Saturday, January 26, 2013

Tugas Teaterawan Ikut Memperbaiki Film dan Sinetron

FTJ 2009, sumber foto: vibizdaily.com
Seni teater, film, dan sinetron seakan menjadi tiga dunia yang terpisah-pisah. Padahal sumbernya sama, yaitu seni pemeranan.

MEGAWATI Soekarnoputri ketika menjabat Presiden berujar seperti ini, “dengan merem saja saya bisa tahu film yang sedang ditayangkan itu film India atau film China.”
Komentar Ibu Mega berhenti sampai di situ. Tetapi sebenarnya, apa yang hendak disampaikannya, tidak diucapkan oleh Megawati. Komentar itu disampaikan Presiden seusai menonton film di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta Selatan.

Presiden ingin mengatakan, karya sinematografi kita kehilangan atribut diri, sehingga susah untuk diidentifikasi. Lain dengan film India atau China yang ilustrasi audionya kental dengan warna musik tradisi. Karena itu, sambil memajamkan mata pun, film India atau China masih bisa dikenali.

Pernyataan Megawati itu mengandung isyarat bahwa kualitas sinetron yang mewarnai televisi kita, terutama pada prime time, masuk ke dalam kategori buruk. Sebenarnya bukan hanya seorang Presiden yang memiliki penilaian kurang memuaskan terhadap sinetron kita. Ada banyak masyarakat, seniman, budayawan, bahkan pelaku sinematografi sendiri yang meresahkan dunia sinetron kita.

“Orang-orang film dan sinetron terlalu menggampangkan akting, sehingga yang terjadi adalah pendangkalan estetika. Naskahnya juga, tidak menantang para aktor untuk berakting dengan segala kewajaran, maka yang terjadi adalah seperti apa yang kita saksikan sekarang ini di televisi,” kata Putu Wijaya, sutradara Teater Mandiri.

“Sejak ada sinetron, saya sudah resah. Apa yang ditawarkan sinetron itu kebanyakan tidak berguna. Merusak moral anak-anak muda,” keluh Rusmiati, Kepala Sekolah SD Muhammadiyah III, Pondokcina, Depok.

“Suka ada adegan berantem, pacaran, banyak yang aneh-aneh,” tutur Putri Pradnyaningrum, siswi kelas 2 MTS Negeri 4, Srengseng Sawangan, Jakarta Selatan.
Tapi tentu sinetron atau film kita tidak buruk semua. Terlepas dari persoalan akting atau elemen estetik lainnya, terdapat unsur yang menghibur dan mendidik.
Toh Putri menyukai sinetron berjudul Intan yang menurutnya ada pelajaran yang bisa diambil. Tapi Putri menilai sinetron berjudul Pergaulan Bebas kurang bagus untuk anak-anak seusianya.

Menurut Putu Wijaya, mayoritas orang-orang yang bergulat dalam dunia film dan sinetron di negeri kita ini tidak belajar acting, juga tidak mempelajari dasar-dasar dramaturgi untuk pembuatan naskah atau skenario. Terutama para aktor dan aktris, dengan memiliki tubuh yang bagus dan paras yang rupawan, bisa terjun ke dunia film atau sinetron. Di sini, yang terjadi bukan lagi instanisasi, tapi benar-benar telah melakukan penggampangan terhadap dunia seni peran. Hasilnya tentu saja sebuah tontonan seperti yang marak pada televisikita saat ini.

Dasar-dasar film dan sinetron adalah teater. Bahkan teater adalah ibu dari segala kesenian. Usianya sudah sangat tua. Sedangkan dunia film baru ditemukan manusia belum seabad ini, dan sinetron mulai muncul di Indonesia pada era 70-an, yaitu ketika televisi memasyarakat.

Dulu, para penggiat film kita adalah orang-orang teater. Usmar Ismail yang namanya diabadikan menjadi gedung pusat perfilman, adalah tokoh film yang juga aktivis teater. Di jaman Persatuan Artis Indonesia (Persari), pelaku film umumnya orang-orang yang terlibat dengan dunia teater, atau dasar-dasar mereka berakting untuk film berasal dari teknik bermain teater. Jamaluddin, Raden Mochtar, Soekarno M. Noor, Teguh Karya, Arifin C. Noer, Ninik L Karim, adalah aktor-aktor film yang bersentuhan dengan teater.

“Dulu, orang yang membuat film itu kan orang-orang teater. Namun sekitar tahun 70-an, mulai terjadi pemisahan film dengan teater. Film dianggap sebagai akting yang wajar, dan teater adalah akting yang teatrikal. Tapi sekarang terjadi kesalahan persepsi, bahwa yang dimaksud akting yang wajar itu sama dengan kehidupan sehari-hari, padahal di luar negeri, kewajaran dalam film itu tetaplah kewajaran sebuah akting, sehingga film dari luar itu selalu nampak ekspresif.
Seharusnya teater, film, dan sinetron ditempatkan sebagi dunia yang sama, yaitu dunia kesenian. Tetapi ada kesan itu adalah tiga dunia yang berbeda. Jangan salah, film dan sinetron saja persepsi orang itu sudah berbeda,” kata Putu Wijaya.

Perbedaan itu bukan saja terletak pada akting dan persepsinya. Tetapi juga pada apresiasi terhadap ketiganya. Orang tahu kesejahteraan aktor sinetron dan film itu lumayan bagus, bahkan banyak yang bagus sekali, dan setelah itu mendapat honor karena menjadi bintang iklan. Tetapi kesejahteraan pemain teater itu sangat menghawatirkan. Dalam dunia kesenian, kesejahteraan orang-orang taeter itu menempati kasta paria, kelas paling rendah.

Hanya segelintir aktor yang menempatkan teater, film, dan sinetron adalah dunia peran yang harus digeluti dengan sungguh-sungguh. Banyak orang teater yang mengharamkan kalau harus terlibat dengan film atau sintron karena bisa meruntuhkan idealisme. Sebaliknya, banyak orang yang film atau sinetron yang menganggap tidak berguna berlatih teater, sebab proses akting dalam teater dan film atau sinetron toh berbeda.

Tetapi Rendra yang dikenal sebagai salah satu embah-nya teater di Tanah Air, menganjurkan orang-orang teater harus terlibat dan menyerbu dunia film dan sinetron. “Kalau orang-orang teater merasa lebih baik dari film dan sinetron, dan merasa terpanggil untuk memperbaiki kebudayaan kita, mereka harus terjun ke sana dengan itikad memperbaiki. Saya sendiri pernah main film. Tapi saya merasa tidak sanggup menjadi orang film,” tutur pemimpin Bengkel Teater yang main dalam film Yang Muda yang Bercinta itu, beberapa waktu lalu.

Dalam pada itu, tidak sedikit kritik dilontarkan kepada para taeterawan masa kini, bahwa saat ini teater mandul dalam melahirkan aktor-aktor kaliber sekaliber Teguh Karya, Rendra, Eros Jarot, Arifin C. Noer, Ninik L. Karim, Putu Wijaya, Adi Kurdi, Ratna Riantiarno, dan sederet nama laonnya.

Bahwa di era instan ini, proses bermain teater pun mengalami instanisasi, yaitu penggampangan, sehingga yang lahir adalah aktor-aktor masih mentah. Menyambut Festival Teater Jakarta 2006 (FTJ 06) yang berlangsung pada 07-17 Desember, harian Jurnal Nasional mengingatkan, bahwa tugas teaterawan semakin berat, bukan saja berteater dengan baik, tapi juga turut membenahi kebudayaan melalui dunia film, sinetron, dan televisi yang kualitas tayangannya mennghawatirkan.

Menunggu Naskah Ditulis Sendiri

Bertempat di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jl Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat, Festival Teater Jakarta 2006 (FJT 06) digelar sejak Kamis 7 Desember, dan akan berlangsung hingga 17 Desember 2006.

Inilah festival teater yang cukup tua usianya di Tanah Air. FTJ sudah digelar sejak 1973, sewaktu Wahyu Sihombing, tokoh teater di Tanah Air, menjabat Ketua Komite Teater, Dewan Kesenian Jakarta. “Festival itu dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, diikuti oleh 110 grup teater yang ada di Jakarta,” kata salah satu panitia dalam konprensi pers di TIM, Senin pekan lalu.

Pantas bila FTJ disebut sebagai ruang pembinaan, sebab banyak tokoh-tokoh teater yang lahir melalui ajang tahunan itu. Pada tahun 70-an, FTJ ini benar-benar merangsang gairah untuk berteater. Pada 1980, peserta festival mencapai 142 grup. Tetapi kini, FTJ diikuti oleh 18 grup. Dari sisi kuantitas, jelas telah terjadi penurunan.

Grup yang akan tampil itu adalah Teater Ema, Teater Ras, Teater Ciliwung, Teater Mega-mega, Teater Indonesia, Teater Kolong Langit, Teater Kummis, Teater Kubus, Teater Biru 42, Teater El Na’ma, Teater Komunitas Kaki Lima, Teater Mode, Teater Cermin, Teater Kertas, Teater Semat, Teater SBKMN, Teater Sapu Lidi, Studi Teater 24.

Yang segera ketahuan menjadi satu kelemahan dari FTJ tahun ini, dan tahun-tahun sebelumnya, adalah soal naskah. Dari 18 grup yang tampil, hanya tujuh grup yang membawakan naskah karangan orang Indonesia. Lebih banyak merupakan naskah karya orang asing hasil terjemahan atau saduran.

Padahal posisi naskah pada sebuah teater itu sangatlah penting. Naskah yang baik akan merangsang seorang aktor untuk bermain dengan baik. Untuk sebuah festival yang bersifat pembinaan, sudah seharusnya FTJ juga menyarankan setiap grup yang tampil wajib membawakan naskah sendiri, sehingga grup teater itu dipicu untuk menulis.

Sekalipun sebuah pertunjukan teater yang ditampilkan merupakan eksperimental yang terkadang nir-dialog, tetapi pada peristiwa pertunjukan yang dipersiapkan melalui sebuah latihan, pastilah terdapat konsep dan plot. Konsep dan plot itu bisa ditulis, dan ini sudah bisa menjadi persyaratan untuk festival.

Kelemahan bangsa ini memang terdapat dalam soal menulis. Para leluhur kita jarang mencatat, sehingga banyak metode atau teknik yang tidak bisa diwariskan kepada generani kemudian. Metode atau teknik membuat candi Borobudur misalnya, tidak pernah ditemukan manuskripnya, sebab besar kemungkinan metode dan tekniknya tidak pernah dicatat.

Teater modern kita akan selalu mengekor ke Barat selama kita masih menggunakan naskah-naskah Barat. Sudawah seharusnya para teaterawan kita ‘dipaksa’ menulis, sedari menulis naskah, konsep, resensi atau kritik pertunjukan, serta dasar-dasar bermain teater menurut persipnya.

Tulisan ini pernah dimuat di koran Jurnal Nasional.

Friday, January 25, 2013

Hamlet ala Teater Aristokrat

Teater Aristokrat memainkan lakon Hamlet di TIM. Lumayan menghibur walau masih kurang greget di beberapa adegan.

