta suaranya jauh dari citra Darsam dalam novel, ikut merusak imajinasi saya sebagai penonton.
Ada adegan-adegan kunci yang menjadi titik lajunya cerita, misalnya ketika Minke mencium Annelies, atau ketika Annelies tersadar dari tidurnya, dan di hadapannya sudah ada Minke yang dirindukannya, ternyata dimainkan secara datar-datar saja. Saya kira, banyak adegan terasa datar karena para aktor masih bermain secara indikatif, seolah-olah, dan belum menghayati penuh-seluruh kata-perkata, gerakan-pergerakan yang harus mereka mainkan. Saya kira, adegan Maurits mendongakkan kepala adalah contoh dari berhasilnya seorang aktor dalam memerankan keangkuhan. Pada Minke dan Annelies, permainan watak seperti itu sungguh tidak nampak. Seandainya pemeran Minke diganti dengan robot, kemudian suaranya di-dubbing, hasilnya mungkin tidak akan jauh beda.
Melihat pertunjukan Nyai Ontosoroh, tiba-tiba saya ingin ikut membenarkan kritikan para pengamat teater bahwa aktor telah mati. Pernyataan aktor telah mati untuk menunjuk pada dua soal. Pertama, peranan sutradara yang begitu besar, yang menge-drill pemain sedetail-detailnya, sehingga disebutlah teater sutrdara. Kedua, pernyataan itu merujuk pada kualitas akting para aktor terkini yang menurun tajam bila dibandingkan dengan kemampuan aktor terdahulu di seusian pemeran Minke dan Annelies.
Yang di luar dugaan, adalah aktingnya Happy Salma yang memerankan tokoh Nyai Ontosoroh. Ada selentingan tudingan, terutama setelah IKJ memainkan pertunjukan Julius Caesar karya Shakespeare, yang memajang aktris Tamara Bleszinsky pada 1997 lalu, bahwa pesinetron kita tidak bisa bermain teater.
Ke sini dan ke sininya, semakin banyak contoh selebritis bermain teater yang turut memperburuk kualitas pertunjukan. Ternyata Happy bermain tidak dengan dugaan itu. Permainannya cukup memadai untuk memerankan tokoh Ontosoroh. Padahal, Happy mengaku pendatang baru di dunia tetater. Di manakah letak kunci keberhasilan Happy? Yaitu pada kesungguhan, termasuk dalam berlatih (periksa wawancara saya dengan Wan Sofwan di Jurnal Nasional Minggu edisi nomor 29).
Seorang penonton yang rumahnya di Bintaro, berkomentar seperti ini untuk Happy, “Semula saya meragukan Happy Salma. Saya pikir, dia terlalu muda untuk jadi Nyai Ontosoroh. Tapi setelah meyaksikan sendiri pertunjukannya, ternyata anggapan saya salah. Happy bermain dengan kualitas akting yang prima. Tapi ada beberapa peran lain yang saya pikir aktingnya masih perlu dibenahi lagi," katanya, kepada saya.
Saya kira, Happy sudah bermain sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya sebagai aktor yang bertanggung jawab dan percaya pada proses. Kalau pun nampak kekurangan pada akting dia, adalah melapalkan dialog yang cenderung masih mengeja. Tapi penghayatannya sudah mengena. Sedih dan marah, sudah terasa. Juga saya kira, moga disadari oleh Happy, cara dia berjalan masih kaku, masih nampak seperti pengibar sangsaka bendera.
Bukan hanya kualitas akting yang membuat pertunjukan ini kurang daya gugah, tapi juga pada ilustrasi musik dan editing naskah. Ilustrasi musik yang digarap Fahmi Alatas dan kawan-kawan, terdengar seperti nada-nada requiem yang menyodorkan suasana sendu dan murung. Di adegan pembuka, intro, ilustrasi musiknya sudah menghentak, seakan mengabarkan sebuah pertunjukan yang wah dan meriah. Selanjutnya, lantunan musik yang lirih itu turut mendukung suasana pertunjukan jadi muram. Bahkan pada adegan ketegangan seusai Minke mencium Annelies, atau di saat mereka bahagia karena bisa bersama-sama, yang terasa tetap saja kesedihan. Musiklah yang ikut mempersedih suasana itu.
Lalu naskah Nyai Ontosoroh, saya kira telah disadur secara letterleg, sehingga yang terjadi pada penulisan naskah ini sebenarnya bukan menggubah sesuatu yang baru, tetapi lebih merupakan merangkum, menjadi semacam ihtisar novel yang biasa diajarkan guru bahasa dan sastra di sekolah. Kecerdikan dalam memilih fragmen-fragmen penting saja, yang menjadi pertaruhan perangkum novel Bumi Manisuia menjadi Nyai Ontosoroh ini.
Sama sekali tidak ada sesuatu yang misterius, sehingga jalan cerita bisa ditebak. Memang ada usaha dari sutradara untuk membuat alur flash back di beberapa adegan. Tapi sayang sekali, tidak berhasil menolong usaha menghilangkan identifikasi novel ke dalam pertunjukan. Penonton jadinya membanding-bandingkan antara novel dan pertunjukannya, sudah samakah atau belum.
Wan Sofwan sebagai sutradara, dengan waktu latihan kurang dari empat bulan, saya kira sudah berjuang habis-habisan. Ia mengaku kebingungan saat harus meng-casting para pemain. Dengan jujur Wawan mengatakan, tidak hapal karakteristik dan kualitas akting aktor-aktor teater yang tersedia, “Saya bukan orang Jakarta, jadi saya tidak begitu hapal aktor-aktor di Jakarta,” katanya.
Akhirnya, karena aktor yang tersedia sangat terbatas, Sofwan menjatuhkan pilihan casting apa adanya.
“Aktornya kurang, sampai ada yang bermain double. Saya pernah menjagokan si anu atau si ini untuk tokoh itu, tapi dia tidak bisa latihan. Ya sudah, yang ada saja saya pilih,” kata Sofwan.
Memang, sebelumnya akan terlibat beberapa pesinetron dalam pertunjukan ini, namun karena mereka sibuk, akhirnya mundur teratur. Pada sebuah proses produksi teater, empat bulan latihan adalah waktu yang sebentar, sedangkan bagi proses sinetron, empat bulan latihan adalah waktu yang lama. Sedangkan dalam kesenian, proses latihan sangat menentukan hasil. Jika kualitas sintron kita kurang baik, karena memang mereka meremehkan latihan.