Naskah karya William Shakespeare bisa menjadi jaminan sebuah pertunjukan teater yang digelar, bakal enak ditonton. Ini hanya sebuah asumsi. Memang, naskah yang bagus, bisa memancing para aktor untuk berperan dengan bagus pula.

Asumsi itu tidak meleset ketika Teater Aristokrat mempertontonkan lakon Hamlet yang merupakan mahakarya penulis drama asal Inggris itu. Pertunjukan Hamlet berlangsung di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada 7 – 9 November 2007 lalu.

Pertunjukan itu berlangsung sekira 345 menit (empat jam kurang seperempat). Ada parameter konvensional untuk menakar sebuah pertunjukan teater dinilai bagus atau tidak, berkenan atau membosankan penonton. Pertunjukan teater yang kurang bagus, biasanya membuat penonton tertidur, dan atau satu per satu meninggalkan gedung pertunjukan. Namun, pertunjukan yang disutradarai Ucok R Siregar itu tidak membuat penonton beranjak dari gedung. Dalam beberapa adegan, terdengar tawa penonton. Ini menjadi indikasi, penonton merespon pertunjukan dengan keterlibatan yang intens.

Sekira dua hari sebelum menonton pertunjukan ini, seorang teman saya berkata, “ngapain nonton Teater Aristokret, permainan mereka kan tidak bagus.” Setelah menonton Hamlet yang mereka bawakan itu, praduga teman saya tidak tepat. Memang, publik teater stakat ini sedang underestimate terhadap kualitas akting para aktor teater. Kualitas akting makin memburuk drastis bila dibandingkan dengan era Arifin C. Noer, Rendra, Suyatna Anirun, Adi Kurdi, Jim Adilimas, Teguh Karya, Putu Wijaya, Riantiarno.

Ada harapan bahwa aktor teater, juga film, akan kembali bertumbuh dengan kualitas yang bisa diandalkan dan benar-benar memikat untuk ditonton. Setidaknya dalam pertunjukan Hamlet, akting Ayez Kassar (pemeran Hamlet), Robinsar H Simanjuntak (Raja Claudius), Epy Kusnandar (Polonius), Ari Kusuma (Ratu Getrude) masih menyajikan akting yang nikmat ditonton. Keempat aktor inilah yang sanggup menjaga irama dari awal hingga akhir, sehingga pertunjukan berjalan stabil. Keempat aktor ini kebetulan menjadi tokoh sentral yang sering muncul.

Tokoh sentral yang juga cukup penting, yaitu Ophelia yang diperankan Rosita memang kurang muncul. Beberapa adegan kunci seperti ketika Ophelia menjadi gila, kurang gereget diperankan oleh Rosita. Ada juga aktor yang melafalkan dialognya terlalu cepat, sehingga suaranya terdengar bergulung-gulung.

Akting paling menghibur adalah yang dimainkan oleh Epy Kusnandar. Banyak-banyaklah ia memerankan adegan-adegan konyol yang humoris. Saya menduga, ada sejumlah akting improvisasi yang dilakukannya untuk menambah daya humor. Improvisasi bukan sesuatu yang haram dalam dunia akting, apalagi sejauh improve itu dilakukan untuk menyelamatkan kecelakaan pentas. Ada sutradara yang mengharamkan improvisasi.
Tetapi untunglah, improvisasi Epy Kusnandar masih terukur, sehingga tidak menciderai pertunjukan teater realis yang membutuhkan kecermatan dan ketepatan.

Pertunjukan Teater Aristokrat memang di luar dugaan saya yang sudah terlanjur ikut-ikutan underestimate. Pertunjukan mereka membuka memori saya pada pertunjukan Julius Caesar, juga lakon gubahan Shakespeare, yang dimainkan Studiklub Teater Bandung (STB) pada 1997. Saat itu, Julius Caesar dimainkan STB dengan sutradara Suyatna Anirun. Naskah Julius Caesar sangat kontekstual dengan kondisi sosial-politik di Tanah Air. Saya merasa terserap oleh jalan cerita yang didedahkan Shakespeare. Konflik batin dalam setiap tokoh, berhasil dibawakan oleh para aktornya, membuat tontonan tiga jam tidak terasa berlalu.

Naskah-nasakah yang digubah Shakespeare, terutama yang bersifat tragedi memang memiliki nilai universal. Meski naskah itu berkisah tentang peradaban manusia berberapa abad yang sudah lewat, namun selalu terasa aktual dan kontekstual sekalipun jaman telah berubah.

Inggris pernah didera krisis di masa Hitler berjaya dan nyaris menduduki Istana Birmingham. Biaya perang cukup besar. Mempertahankan peradaban juga butuh biaya besar. Penguasa Birmingham bertanya kepada anggota parlemen, apakah dana kita yang minim akan digunakan untuk mempertahankan India sebagai daerah koloni atau mempertahankan keharuman Shakespeare. Parlemen memilih Shakespeare. Maka naskah-naskah Shakespeare pun terus digali dan dipromosikan, hingga terkenal ke seluruh penjuru dunia.

Shakespeare (1564 – 1616) adalah dramawan paling populis sepanjang abad. Kehadirannya langsung meruntuhkan dominasi para penulis naskah teater klasik dari Yunani seperti Homers atau Aristophanes. Sebelum bermunculan naskah Shakespeare, para penulis Yunani adalah referensi naskah paling sering dimainkan untuk pertunjukan teater. Lakon-lakon Shakespeare kini belum tertandingi popularitasnya, sehingga menjadi lakon paling banyak dipanggungkan maupun difilmkan.

Pertunjukan Hamlet oleh Teater Aristokrat, nampak sudah berusaha diselenggarakan dengan pendekatan sosio-kultur seperti yang diamanatkan Shakespeare. Seting Eropa dalam lakon Hamlet, berusaha diwujudkan dalam pertunjukan ini. Hal itu terlihat pada artistik panggung, kostum, ilustrasi musik, tarian, dan gesture bangsawan yang semuanya mencitrakan peradaban Eropa di abad pertengahan.

Ilustrasi musik dihadirkan dalam bentuk orkestrasi gitar. Penata musik Amra Reza, mengadirkan lebih dari 10 pemetik gitar klasik. Permainan musik itu sendiri, sudah bisa menjadi konser yang merdu untuk didengarkan.

Dari awal hingga akhir, pertunjukan Hamlet oleh Teater Aristokrat, berhasil menemukan bentuk baku. Ini wajar, toh personel Teater Aristokrat adalah mahasiwa dan dosen yang belajar-mengajar teater di Jurusan Teater, IKJ. Tentulah ada bagian-bagian yang perlu mendapat perhatian dan perbaikan seandainya lakon ini kembali dimainkan, yaitu pada kata-kata atau kalimat-kalimat kunci yang menjadi sumber konflik. Harus selalu disadari, hakikat sebuah drama (naskah teater) terdapat pada konflik yang dijalinnya. Beberapa konflik menjadi kurang tajam dalam pertunjukan ini, karena kurang mendapatkan penegasan melalui pelafalan atau gerak tubuh.

Sebagai misal, pura-pura gilanya Hamlet, kurang diperankan dengan liar oleh Ayez. Hamlet dalam keadaan normal dan gila, belum nampak berbeda secara kontrastif. Kontrastif berperan ini menjadi bagian dari konflik itu sendiri.

Shakespeare adalah rajanya merajut konflik, dan membuat cerita berbingkai yang tetap tanpa kehilangan konflik. Karena itu, untuk para aktor teater yang memang benar-benar ingin menjadi aktor profesional, harus pernah merasakan bermain teater dengan lakon gubahan Shakespeare.


Tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Koktail (sekrang tabloid ini sudah tutup usia).

Republik Miskin Akting

sumber foto: oase.kompas.com
Teater Tetas mengangkat absurditas hidup lewat lakon Republik Anthurium, Sungguh miskin dialog.
Seorang guru honorer yang sudah 10 tahun mengajar dengan setia, dengan gaji kecil tentunya, terpaksa mencuri bunga antorium. Urusan perut memang bisa memantik revolusi. Di kantor polisi ia membikin kejutan.

“Apa pekerjaanmu?” tanya polisi.
“Saya guru honorer,” katanya.
“Hah? Seorang guru mencuri?” polisi keheranan.
“Sudah 10 tahun saya menjadi guru honorer, tapi tak diangkat-angkat jadi PNS. Saya menunggu dan terus menunggu dengan setia. Sekarang saya mengerti, kesetiaan itu ternyata tidak ada artinya,” kurang lebih begitulah guru itu menyampaikan pengakuannya sambil terisak-isak.

Polisi yang memeriksa berpangkat rendah, jujur, dan kerenanya dililit kemiskinan pula. Akhirnya, juga dengan terisak-isak, polisi membenarkan pernyataan sang guru.

“Kau benar, kesetiaan tidak ada artinya,” kata polisi.

Di negeri yang minim jaminan kepastian, kesetiaan adalah jalan untuk melanggengkan kepedihan.

Ketidakadilan dalam pelaksanaan hukum dan praktik ekonomi, menjadi akar masalah yang terus menjalar. Kemiskinan hanyalah satu getah, getah-getah lainnya mewujud dalam bentuk krisis multi-dimensional separti yang sekarang kita saksikan.

Teater Tetas melalui lakon Republik Anthurium mempertontonkan ketidakadilan berikut pernik-pernik dan dampaknya, pada 22 – 23 Januari 2008, di Goethe House, Jakarta Pusat.

Ags Dipayana (kini sudah almarhum) yang menulis naskah, sekaligus menyutradarai pertunjukannya, menampilkan dua wajah kemiskinan di negeri ini. Pertama, wajah murung yang direpresentasikan melalui tokoh guru honorer yang terpaksa mencuri, atau isteri polisi yang terpaksa melacur. Kedua, wajah ceria yang direpresentasikan melalui orang-orang yang dengan mudahnya mengoleksi bunga antorium, padahal harganya jutaan. Selembar daun antorium bisa dihargai ratusan ribu.

Pada kondisi seperti ini, bisa ditarik kongklusi, sebuah sistem telah menyebabkan sejumlah orang tambah miskin, tetapi sambil menyulap sedikit orang tambah kaya.

“Ya ampun, puun keladi dibeli 250 rebu perak. Cuman puun gituan, dasar rezeki,” kata seorang warga Betawi. Beberapa warga Betawi masih menanam pohon keladi di pekarangannya. Ada salah satu jenis antorium yang mirip pohon keladi.

Menurut penulis naskah yang disampaikan lewat press release, lakon Republik Anthurium  merupakan refleksi dari kelangsungan berbangsa dan bernegara yang tatanannya dibangun dengan basis isu. Tatanan politik, budaya, ekonomi, maupun sosial dikendalikan oleh sesuatu yang berada di luar sistem – suatu kekuatan yang tidak tampak – dan perubahan dapat terjadi kapan saja, tanpa terduga sebelumnya. Segala hal menjadi nisbi sifatnya, bahkan juga tata nilai. Pengendali yang tidak nampak itu adalah kekuatan modal, alias kapitalisme.

Kapitalisme tidak buruk seluruhnya, bahkan rasanya sulit menghindari perputaran modal begitu peradaban manusia memasuki era industrialiasasi. Kecuali kembali ke perekonomian barter, mungkin kelemahan kapitalisme bisa sedikit dieliminasi.

Ags Dipayana mengatakan, Republik Anthurium menjadi cermin atas lajunya isu sebagai salah satu penggerak geliat hidup masyarakat. Memang, di tengah kemiskinan, issue atau gossip terasa jadi sedap. Maraknya tayangan infotainment di televisi, merupakan refleksi dari masyarakat yang betah diterlenakan oleh isu dan gosip.

Kisah selembar daun antrorium yang harganya mahal, menjadi pengantar untuk menyampaikan sejumlah absurditas yang kompleks di republik ini. Lakon itu dikemas dalam pertunjukan yang berlangsung sekira 75 menit.

Kompleksitas permasalahan diejawantahkan ke dalam bentuk teater yang kompleks pula. Bentuk teater realis formalinstik untuk panggung prosenium yang kita pinjam dari barat, oleh Ags Dipayana dipadukan dengan gaya lenong, dramatari, dan adegan-adegan absurd yang sulit dimengerti.

Ada adegan-adegan di mana para aktor berdialog layaknya dalam pertunjukan drama. Di adegan lain, muncul akting sampakan ala teater tradisi. Adegan-adegan dialog berselang-seling dengan sesi pertunjukan tari dan gerak-gerak liar para aktor. Beberapa aktor menyampaikan dialog setelah memeragakan gerak silat.
Saya meresepsi adegan-adegan tari dan gerak yang disajikan, tampak lebih eksotis dari adegan-adegan dialog. Keterlibatan koreografer Elly D Lutan dalam pertunjukan Teater Tetas kali ini, memang turut memperindah mobilisasi gerak para aktor. Sementara adegan-adegan dialog yang seharusnya disajikan dengan penghayatan dan wibawa, terlihat kedodoran, sehingga timbul ketimpangan estetik antara gerak dan dialog.

Saya tidak mengerti, mengapa dalam pertunjukan ini, akting marah lebih sering dipresentasikan dengan suara berteriak, sekalipun suara sang aktor nyaris serak. Apakah aktor-aktor terater sudah terkontaminasi oleh formula akting dalam sinetron, di mana adegan marah seringkali diindikasikan dengan suara lantang, sedang adegan sedih dipresentasikan dengan suara lirih diikuti tangis?

Dari sisi gagasan dan mobilisasi gerak, estetika yang disuguhkan Teater Tetas dalam pertunjukan Republik Anthurium, sudah cukup menghibur. Ada tarian yang sedap ditonton. Tata ilustarsi musik yang digarap Nanang HP, terdengar ritmis dan bertenaga, turut memperkuat eskapistik tata gerak para aktor. Gerak yang bagus ini, merupakan hasil letihan sekira enam bulan. Latihan memang kunci kesuksesan.

Yang terasa masih lemah di dalam pertunjukan itu, atau belum menampakkan greget, sekali lagi, terletak pada adegan dialog. Adegan dialog akan terus menjadi tantangan bagi para penulis naskah dan para aktor. Para aktor teater memang harus terus-menerus bersastra, menafsir puisi, memaknai naskah drama, dan melapalkan dialog dengan penghyatan dan wibawa.

Teater Geger Cilegon


Foto Agus Bebeng
Teks Doddi Ahmad Fauji

Pemberontakan petani Banten tahun 1888, diangkat ke dalam pertunjukan oleh Teater Studio Indonesia. Pertunjukan yang membuat bulu kuduk merinding.

Musik etnik Sunda buhun (klasik) mengalun, menandai dimulainya pertunjukan. Perlahan lampu panggung terang, dan terlihatlah kain putih membentang, menutupi seluruh panggung.

Kain itu ditarik perlahan-lahan. Nampaklah kepala beberapa aktor yang tubuhnya terkubur dalam tanah. Juga ada cangkul dan parang yang menancap pada tanah itu. Usai seluruh kain ditarik, mulailah para aktor berakting. Mereka bangkit dari kuburnya, dan berjalan perlahan-lahan layaknya zombie, menuju ke hadapan penonton. Dengan suara yang bergetar, para aktor berujar, “Bicaralah Tanah! Bicaralah cangkul! Bicaralah parang! Bicaralah ladang!”
Foto Iman Nitnet

Pertunjukan ini tidak berlangsung di panggung prosenium gedung pertunjukan. Tapi pada sebuah pekarangan kantor salah satu radio swasta yang ada di Banten. Batas antara penonton dan pemain, ditandai dengan tanah merah dan lumpur basah yang ditaburkan di lantai pekarangan. Di bagian belakang panggung, ada instalasi berupa kerangkeng bambu gelondongan. Para penonton, ada yang duduk di kursi, ada yang duduk lesehan.

Kerangkeng bambu tadi bersifat multi fungsi, sekaligus multi tafsir. Bisa diandaikan sebagai rumah, bukit, atau apapun. Sebagian pertunjukan, berlangsung di kerangkeng bambu ini. Para penabuh musik, ditempatkan di bagian paling atas kerangkeng bambu itu.
Foto Iwan Nitnet

Setelah mengucapkan salam pembuka berupa kalimat  “Bicaralah Tanah! Bicaralah cangkul! Bicaralah parang! Bicaralah ladang!” kini para pemain memasuki suasana ritual. Mereka melaburi tubuhnya dengan lumpur. Muka dan rambutnya juga disapu dengan lumpur, sehingga mereka kini mirip manusia purba yang muncul dari kegelapan. Dengan pakaian compang-camping, mereka menari dan menyanyi. Sambil menenteng parang atau kelewang, mereka berbanjar dan maju perlahan ke depan panggung. Di ujung panggung, parang itu dihunus ke arah penonton, sambil berteriak, “Bicaralah Tanah!”
Foto Iman Nitnet

Seorang penonton, masih bocah balita, menjerit melihat hunusan parang itu, dan lari ke pangkuan ibunya. Perkusi menghentak-hentak, ditalu oleh Rohaendi dan kawan-kawannya, berusaha menghadirkan suasana yang mencekan. Misterius. Seperti tersihir, bulu kuduk saya jadi berdiri.

Itulah sekuel pembuka pertunjukan Bicaralah Tanah (Pemberontakan Petani Banten) yang diusung oleh Teater Studio Indonesia pada 11 – 13 Juli 2007 lalu, di Teater Terbuka Radio Dimensi, Jl. Raya Taktakan No. 12, Kota Serang. Naskah ditulis oleh Nandang Aradea, diangkat dari cerita nyata pemberontakan petani Banten kepada pemerintah kolonial liberal Belanda yang terjadi pada 9 Juli 1888. Pertunjukan sekaligus disutradarai oleh Nandang Aradea.

Kini para aktor berperan sebagai petani. Gemuruh dan amarah, membuncah-buncah di dada mereka. Berlabur lumpur, dengan tampang garang, mereka mendatangi kumpeni (yang diandaikan bermukim di kerangkeng bamu tadi). Seraya mengacung-acungkan parang, para petani berteriak, “Keluar kafir!”
Foto Iman Nitnet

Pemberontakan kemudian berkobar. Perang meletus antara kumpeni versus inlander (kolonialis Belanda melawan pribumi). Darah tumpah. Tubuh rebah.
Foto Argus Firmansyah
Pertunjukan ini berlangsung di Kota Serang yang menjadi Ibukota Provinsi Banten. Daerah Banten, terkenal dengan atraksi debus dan praktik pelbagai ilmu klenik. Nuansa debus itu, disajikan dalam pertunjukan ini.

Mereka yang selalu miris kalau menyaksikan atraski debus, maka menonton pertunjukan teater di Tanah Jawara itu, bisa meringis. Saya sendiri merinding ketika melihat para aktor, menghantam-hantamkan parang dan kelewang ke mata cangkul yang sedang dipanggul oleh rekannya.

Bayangkan seseorang sedang memanggul cangkul. Mata cangkul berada di punggung orang itu. Lalu orang yang ada dibelakangnya, memukuli mata cangkul dengan kelewang atau parang, sementara mereka semua bergerak-gerak menari di atas lumpur. Bila ada pemain yang terpeleset karena lumpur memang becek, bisa saja pukulan parang itu meleset, dan menghantam punggung pemain.

Di adegan lain, seringkali para pemain mengacung-acungkan parang atau kelewang itu ke arah penonton. Saya jadi paranoid. Takut kalau-kalau lengan aktor yang basah oleh lumpur, tidak kokoh saat memegang gagang parang yang licin itu. Bisa saja cengkraman lepas, dan parang terlempar ke arah penonton. Tapi segera saya tersadar, ini pertunjukan berlangsung di Negeri Debus, di mana kekerasan dirayakan sebagai hiburan.

Sekira 100 menit pertunjukan itu menggelinding.
Foto Argus Firmansyah

Menjelang akhir pertunjukan, kaki salah seorang aktor berdarah. Darah beneran. Usai pertunjukan, aktor bernama Budi W Iskandar itu langsung dilarikan ke rumah sakit.

Adanya kecelakaan di atas panggung, bukan mustahil terjadi dalam dunia pertunjukan. Sering saya temui penari yang karena bergerak terlalu atraktif, ia kehilangan keseimbangan, sehingga nyaris terperosok seusai salto. Penyair Hamid Jabbar yang sering membaca puisi dengan tarian atraktif gaya tarian randai Minang, meninggal di podium saat membaca puisi.

Kecelakaan di atas panggung, tentulah tidak diharapkan terjadi. Memang, bukan hanya pita suara yang harus diolah, tubuh juga harus digojlok supaya para aktor memiliki plastisitas tubuh yang bagus. Apalagi konsep pertunjukan yang diusung Nandang Aradea berusaha mengadopsi konsep teater Meyerhold, dramawan dari Rusia yang mencetuskan teater biomekanik.

Melalui buku The art of conscious theater, Meyerhold membayangkan tubuh manusia itu bisa berfungsi seperti mesin yang bekerja tanpa kesalahan. Tapi itu utopia yang gila, sebab mesin saja bisa macet, apalagi tubuh manusia. Maka terjadilah kecelakan seperti yang dialami oleh aktor Budi W Iskandar di malam terakhir pertunjukan.

Pertunjukan Bicaralah Tanah diperankan oleh Farid Ibnu Wahid, Budi W Iskandar, Dian Sucintra, Arip FR, Remaya Simanjuntak, Ina Ayu Agustina, Ade Fitri, dan Iroh Munawaroh. Para aktor yang rata-rata masih mahasiswa itu, belum matang benar untuk bermain dengan konsep Meyerhold.

Bukan hanya kecelakaan yang dialami Budi, yang menjadi indikasi beberapa aktor belum matangan, belum memiliki jam terbang yang tinggi. Pada adegan menari dan menyanyi, yang porsinya mencapai 65% dari durasi pertunjukan, memperlihatkan garapan ini masih harus dipoles keras, diampelas, sehingga menjadi suguhan yang melodius dan ritmis, sebagaimana tarian dan nyanyain purba yang khusyuk, meditatif, dan inspiratif.
Foto Argus Firmansyah

Nandang Aradea, sebagai sutradara, punya bekal untuk menggarap Bicaralah Tanah menjadi lebih memikat. Ia berpengalaman menggarap pertunjukan-pertunjukan beraksen primitif, arkais, lampau, lawas-tilawas. Ia besar di lingkungan pertanian Ciamis. Jadi tubuh masa kecilnya memang akrab dengan lumpur.