5 comments:

  1. Tulisan ini bagus banget. Kritik karya seni yang proporsional. Secara aku juga menontonnya, aku tau penulisnya ga cuma ngarang.

    ReplyDelete
  2. budayawan menulis sebuah karya seni, menurut saya selalu menghadirkan sudut pandang yang lain, ketimbang si awam yang menulis..

    maju terussss...untuk kemajuan karya seni kita..

    salam dari Aceh

    arul

    ReplyDelete
  3. analisis ini sangat tajam. paling tidak, semua hal yang ingin aku kritik tentang teater Nyai Ontosoroh, sudah terangkum semua di sini.

    Aku kecewa sekali dengan pemeran Darsam, Annelies dan Minke. Sepertinya mereka memang benar-benar kekurangan pemain.

    Tapi di luar dugaan, Happy Salma bermain sangat bagus. Dan benar sekali, kalaupun ada kekurangan, hanya pada gerak tubuhnya. tapi kupikir mengibaratkannya seperti paskibraka itu terlalu berlebihan.

    Karena sebenarnya gerakannya seperti perempuan yang sedang datang bulan, dan tembus sampe ke pakaian luar. jadi sudah menahan sakit perut, masih menjaga agar noda darah di pantatnya tidak terlihat penonton.

    analisis ini lebih tajam dan komprehensif dibandingkan yang aku baca di media lain. Good job, bro!

    ReplyDelete
  4. Aku gak bisa komen-komen apa, bro. Soalnya aku gak nonton. Padahal lagi ada di jakarta. Kantong lagi cekak. Maklum, back packer!

    Cukup bangun imajinasi dari teksnya aja deh.

    Hehehe...

    ReplyDelete
  5. Bung Zen, coba datang bareng Nona Okky ke TIM, mungkin bisa nonton tanpa harus bayar... aku juga nonton gratisan, yah ikut nona okky.

    ReplyDelete

tulisan yang nyambung