Sewaktu kuliah di IKIP Bandung (kini namanya UPI), ia menjadi aktivis teater, dan pernah ikut acting course yang diselenggarakan Studiklub Teater Bandung, yang waktu itu masih dipimpin alm Suyatna Anirun. Tahun 1996, untuk pertamakalinya Nandang menggarap pertunjukan primitif dalam lakon Reportase Ladang-ladang yang naskahnya ditulis Deden Abdul Aziz.

Saya ikut main dalam pertunjukan yang digelar di pekarangan gedung itu. Kebetulan musim penghujan. Jadi, terasa khusyuk bermain teater di bawah siraman gerimis. Lumpur melekat di tubuh. Bergelantungan pada bambu dan tambang yang licin, menjadikan pertunjukan itu sebagai permainan purba. Manusia memang homo ludens (makhluk bermain). Suasana ludens ini yang diulang Nandang pada pertunjukan Perahu (2006) di Universitas Tirtayasa Serang, dan  Bicaralah Tanah.
Foto Iman Nitnet
Sewaktu menjadi guru Bahasa Indonesia di Sekolah Indonesia Moskwa, Rusia, ia juga ternyata mempertontonkan teater yang aktor-aktornya berlabur lumpur. Sekira tiga tahun Nandang bermukim di Rusia, yang semakin mengukuhkannya untuk menggarap teater-teater primitif yang dalam bahasa Meyerhold disebut biomekanik itu.

Lakon Bicaralah Tanah akan dipentaskan lagi pada 3 Agustus 2007 di Pusat Kebudayaan Perancis Bandung, dan 20 Agustus di Pusat Kebudayaan Rusia Jakarta. Seandainya saya berkesempatan lagi menonton, tentu saya berharap petunjukan revans itu akan lebih berkecamuk, dan dapat menggambarkan kedahsyatan pemberontakan petani Banten.

Pemberontakan itu menelan korban ribuan nyawa. Berkobar karena dipicu oleh tiga soal. Pertama, berjangkitnya wabah yang mematikan hewan ternak, terutama kerbau, yang membuat hasil pertanian di Banten jadi jore (jelek). Kedua, pada 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau yang berdiri anggun di Selat Sunda, meletus dengan menewaskan puluhan ribu jiwa, membuat pertanian di Banten benar-benar paceklik.
Foto Iwan Nitnet

Ketiga, di tengah kondisi petani yang semakin pailit, sumbu amarah mereka seperti disulut oleh pengutipan pajak yang tidak bijak. Pemerintah kolonialis liberal Hindia Belanda yang bangkrut setelah Perang Jawa (Diponegoro, 1825 – 1830) dan Perang Padri (Imam Bonjol, 1821 – 1837), memang mengutip pajak yang tinggi. Bahkan Gubernur Jenderal Van den Bosch menerapakan konsep cultuur stelsel (tanam paksa), di mana Belanda setiap tahunnya mengeruk kekayaan Nunsatara mencapai 2.5 juta Gulden.
Foto Iwan Nitnet

Memang cultuur stelsel dihapuskan pada 1870, namun pengutipan pajak terus berlanjut, dan tidak mengenal kondisi, termasuk di Banten yang sedang morat-marit.
Semenjak runtuhnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan yang sebagian besar dipimpin oleh tokoh-tokoh agama. Seperti, pemberontakan di Pandeglang pada 1811 yang dipimpin Mas Jakaria. Lalu peristiwa Cikande Udik pada 1845, pemberontakan Wakhia pada 1850, peristiwa Usup pada 1851, peristiwa Pungut pada 1862, kasus Kolelet pada 1866, kasus Jayakusuma pada 1868, dan yang paling populer adalah Geger Cilegon yang dipimpin oleh Ki Wasid.

Geger Cilegon terjadi pada 9 Juli 1888. Tragedi ini pernah ditulis dengan bernas oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo, dan dibukukan dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 (Pustaka Jaya, 1984). Pemberontakan memang berlangsung di daerah Cilegon. Karena itu, tragedi ini dikenal dengan Geger Cilegon.

Sebelum menulis naskah, Nandang Aradea, mengadakan penelitian selama lima bulan, bekerja sama dengan Konsorsium Pembaharu Banten.
Foto Iwan Nitnet

Sebagai catatan penting, lakon dalam pertunjukan ini semestinya banyak mengutip diksi atau simbol-simbol Geger Cilegon. Bahkan selama pertunjukan berlangsung, saya tidak mendengar diksi populer yang sering diucapkan para kumpeni, yang membikin leluhur kita jadi minder: inlander!

Foto Agus Bebeng

*** Tulisan ini pernah diterbitkan di almarhum Tabloid Koktail (tabloid seni budaya dan folklore yang diterbitkan oleh grup Jurnal Nasional)

Indonesia Mencari Bakat II

Enam finalis yang tersisa pada IMB II memperlihatkan keragaman bakat-bakat yang digeluti para kontestan. Pada IMB I, ada pesulap cilik yang menarik perhatian. Pada IMB II, tidak ada pesulap, namun ada beberapa penari potensial dan sangat berbakat dengan umur yang masih belia berhasil masuk hingga enam besar. Pada IMB II, ada peserta volt dance dan pelukis pasir yang memberi warna lain, ini bagus sekali untuk demokrasi kontes bakat dalam seni entertainment.

X Factor Indonesia: Merayakan Keragaman

Kompetisi seni tarik suara X Factor yang telah usai melakukan audisi, coba memperlihatkan keragaman peserta, terutama untuk kategori di atas usia 24. Hadirnya para kontestan berusia di atas 50-an tahun yang lolos audisi, menjadi katalisator keragaman itu. Ini suatu yang bagus untuk demokrasi kesenian, di mana seni tarik suara yang bersifat entertainment, tidak hanya didominasi oleh para selebritis yang secara tampang, menarik untuk disimak.

Akan lebih menarik bila pada X Factor Indonesia juga bisa mendatangkan peserta dari keragaman jenis musik yang digeluti, misalnya musik tradisi Nusantara maupun musik tradisi dari negara lain macam China, India, Arab, Eropa, dan lain-lain. X Faxtor belum berhasil menggaet vokalis dari musik pentatonis. Dengan kata lain, masih didominasi oleh musik diatonis yang mengedepankan lagu berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Perlu diumumkan secara terbuka bahwa ada suatu ajang kompetisi seni musik yang terbuka untuk semua jenis musik, dan dari berbagai bahasa, untuk menyatakan bahwa seni musik itu universal dan sangat kaya corak.

Saturday, January 19, 2013

Alasan Menonton Film Ainun Habibie

Tokoh Habibie yang alhamdulillah hingga pertengahan Januari ini masih sehat, telah menjadi ikon dan babon promosi yang ril untuk mengantarkan kesuksesan film Habibie - Ainun yang hingga tulisan ini dibuat, telah memecahkan rekor perolehan penonton film di bioskop Indonesia sepanjang masa. Habibie yang jenius dan dapat merancang pesawat terbang, yang mantan Presiden RI itu, adalah pesona yang sangat menyihir. Berjuta orang tua tentu mendambakan punya anak yang otaknya semoncer otak Habibie. Ketika ketokohan "Sang Peominent" itu difilmkan, banyak orang yang ingin tahu, seperti apa karakter dan prilaku sang jenial itu? Dan aku aku pun menonton dengan alasan serupa itu.

Tentu berbeda-beda motif orang ingin menonton film Habibie - Ainun (HA) ini. Ada banyak alasan. Namun alasan-alasan yang banyak itu bisa dirangkum atau dikategorikan ke dalam beberapa rumpun. Tanpa bermaksud memerinci dengan pointer, alasan-alasan itu dapat dipaparkan satu per satu. Ketokohan Habibie sebagai orang yang jenius, yang juga mantan Presiden, telah menjadi bahan promosi tersendiri. Keterkenalan tokoh Habibie di berbagai lapisan masyrakat, dengan sendirinya ikut mempermudah promosi film HA. Orang yang hebat itu juga ternyata memiliki kisah cinta yang romantis, yang membuat orang-orang ingin tahu seperti apa romantikanya itu.

Promosi juga berhasil disampaikan dari mulut ke mulut, sehingga film HA makin melahirkan penasaran masyarakat. Fakta menunjukkan, film ini semakin banyak penontonnya justru setekah tayang lebih dari seminggu di bioskop. Artinya, promosi memang ikut diperluas oleh orang-orang yang sudah menonton.

Monday, January 14, 2013

Aviliani: Kredit Investasi sedang Menurun

DUNIA perbankan menjadi salah satu institusi yang lumpuh saat krisis mendera mulai pertengahan September 1997 yang lalu. Beberapa bank langsung bangkrut. Pemerintah turun tangan dengan mendirikan lembaga Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas menyelamatkan perbankan. Dana triliunan dikucurkan. Tapi hingga kini, lumpuh perbankan belumlah pulih.

Beberapa perbankan malah masih tertatih-tatih dan belum bisa fokus dalam membidik segmen. Sekarang, ada kecenderungan perbankan ramai-ramai mengucurkan kredit kepada masyarakat untuk membiaya kebutuhan konsumtif, seperti pengadaan kendaraan.
Di tengah kondisi yang masih prihatin, di mana jumlah penduduk miskin masih meruyak, seharsnya masyarakat bisa lebih hemat, dan perbankan harus menyokong gerakan ini. Tapi mengapa perbankan seolah menuntun masyarakat agar makin konsumtif.

Pengamat perbankan Aviliani menjawab hal itu melalui wawancara tertulis beberapa waktu lalu. Berikut petikannya.

Berdasar pengamatan Anda, bagaimana kondisi perbankan kita saat ini?
Bank termasuk industri yang high regulated, sehingga setiap saat operasional bank harus atau wajib mengikuti kebijakan dengan cepat. Kondisi bank saat ini memang secara industri menunjukkan kinerja yang membaik, karena laba yang dicapai meningkat, target kredit 18-20 persen. Hanya saja, memang sebagai lembaga intermediasi belum dapat menjalankan tugasnya dengan baik kalau diukur dari LDR (Loan to Deposit Ratio). Hal ini, karena kondisi sektor riil kita (Indonesia) belum pulih seperti sebelum krisis, sehingga perusahaan besar jumlahnya semakin menurun, dan belum menggunakan kapasitas produksi secara optimal, akibatnya, kredit investasinya rendah.

Kredit di sektor UMKM berjalan sangat baik, bahkan semua bank membidik UMKM, hanya saja jumlah UMKM banyak, namun jumlah pinjamannya (kreditnya) relatif kecil-kecil, sehingga permintaan kredit memang lebih rendah dari dana masyarakat yang terhimpun (dana pihak ketiga). Selain itu, BOPO bank sangat tinggi, karena persaingan ketat antarbank yang akibatnya harus mengeluarkan dana promosi yang besar, dan bersaing menurunkan bunga agar memperoleh nasabah. Selain itu, berbagai peraturan BI yang juga berdampak pada kinerja bank-bank.

Mengapa banyak kredit yang dikucurkan perbankan tidak tepat sasaran, misalnya BRI, mengapa ikut-ikutan di infrastuktur yang beresiko, dan tidak konsisten mendanai UMKM?
Pada dasarnya bank tidak bersifat universal, sehingga melihat pasar dari kredit arahnya ke mana, namun apabila ditanya tentang BRI sebenarnya masih terkonsentrasi pada UMKM. Hal ini tercermin dari rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) setiap tahunnya 85 persen masih pada UMKM. Hanya saja, BRI ikut dalam infrastruktur atau kredit lainnya yang besar (korporasi), hanya mempunyai porsi 15 persen dari total kredit, jadi tidak benar bila dikatakan BRI tidak tepat sasaran.

Juga mengapa BNI ikut-ikutan dalam infrastruktur?
BNI memang dari dulu mengarah pada kredit korporasi. Akan tetapi, saat ini hampir semua bank baik BUMN, swasta, maupun asing mulai mengarah pada kredit UMKM dan juga kredit konsumsi.

Mengapa usaha kecil dan menengah cenderung jalan di tempat, apa karena usaha ini tidak mendatangkan profit yang berlipat, padahal jelas-jelas tahan krisis?
Pada umumnya usaha kecil mikro apabila mereka survive itu sudah mereka anggap berhasil, sehingga mereka enggan untuk melakukan ekspansi. Berbeda dengan perusahaan menengah besar, karena kemampuan manajemennya lebih profesional, maka terus-menerus melakukan ekspansi, baik vertikal maupun horizontal. Sebenarnya, mereka bisa lakukan, karena banyak lembaga, baik lembaga donor asing, maupun dalam negeri yang memberi technical assistent kepada mereka. Tetapi mereka sulit untuk mau berubah. Kalaupun ada, relatif sangat sedikit. Mungkin perlu ada pola kemitraan dengan perusahaan besar, agar usahanya dapat berkesinambungan, atau pemerintah membuat trading house yang mampu menjual barang hasil usaha kecil mikro, serta memberi pengawasan kualitas barang agar dapat diterima oleh negara pengimpor, sehingga ada kemungkinan mereka mau ekspansi.

Akhirnya, bisa disimpulkan, mengapa bank tidak fokus dalam mengucurkan kredit?
Bank bukannya tidak mau fokus, tetapi bank harus mencapai target. Untuk itu, tentu saja dalam implementasinya tergantung kondisi permintaan kredit di pasar, dan tentu saja diperhitungkan tingkat risiko dari setiap sektor. Oleh karena itu, bila fokus pada sektor tertentu, nama investasi dalam satu keranjag sangat berisiko. Juga, tidak ada kewajiban bank harus fokus pada sektor tertentu, atau pada pelaku usaha tertentu. Hanya saja, memang yang perlu diperbaiki di perbankan adalah keahlian dari tenaga marketing dan analis kreditnya, agar mempunyai kemampuan dalam sektor-sektor yang akan didanai, sehingga dapat mengurangi risiko kredit di masa mendatang

Kenapa pula perbankan cenderung lebih mudah mengucurkan kredit untuk pembiayaan konsumtif?
Bank mengucurkan kredit ke sektor konsumtif, karena dana pihak ketiga cukup besar. Di satu sisi, kredit investasi memang sedang menurun, terutama kredit dari korporasi. Akibatnya, bank sebagai perusahaan yang harus memperoleh keuntungan, mencari penyaluran kredit lain. Nah, salah satunya kredit konsumtif yang pasarnya masih besar, dan keuntungan yang diperoleh bank sangat besar, karena kredit konsumtif bunga rata-rata pertahun 36-45 persen, walaupun suku bunga SBI turun, namun bunga dari kartu kredit (kredit konsumsi) masih tinggi, dari sisi risiko, juga tidak terlalu tinggi. Kredit konsumsi lain yang masih banyak pasarnya adalah kredit kendaraan, dan kredit KPR maupun KPA.

Bagaimana awal keterlibatan Anda dengan dunia perbankan, dan mengapa memutuskan untuk terlibat dalam dunia perbankan, sebagai pengamat maupun praktisi?
Pada awal karier saya menjadi dosen di STIE Perbanas, yaitu perguruan tinggi yang dikelola oleh bank-bank swasta nasional, dalam keseharian tentu saja banyak mahasiswa bimbingan yang mengambil skripsi di bidang perbankan, selain itu, pergaulan juga lebih banyak dengan banker, karena pengelola yayasannya adalah banker yang sering mengadakan kegiatan terkait dengan perbankan, dan dosen terlibat.
Keterlibatan saya di INDEF sejak tahun 1997, pun diawali dengan kajian di sektor keuangan dan perbankan, sehingga sering berhubungan dengan BI, perbankan, pasar modal dll. sejak itu, saya tertarik ke sektor perbankan sebagai pengamat.
Akan tetapi, terjun ke dunia perbankan sebagai komisaris, kemungkinan oleh kementerian di fit and proper sebagai komisaris independen bank, karena memang sebagian besar komisaris independen dari kalangan akademisi, ada juga pengamat, yang kebetulan saya sering menulis dan menyampaikan materi seminar terkait dengan masalah-masalah di bidang perbankan.

Keasyikan apa yang Anda temukan di dunia perbankan?
Kalau ditanya soal keasyikan, mungkin saya lebih melihat bahwa sebagai dosen (akademisi) yang harus mengajarkan kepada mahasiswa tentang suatu ilmu, seharusnya bukan hanya terpaku pada text book, tetapi dosen harus mampu memberikan contoh-contoh konkret di lapangan, sehingga dengan masuk sebagai praktisi, banyak yang bisa disampaikan kepada mahasiswa agar mahasiswa pun dapat mempunyai gambaran yang terjadi di lapangan.

Selain itu, sebagai pengamat juga diperlukan menjadi praktisi, agar dapat mengetahui kondisi sebenarnya di bank, baik secara industri maupun perusahaan, sehingga pengamat tidak hanya mengkritik, tetapi juga dapat memahaminya karena berpera pula sebagai pelaku. Hal ini juga, paling tidak, membuat perubahan dalam diri saya dalam menulis, tidak saja mengeritik, tetapi juga memberikan solusi yang lebih implementatif.

Hal lain yang menarik adalah, pada tataran praktisi ternyata tidak bisa semuanya dijalankan secara idealis sesuai teori-teori. Banyak dinamika lingkungan yang mempengaruhi persaingan di dalam perusahaan yang menuntut perubahan berbagai kebijakan dengan cepat. Hal ini membawa saya untuk cepat beradaptasi. Selain itu, kalau selama ini hanya melihat dari luar saja, sekarang justru mendalami pula dari sisi mikro perusahaan. Belajar banyak tentang berorganisasi, baik antar kelompok kerja maupun individu-individu.

Omong-omong, hobi Anda apa?
Travelling, dengar musik, mengisi acara di berbagai radio.

Kesenian, misalnya sastra, musik, atau melukis?
Musik hanya suka mendengarkan saja terutama musik klasik spt Mozard, el Divo. Baca puisi sekali-sekali, termasuk waktu diundang Jurnal Nasional pada hari ulang tahun yang I saya ikut baca puisi.

Nama : Aviliani
Panggilan : Avi
Lahir : Malang,14 Desember 1961
Pendidikan : S1 FE Unika Atmajaya
S2 FISIP Universitas Indonesia
S3 DMB-IPB-Bogor (on Going)
Kerja : - Komisaris Independen PT BRI, tbk
- Peneliti Indef.

Sunday, January 13, 2013

Leburnya Tan Deseng

Foto: Dokumen Pribadi Tan Deseng
Teks DAF

Wajah dan wangsanya memang totok China. Tetapi kacapi dan suling seolah telah menyulap Tan Deseng menjadi orang Sunda pituin (asli).



Sebuah SMS dimuat di rubrik Halo Kang Dada, koran Tribun Jawa Barat pada 20 Juni 2007 lalu:

“Kang Dada, saya memang tak tinggal di Kota Bandung & bukan orang Sunda, tapi saya suka kesenian Sunda. Melihat tokoh budaya Sunda yang kebetulan keturunan Tionghoa itu, Bapak Tan Deseng yang rumahnya saja masih ngontrak, apakah Pemkot tidak memikirkan beliau? Harusnya masyarakat Sunda berterimakasih dengan dedikasi Pak Tan Deseng.”

Kang Dada ialah Dada Rosada, Walikota Bandung. Menurut si pengirim SMS, Kang Dada sebagai representatif masyarakat Sunda, harus memikirkan rumah bagi Deseng, sebagai ungkapan terimakasih atas jasa dan dedikasinya dalam mengembangkan seni-budaya Sunda, terkhusus karawitan buhun ala Cianjuran.

Sekalipun sudah diterakan sekilas identitasnya pada SMS di atas, barangkali bagi Anda nama Deseng tetaplah samar. Kurang karib. Tapi mungkin Anda mengenal satu orang atau lebih nama-nama ini: Remy Sylado, Dian Pisesa, Gilang Ramadhan, Indra Lesmana, Pra B Dharma, Teti Kadi, Euis Darliah, Jajat Paramor, Hety Koesendang, Harry Rusli (alm), Sam Bimbo, Ireng Maulana, Kiboud Maulana, Oelle Pattyselano, Victor Rompas, Bujana, Joko, Coni Constantia, Tri Utami.

Nama-nama yang dibanjarkan itu, setidaknya pernah bertautan dengan Deseng pada sebuah kolaborasi musik. Terkhusus Dian Pisesa dan Remy Sylado, relasi yang terjalin dengan Deseng lebih intim lagi. Dian dididik Deseng sedari nol, hingga menjadi vokalis bertaraf nasional. Sedangkan korespondensi Remy dan Deseng bersifat resiprokal.

Foto: Daf
Kata almarhum Henry Guntur Tarigan, dosen kuliah Membaca Universitas Pendidikan Indonesia, hubungan antara guru dan murid selaiknya bersifat resiprokal: Guru yang murid dan murid yang guru. Titah ini mengisyaratkan, bahwa tak ada guru yang sempurna. Nobodys perfect in the world. Di satuan waktu yang sama, guru sehendaknya sekaligus belajar kepada murid.


Demikianlah, sejak 1979 Deseng belajar kepada Remy soal filsafat estetika dan wawasan berkesenian, sedang Remy belajar pelbagai instrumen musik dan memetik gitar dari Deseng. Remy dan Deseng sudah seperti bersaudara. Remy sangat mengenal Deseng secara komprehensif.

Saya sendiri tidak mengenal Deseng. Hanya pernah membaca namanya di media massa, yang sering disebut-sebut sebagai “Lebih Sunda dari orang Sunda”, “Pendekar karawitan Sunda”, “Orang China yang Nyunda”, dan sederet identitas lainnya. Saya tidak tahu persis apakah pernah bertemu atau melihat wajah Deseng secara langsung.


Sampai akhirnya saya membuat janji untuk berbincang-bincang di rumahnya, di Jl Babakan Jeruk II No 16, kawasan Terusan Pasteur, Bandung. Sekira pukul dua siang kami akan bertemu. Sabtu siang itu (30/6), hari nampak cerah, dan udara terasa gerah. Setelah pemanasan global, Bandung memang tidak sesejuk dulu lagi.

***

SELEPAS Dzuhur, Bandung jadi mendung. Hujan turun lumayan deras. Terdengar petir mengguntur-guntur. Reda sejeda. Kemudian gerimis menitis ritmis. Saya tembus gerimis dengan payung. Lalu naik angkutan kota menuju rumah Tan Deseng. Gerimis yang ritmis mendatangkan suasana ganda: sendu dan syahdu.


“Cuaca teh mani jiga nu ceurik. Sararedih kieu nya (Cuaca seperti sedang menangis. Terasa begini sedih),” kata sopir angkutan kota kepada kernetnya.


Sudah tiga hari hujan mengguyur Bandung selepas Dzuhur. Saya teringat semasa kecil di Bandung, tahun 80-an. Bila musim penghujan, matahari biasanya baru lingsir menjelang sepenggalah, bahkan bisa seharian absen, karena sebentar-sebentar hujan turun, atau sekedar rintik-rintik.


Di tengah hujan yang mulai mereda saya tiba di rumah Deseng. Pintu rumah terbuka. Di tengah ruangan tamu tampak seorang lelaki bertubuh cengkar mengenakan sarung dan kemeja putih. Ia sedang menelepon. Dialah Tan Deseng, lelaki yang saya cari. Senyumnya terkembang, menyambut saya yang berdiri di depan pintu.

“Silahkan masuk,” kata Deseng.

Saya membuka percakapan. Bukan untuk basa-basi. Saya kenal Deseng melalui banyak tulisan mengenai kesenian Sunda. Sebelum bincang-bincang lebih mendalam, saya meminta Deseng bermusik supaya pernyataannya jadi tambah afdol. Ia mengambil salah satu gitar yang terpajang di ruang tamu. Ada dua gitar di ruang tamu itu, merk Yamaha jenis string. Permainan musiknya mengingatkan saya pada Kitaro dan Gypsy Kings, menyatakan kekagumannya pada gitar dan kacapi Sunda. Di tangan Deseng gitar jadi multiguna.

Ia bisa memainkan pelbagai jenis musik dan tangga nada, baik yang diatonis (7 tangga nada modernis), maupun yang pentatonis (5 tangga nada tradisionalis). Kami terlibat perbicangan soal tembang sunda lawas, dan Deseng menembangkan salah satu mamaos, saya semakin yakin, musik Sunda itu bernada sendu, syahdu, mellow. Watak alam Sunda memang telah ikut membentuk karakter musiknya.

Ia memetik gitar itu, memainkan irama kacapi. Setelah petikan intro, Deseng menembangkan mamaos jenis madenda yang bernada sorog (salah satu jenis musik Sunda), yang liriknya seperti ini:

Udan Mas

kukupu tilu kulawu
harimumu hideung deui
cat mancat ka bale pulang
ngait mayang ku kareumbi
badoang manuk badoang
eunteup dina paku haji


jung nangtung asa lalanjung
gek diuk asa tiguling
leumpang asa ngalongkewang
pipikiran selang seling
sukma na manglayang-layang
tayoh aya nu di lingling

Tiga kupu-kupu warna kelabu
Harimumu (kenangan) hitam kembali
Manjat dan pulang ke bale
Mengait mayang dengan kareumbi (pohon)
Badoang burung badoang (burung gelatik)
Hinggap pada paku haji

Berdiri serasa pusing kepala
Duduk serasa jatuh
Berjalan serasa goyah
Pikiran silang sengkarut
Sukma melayang-layang
Alih-alih ada yang dicari

Petikan gitar dengan irama kacapi itu, berikut lirik-liriknya, terdengar oleh pengupingan saya, seperti suara masa lalu yang memutar ulang kenangan, yang memanggil-manggil hati ini untuk kembali. Ya, kembali ke alam yang masih eksotis, harmonis, alam Pasundan.


Tatar Sunda atau biasa juga disebut Pasundan, atau Priangan (Parahyangan), yang menawan dengan penduduknya yang mengulur senyum, yang kata antropolog Belanda MAW Brouwer pasti diciptakan Tuhan sambil tersenyum, memang selalu mendatangkan perasaan estetik, takjub. Ketakjuban pada alam yang menawan itulah yang membuat musik-musik tradisi Sunda selalu menggelontorkan rasa sumringah dan damai. Alasan itu pula yang membuat Deseng, sekalipun beretnis Tionghoa, jatuh cinta pada musik Sunda.


Dalam bahasa yang hiperbolis, orang Sunda seringkali bernarsis ria mengatakan, musik Sunda itu ibarat ngagerean hate, ngagupayan sukma (menggelitik hati, memanggil-manggil sukma).

“Dengan gitar ini, bisa saya mainkan irama kacapi. Saya tidak mengubah steman gitar. Tetap dengan nada diatonis standar internasional. Artinya, inohong dan seniman Sunda jaman dulu, sudah berusaha menciptakan kacapi dengan nilai seuniversal mungkin, hingga bisa dimainkan dengan gitar ini,” kata Deseng.


Ia berlalu ke kamarnya. Keluar lagi dengan membawa pick (alat untuk memetik gitar). Duduk kembali di sofanya, mukanya tercenung, lalu mengumandangkan seni tradisi bangsa-bangsa: India, Arab, Afro Amerika, Jazz, Blues, Jepang, China, Spanyol, komposisi Romance de Amor, de Alhamra. Bahkan, nada azan dan mengaji Quran, ia demonstrasikan di hadapan saya.


Usai berdemonstrasi, saya bertepuk tangan. Ia terseyum, kemudian menyalakan kembali rokoknya yang padam di asbak. Asap mengepul. Ia menghisap dua merek rokok, kretek Jarum Coklat dan Marlboro merah.


“Enggak pengajian, enggak azan, dalam keadaan tertentu suaranya sangat sakral. Kita harus memainkan musik dengan rasa hormat, supaya timbul perasaan yang indah,” katanya.
Setelah melihat demo itu, dalam hati saya berujar, si empunya mata sipit ini, yang berperawakan tipis, berambut sebahu, sudah selaiknya menerima penghargaan Piala Metronome dari Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) pada 23 Maret 2007 lalu.


PAPPRI yang diketuai Darma Oratmangun, tahun 2007 ini memberikan penghargaan Piala Metronome kepada Idris Sardi (violis legendaris Indonesia), almarhum Denny Sabri (pemandu bakat musik legendaris), Tan Deseng (pengembang seni musik sunda), Nortier Simanungkalit (bapak paduan suara Indonesia), alm Benyamin Suaeb (musisi Betawi legendaris).


Diberikan sejak 2004 lewat acara Nugraha Bhakti Musik Indonesia , Piala Metronome telah dianugrahkan kepada 25 musisi. Metronome adalah alat ukur untuk menguji ketepatan, akurasi, dan konsistensi seorang musisi. Penghargaan itu sekaligus mendakukan Daseng sebagai seniman yang piawai di dalam bermusik. Ia memang dikenal mahir dalam penguasaan teknik permainan alat musik Sunda dan hafal benar bagaimana mentransfer nada diatonis ke pentatonis.

Ada tiga jenis nada musik Sunda, demikian Daseng, yaitu pelog, salendro, dan sorog. Jika hendak malantunkan nada pelog dengan gitar, maka pemusik harus berangkat dari kunci F. Jika memainkan nada salendro, harus bertolak dari kuci D Mayor6 atau D Mayor9. Sedang jika ingin bersenandung dalam nada sorog atau dikenal juga dengan madenda, pemusik harus mengambil nada D minor atau E minor.

“Untuk musik Jawa, juga nyaris sama. Tapi terdapat perbedaan pada bunyi pelog Sunda dan pelog Jawa. Jika Sunda bermain di kunci F, pelog Jawa lebih cocok bermain di kuci Bes, ” kata Daseng

Deseng menghisap lagi rokoknya dalam-dalam dan melepaskan asap dari mulutnya dalam satu hembusan.

“Tinggal kita stel senarnya, bisa kita mainkan berbagai bunyi alat gamelan. Sebaliknya, kacapi ini juga bisa digunakan untuk memainkan suara gitar. Kalau kacapi Jawa, hanya berfungsi sebagai pengiring, jadi tidak bisa memainkan berbagai instrumen musik,” katanya, meyakinkan saya.

Jalan hidup Daseng penuh liku. Pada usia 65 tahun, saat sebagian orangtua lain menikmati masa senja di rumah sendiri, Daseng masih mengontrak. Belum punya rumah. Namun demikian ia mengaku bahagia dan tetap memiliki kebebasan berekspresi.


Rumah kontrakan itu sudah ia mukimi bersama keluarganya sejak awal 2006 atas pembiayaan pengurus Padepokan Pasundan Asih, sebuah grup musik yang Deseng turut dirikan pada Agustus 2002 lalu. Rumah itu cukup besar. Bahkan ada studio untuk latihan sekaligus rekaman. Studio ini namanya Bhatara Studio & Record yang sudah dirintis Deseng sejak akhir tahun 60-an.


“Saya bersyukur, walaupun rumah kontrakan, ya ini juga dikontrakan oleh Pasundan Asih, tapi di sini ada ruangan untuk latihan. Dulu mah, waktu masih di Karasak, kalau mau latihan itu harus di jalan, harus minta izin dulu sama tetangga. Baru malam-malam bisa latihannya juga. Sekarang di sini ada studio untuk latihan,” demikian ia mengungkapkan kebahagiannya.


Deseng dan keluarga memang bisa disebut burung rantau yang terus bermigrasi. Sejak tahun 1990-an saja, Deseng sudah berkali-kali pindah kontrakan. Pertengahan 1991, ia terpaksa hengkang ke Jakarta, karena rumah kontrakannya di Bandung harus dikosongkan, padahal belum jatuh tempo. Si pemilik rumah begitu kasarnya menyuruh Deseng angkat kaki. Malam itu juga ia beres-beres.


Sampai malam, beres-beres belum juga beres. Namun kebetulan, malam itu datang cukong Gadjah Mada Record. Si cukong bertanya, “mau pindah ke mana?”


“Belum tahu, pokoknya disuruh keluar dari rumah ini, ya keluar,” jawab Deseng.
Cukong itu menawarkan Deseng ke Jakarta. “Langsung angkut saja ke Jakarta. Owe punya rumah kosong.”


Deseng pun migrasi ke Jakarta, dan bekerja sebagai Direktur Artistik di perusahaan itu, di kawasan Cipayung, Jakarta Timur. Di Jakarta, ternyata Deseng tidak bisa berlama-lama. Tanah Pasundan berikut lengkingan serulingnya, seakan memaksanya kembali ke Bandung.

Ia kemudian tinggal di Jl. Murni I Nomor 39. Dari Murni, pindah ke daerah Muara, lalu ke Malabar. Kemudian pindah ke daerah Karasak, Jl Mohammad Toha, Bandung Selatan. Semuanya kontrakan.


Akan halnya kebebasan berekspresi, setelah bergulir era reformasi, di mana etnis Tionghoa boleh merayakan kembali kebudayaannya, bagaimana pun Deseng bahagia karena jadi leluasa untuk pentas. Sebelum reformasi, wajah Deseng yang Tionghoa itu, membuatnya kerap dicurigai sebagai seniman Sunda palsu. Karena itu, ia kurang memiliki kesempatan untuk pentas. Padahal, bisa manggung itu artinya dapur tetap mengepul.


“Terkadang saya sakit hati, suka dianggap seniman Sunda palsu. Sehingga kesempatan saya untuk pentas, jadi sulit,” kenangnya sambil menabur senyum simpul.


Deseng kini bisa pentas di berbagai tempat. Malah belakangan Deseng bisa beberapa kali pentas ke manca negara. Tahun 1997 misalnya, ia tampil di Malaysia. Lalu tahun 2003 tampil di Sanghai, Nanking, Beijing. Tahun berikutnya tampil di Kun Ming (Yunan, China Selatan).


“Bangsa lain melihat kami tampil, banyak yang menitikkan air mata saking harunya. Kami pun mendapatkan pengharagaan dari Bapak Lu Shu Ming, itu Duta Besar RRC untuk Indonesia,” kata Deseng. Penghargaan itu ia terima tahun 2003. Isi penghargaan adalah sekelumit kalimat yang ditulis dengan kaligrafi China, berbunyi: Hanya budaya bangsalah, itulah dunia!


Pada 25 Juni 2004, bertempat di Gedung Grand Estern Bandung, Deseng menjadi dirijen untuk 84 personel Tionghoa yang membawakan lagu klasik Sunda Mekar yang menjadi lambang dangiang Bandung. Sebelumnya, mereka membawakan lagu Ni Nung Wo Nung yang terlelang seharga Rp100 juta.


Pada 28 Februari tahun ini, Deseng dan grupnya, tampil di Jakarta disaksikan Dubes RRC yang baru, Lan Liu Chun, Dubes Indonesia untuk RRC Sudradjat, anggota Indonesia Tinghoa (Inti), juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut hadir dan memberikan sambutan.


Penampilan Deseng dan grupnya itu, pada Februari itu, adalah dalam rangka merayakan hari Imlek dengan mengambil tema “Indonesia Bersatu”. Apa yang ditampilkan di Jakarta, kemudian digelar kembali di Bandung, di Gedung Sabuga, pada 4 Maret. Gubernur Jawa Barat Dany Setiawan hadir dan menyampaikan sambutan.


“Saya bersyukur dan mengucapkan terimakasih kepada Bapak Presiden yang sudah memberikan kesempatan kepada kami untuk pentas. Kami ingin tegaskan, bahwa kami ini bangsa Indonesia yang mencintai tanah air dan kebudayaannya. Saya sebagai bangsa Indonesia, bukan sekedar di KTP. Saya wujudkan dengan keterlibatan saya pada kebudayaan Sunda yang agung, adiluhung,” kata Deseng.


Pada pertunjukan massal itu digelar sebuah atraksi dan kolaborasi seni Sunda – Tionghoa. Muncul tarian barongsai dengan iringan musik Sunda yang sangat buhun (lampau).

Deseng memang seniman serbabisa. Dengan gitar ia memainkan nada dan irama kacapi yang pentatonis, dengan kacapi ia bisa memainkan nada dan irama gitar yang diatonis. Ia bisa memainkan pelbagai instrumen musik, dari ehru hingga samisen, kacapi juga rebab, keyboard dan gitar, menabuh drum atau kendang, dan masih banyak lagi.

Telinga Deseng memang sudah telinga musik, sehingga Remy Sylado pada sebuah wawancara dengan surat kabar pada akhir tahun 80-an, menyatakan, “Dia seniman hebat, sayang belum banyak dimanfaatkan. Barangkali ini terjadi karena dia orang China.”


Bahkan menurut Remy, jika Deseng bermain rock, jauh lebih dahsyat dari Yngwie Malmsteen. Jika Yngwie memainkan gitar dengan jemari dari bawah ke atas, Deseng bisa menirukan melodi Yngwie dengan jemari terbalik.


Aktivitas Deseng kini terfokus untuk bermusik dan mengajar di Padepokan Pasundan Asih, yang bermarkas di rumah kontrakannya itu. Padepokan ini berdiri atas usul berbagai lapisan masyarakat yang khususnya kebanyakan orang Tionghoa. “Saya lupa tanggal berapa berdirinya,” kata Deseng.


Para seniman di padepokan ini berasal dari beragam kalangan. Ada tukang sayur, dokter, insinyur, pengusaha, seniman murni, acak kadut, namun semuanya mencintai seni-budaya Sunda. Padepokan diketuai oleh Ade Tjahjadi (budayawan Sunda), juga didukung oleh Popong Otje Djungdjunan, dan Hendri Somantri (sastrawan).
***

Yun ayun ambing
Diayun ayun kusamping
Neng neleng neng gung
Geura gede geura jangkung
Geura nyiar elmu nu luhung

Yun ayun ambing
Diayun-ayun dengan samping
Neng neleng neng gung
Cepatlah besar cepatlah jangkung
Cepat nyari ilmu yang luhur

Itulah salah satu rumpaka Sunda, atau lirik yang biasa ditembangkan seorang ibu atau inang, saat meninabobokan bocah. Senandung ini bukan sekedar lagu ninabobo, namun sekaligus pengharapan dan doa agar si anak cepat besar, syukur-syukur menjadi pembesar.


Rumpaka itu pula yang ditembangkan inang saat meninabobokan Deseng Kecil, yang mengilhaminya sehingga ia tiada berjarak dengan kesenian Sunda. Ditambah air yang direguk, nasi yang disantap, udara yang dihirup, yang semuanya dipersembahkan oleh Tatar Ukur, membuat wadag dan marwah Deseng seolah hendak memulangkan kasih: Jadilah ia si engkoh (kakak) yang lebih akang dari Kabayan.


Deseng lahir di Gang Tamim, Pasar Baru, Bandung, 22 Agustus 1942. Ayahnya, Tan Tjin Hong yang totok, dan ibunya Yo Mbok Nie yang peranakan. Wangsa Tan berasal dari Ciou–phou/Zhangpu, Hokkian Selatan.


Tan Tjin Hong adalah sastrawan amatiran yang menuliskan karyanya dalam bahasa dan huruf China. Ia juga terampil memainkan instrumen tradisional Tionghoa, dan bisa melukis kaligarfi. Sisi lain, Tjin Hong adalah tabib atau shinse.


Pasangan ini melahirkan delapan bersaudara. Menurut Deseng, ia tercatat nomor lima. Mereka diberi nama: Tan Dekun, Tan Debin, Tan Djunan, Tan Djulam, Tan Detjeng, Tan Deseng (di kliping, ada juga yang menulisnya Tan De Seng), Tan Dekong, Tan Djulim.


Bakat seni Tan Tjin Hong menitis kepada anak-anaknya, di antaranya Tan Detjeng (Chen Lizheng), koko­-nya Deseng, yang kini berkiprah sebagai guru musik dan vocal di Dandong (Tingkok Timur Laut), sedangkan adik Deseng, Tan Dekong, adalah pemusik yang pandai memainkan yangqin (semacam kacapi, tapi dimainkan dengan cara diketuk), dan ehru (rebab Tionghoa berdawai dua).


Bakat seni wangsa Tan ini juga menitis kepada salah seorang keponakan Deseng, yaitu Felicia yang pandai menari Jaipongan. Gadis remaja ini pernah mempertontonkan tari Jaipongan dengan iringan lagu Dongfang zhi zhu yang digubah oleh Deseng.


Pendidikan formal Deseng hanya setingkat SMP Tionghoa. Sekolah Tionghoa di Bandung yang pernah dimasukinya adalah Longhua (1959-1951), Xinhua (1951-1953), Nanhua (1953-1956), Xin Longhua (1956-1957), dan terakhir di Zhonghua Zhongxue hingga kelas dua SMP, karena keburu dikeluarkan akibat badung.


Dari koko terdekatnya, Tan Detjeng, ia beroleh pelajaran meniup harmonika dan memetik guzheng (kacapi China). Pada usia 9 tahun, Deseng mulai terkesiap oleh suara kacapi. Ia juga terpukau oleh rengekan piul (biola). Waktu masih tinggal di Gang Dulatif, sewaktu akan bersekolah, ia selalu melawati Stasiun KA Bandung. Di sana, ada pengamen biola yang handal, orang-orang memanggilnya Mang Adang. Deseng tidak berangkat sekolah, tapi berhenti di situ untuk menyimak piul.


Deseng memang mahiwal (eksentrik). Darah yang mengalir di nadinya murni dari negeri lalangse awi (rumpun bambu), tapi sedari cilik sudah keranjingan nonton wayang, apalagi jika yang memainkannya Dalang Ki Sunarya.


Bagai meteor, skill Deseng dalam bermusik, nampak melesat. Jelang akil balig, ia sudah menguasai karawitan Sunda, musik pop Barat, Mandarin, jazz, bluess, bosanova, hingga lagu-lagu klasik Mozart atau Beethoven. Ia menguasai instrumen musik Tionghoa seperti guzheng (kacapi), dizi (suling), ehru.


Pada 1955, usia 13 tahun, Deseng benar-benar piawai memainkan gitar, dan membuat seorang temannya, yaitu Adjat Sudradjat, alias Atun, ingin belajar kepadanya. Sedang Adjat di keluarganya memiliki grup musik kacapi-suling. Maka terjadilah barter keterampilan.

Dapur seniman saat itu seringlah Senin-Kamis. Karena itu, ayahnya yang katkutan akan masa depannya, memaksa Deseng belajar dagang seumumnya kaum tauke. Pada usia 14, maka ia berkemas-kemas ke Palembang. Bersama temannya, Syafe’i, ia mecoba dagang besi seperti orang Madura.

Namun di suatu malam, di kamar kostnya, tak sengaja ia mendengar radio tetangga yang sedang memutar kawih Sunda yang lawas-tilawas. Tak dinyana, air mata Deseng menitik. Esoknya, ia segera berkemas, pulang Ke Bandung. Hanya empat bulan Deseng di Palembang. Ia dapat ongkos pulang kampung dengan mengamen di kapal.


Belajar kesenian lagi. Kata orang Sunda, Deseng itu hejo tihang (haus) dalam berguru. Pada usia 17 tahun, Deseng berguru kacapi kepada Ebar Sobarna dan Sutarya. Sekira usia 19, belajar nembang Cianjuran kepada Nyi Mas Saodah yang dikenal sebagai penembang paling beken di Jawa Barat. Juga rajin menyambangi padepokan wayang golek Giri Harja, sambil menimba sasmita dari Abah Sunarya dan Asep Sunandar. Belajar juga dari Titin Fatimah, pesinden kondang lagu-lagu Sunda dari Jakarta (1959), juga kepada Euis Komariah dan Tati Saleh.
Di jalur diatonis, Deseng berguru kepada gitaris jazz legendaris Eddy Karamoy, dan menjadi murid kanineung.


Bagai domba muda yang rajin mengasah tanduk, Deseng belia rajin bergabung dengan grup band untuk mempertontonkan kebolehannya, di antaranya menjadi gitaris Young Brothers, Hemming Youth. Ia bergabung dengan grup Paramor, Maria Musica, Inti Nada (khusus lagu Mandarin dan jaazz), Blue Diamond (khusus lagu Barat). Khusus untuk musik kacapi suling, ia mendirikan grup Bhakti Siliwangi. Ini nama grup pemberian dari almarhum Bing Slamet. Tampil bersama mereka, Deseng menerima juluk: Setan Melodi.


“Saya jago memainkan smith guitar. Itu kojo saya. Jarang orang bisa memainkannya,” demikian Deseng mengenangnya.


Sebagai seniman, ternyata hidup Deseng terkatung-katung. Sampai akhirnya ia bertemu pengusaha kaya dari Cicadas yang terpana pada permainan iramanya, yang kebetulan punya putri, Tan Lie Joe. Pada 1964, Deseng dinikahkan dengan Joe, dikaruniai seorang putra. Beda hobi dan cita-cita, biduk rumah tangga mereka terhempas pada 1976.


Hidup Deseng jadi kasut. Pikiran gelap. Di suatu akhir petang, ia mendengar azan Magrib berkumandang. Tiba-tiba ada yang melintas dalam batinnya. Ia pun memeluk Islam, juga dengan restu keluarganya yang tiba-tiba kembali mengakuinya.


Sewaktu menggarap ilustrasi musik untuk film Misteri Jaipongan, Deseng corat-coret dengan huruf Arab, yang kedapatan oleh Tuti dan Mardali yang juga terlibat dalam produksi. Tuti mengusulkan, agar Deseng menambah nama Mohammad. Usul diterima. Sejak itu, sesekali wartawan menulis namanya dengan Mohammad Tan Deseng.


Pada 1977, Deseng menikah untuk kedua kalinya dengan Nia Kurniasih dari Subang. Dikaruniai dua putri: Fitri Chen Huimin (Cici) yang telah menikah dengan Dody Tjia Hong Wie, dan Tantri Chen Huiyun (Dede) yang akan menikah pada 14 Juli ini.


Warna-warni hidup Deseng tidak mirip pelangi, sebab ada warna yang paling kuat, mencolok, intens, dan konsisten: musik Sunda.


Benar ia berpaling juga pada musik lain, apalagi ketika mendirikan The Christone Band sekira tahun 1982, bersama Christian dan Tony (pimpinan), Jimy Manux (bas), Engkun (organ), Wawan Darmawan (mantan Paramor Band dan The Rollies) pegang drum. Pada tahun itu, nama grup band seperti God Bless, AKA, The Rollies sudah di atas angin.


Tetapi Deseng selalu kembali pada musik Sunda. Sejak 1968, ia sudah bergerak di bidang studio dan recording yang dikelolanya di Jl Kamsi, lalu pindah ke jalan Entit. Ia merekam suara emas Tati Saleh, Euis Komariah, Ida Widyawati, Titin Fatimah dalam tembang Cianjuran. Dia mengangkat nama Mang Adang, mantan pengamen biola yang rengekannya maut itu.


Pada 1983, ia kembali menghidupkan studio dan rekaman dengan bendera Bhatara. Ia ikut mendokumentasikan tembang pengiring tari Jaipongan. Di era itu, di Bandung bermunculan pula studio rekaman khusus untuk musik Sunda, di antaranya Jugala, SP, Wisynu, Asmara, Gema Populer.


Ia sudah berjasa untuk seni Sunda. Tapi jasa tidak identik dengan kaya. Buktinya, rumahnya saja masih gontrak. Apakah ini karena ia terkena tulah di mana ia pernah berujar, “Saya kira, kalau orang masih mengganggap saya China, maka sayalah orang China pertama yang bicara tidak kepingin kaya. Buat saya, miskin tidak apa, asal tidak menjadi pelacurnya cukong-cukong,” seperti dikutip oleh Remy Sylado di majalah Amanah edisi 148.


Adapun konsepsi Deseng tentang musik Sunda adalah sebuah musik yang irama dan nadanya berasal dari tatacara dan pakem Sunda, bukan hanya syairnya berbahasa Sunda. Sebab itu, bagi Deseng, lagu pop Sunda yang berbasis pada nada diatonis, hanyalah musik pop Barat yang diberi syair Sunda.


Sebagai seniman Sunda, Deseng nyaris paripurna. Sesuatu yang masih kurang dari Deseng adalah munggubah sendiri musik Sunda, yang suatu hari barangkali akan dicatat sebagi mailstone.


Menurut Ahda Imron, penyair yang orang Minang, yang besar di Bandung seraya menghayati budaya Sunda, Deseng memang hebat. “Tapi saya ingin menguping akulturasi antara musik Sunda dan China. Pertanyaan saya, mengapa Deseng harus membawakan musik Sunda dengan gaya orang Sunda? Mengapa tidak dengan gaya China?” katanya kemarin.


Bagi Deseng sendiri, yang masih tersisa dari obsesinya ialah melakukan peleburan yang likat antara etnis Tionghoa dengan etnis lain di negeri ini, sehingga tidak terdengar lagi istilah pri dan nonpri.


Saat bincang-bincang itu, saya berkali-kali melihat cucu Deseng paling besar. Namanya Putri (7 tahun), anak sulung dari Fitri (anak sulung Deseng). Kelopak mata Putri yang sipit, kulitnya yang kuning langsat, rambutnya yang menjurai, menegaskan bahwa darah wangsa Tan masih menderas, dan diwariskan secara genetis. Tetapi Deseng dan anak cucunya adalah Sunda pituin.

Saturday, January 12, 2013

Gado-gado dari Kebon Jeruk

Pameran seni rupa yang berlangsung di One Galeri Seni Rupa, jalan Panjang nomor 46, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dibingkai dalam tema Artikulasi [articulate], berlangsung pada 9 – 23 April 2008 silam.

Saya coba mengapresiasi pameran yang dikuratori Agus Dermawan T itu pada malam pembukaannya. Begitu masuk ruang pamer, menyaksikan satu per satu karya yang dipamerkan, langsung saja lahir kongklusi sederhana: Ini gado-gado.

Bagi orang Indonesia, khususnya yang bermukin di Pulau Jawa, gado-gado adalah makanan yang lezat. Di sana ada rupa-rupa bahan. Peminatnya tidak berasal dari pelbagai segmentasi strata sosial maupun ekonomi tertentu. Gado-gado bebas kelas.

Pramodeya Ananto Toer pernah menulis cerita yang dibuka dengan mendeskripsikan gado-gado untuk menganalogikan tulisannya yang memang campur-baur. Walau campur-baur, makanan ini lezat, sampai menari-nari lidahku saat melahapnya, tulis Pram.

Tulisan Pram yang gado-gado itu ternyata enak dibaca. Bagaimana jika gado-gado itu terjadi dalam pameran seni rupa? Enak diresepsikah? Ini soal taste. Enak menurut saya, belum tentu menurut yang lain.

Karya yang didisplay berupa patung dan lukisan dengan berbagai corak, merupakan gubahan dari Agapetus A Kristiandana | Ahmad Zaki | Awan Simatupang | Cahyo Basuki [Yopi] | Didik Nurhadi | Eduard [Edopop] | Indyra | Kokok P. Sancoko | S. Tedy D | Suraji | Wayan Sumarta | Ugo Untoro.

Mari kita tengok lukisan-lukisan yang jumlahnya cukup banyak, mengapa disebut gado-gado. Menurut saya, paling kontras adalah membandingkan karya Ugo Untoro dengan karya Indyra atau karya Ahmad Zaki. Lukisan Ugo bercorak ekspresionis sedangkan gubahan Indyra beraliran realis-naturalis, dan Ahmad Zaki berekspresi dengan corak naturalis-surealis. Penyebutan aliran ini mungkin janggal, sebab memang sekarang membicarakan kategorisasi lukisan berdasarkan corak atau aliran, terasa membingungkan, sudah bercampur-baur. Pada sebuah lukisan bisa terdapat banyak aliran.

Namun jelas dari penampakannya, saya bisa merasakan perbedaan pelbagai corak itu, hanya saja kebingungan kalau harus memberi istilah. Ugo Untoro misalnya, lukisannya dibuat tanpa presisi, cenderung coretan-coretan liar, sepuasnya. Indyra dan Ahmad Zaki jelas membutuhkan model dan mengejar kemiripan dalam lukisannya.

Namun demikian, ada perubahan saya lihat dalam lukisan Ugo. Pada pamerannya yang sekarang, berbeda dengan pameran tunggalnya di Java Gallery (sudah tutup galeri ini), di Edwins Gallery atau di Nadi Gallery beberapa waktu lalu. Lukisannya yang sekarang terlihat ada usaha kontrol yang lebih ketat dalam mendedahkan cat.

Lalu keragaman itu terlihat juga pada lukisan Wayan Sumantra yang secara penampakan terasa memancarkan suasana meditatif. Lukisan Suraji dan Eduard (Edopop) dekat pada unsur dekoratif, sampai-sampai keduanya harus membuat arsiran kecil guna menggambarkan objek secara detail.

Kemudian karya patung yang berdimenai trimatra, jelas berbeda dengan lukisan yang trimatra. Patung gubahan Didik Nurhadi berbeda dengan gubahan Cahyo Basuki atau Awan Simatupang. Didik Nurhadi membesut patung figuratif, Cahyo membuat patung simbolik, sedang Awan menggubah patung non-figuratif.

Mengapa bisa lahir pameran gado-gado seperti ini, pada mulanya adalah ide dari Adhi Wibowo selaku pengelola galeri yang hendak mengadakan pameran di galerinya, ia menyodorkan sejumlah perupa kepada kurator. Melihat nama-nama yang disodorkan, Agus Germawan T kemudian menyeleksi dan memilih beberapa perupa, lalu memberinya bingkai kontekstual bagi para perupa terpilih itu.

“Saya memberikan tema Artikulasi setelah melihat bagaimana artikulasi para seniman itu dalam menyikapi konteks seni rupa, baik konteks wacana maupun pasar,” kata Agus Dermawan saat saya mintai pendapat.

Pada katalog pameran, Agus Dermawan memberikan komentar, pameran ini perlu dibingkai dalam tema Artikulasi setelah melihat sikap para perupa yang luwes menghadapi fenomena seni rupa di Tanah Air, menyangkut fenomena wacana dan pasar. Luwes, itulah sikap para perupa yang berpameran dalam Artikulasi ini.

Para perupa yang karyanya dipamerkan ini, bukanlah pendatang baru. Dari sisi usia, sebagian memang masih muda, belum 40 tahun. Satu dua saja yang sudah memasuki usia 40. Mereka sudah teruji oleh waktu, dan konsistensinya dalam berkarya dapat dipertanggungjawabkan. Mereka akan terus berkarya sekalipun Presiden berganti-ganti, sekalipun banjir bandang kembali menyerbu Jakarta. Kalau Jakarta kebanjiran tiap hari, kan susah menggelar pameran.

Pameran gado-gado memang sering dilakukan dibanyak tempat. Tapi tidak semua gado-gado-nya sedap dilahap. Terkadang ada karya yang belum layak dipamerkan, namun dijejalkan. Ibarat memasukkan bengkuang mentah ke dalam gado-gado, tentu akan terasa janggal. Namun untuk gado-gado dari Kebon Jeruk ini, semua bahannya terseleksi, tidak asal comot.

tulisan yang nyambung