|
Foto: Dokumen Pribadi Tan Deseng |
Teks DAF
Wajah dan wangsanya memang totok China. Tetapi kacapi dan suling seolah telah menyulap Tan Deseng menjadi orang Sunda pituin (asli).
Sebuah SMS dimuat di rubrik Halo Kang Dada, koran Tribun Jawa Barat pada 20 Juni 2007 lalu:
“Kang Dada, saya memang tak tinggal di Kota Bandung & bukan orang Sunda, tapi saya suka kesenian Sunda. Melihat tokoh budaya Sunda yang kebetulan keturunan Tionghoa itu, Bapak Tan Deseng yang rumahnya saja masih ngontrak, apakah Pemkot tidak memikirkan beliau? Harusnya masyarakat Sunda berterimakasih dengan dedikasi Pak Tan Deseng.”
Kang Dada ialah Dada Rosada, Walikota Bandung. Menurut si pengirim SMS, Kang Dada sebagai representatif masyarakat Sunda, harus memikirkan rumah bagi Deseng, sebagai ungkapan terimakasih atas jasa dan dedikasinya dalam mengembangkan seni-budaya Sunda, terkhusus karawitan buhun ala Cianjuran.
Sekalipun sudah diterakan sekilas identitasnya pada SMS di atas, barangkali bagi Anda nama Deseng tetaplah samar. Kurang karib. Tapi mungkin Anda mengenal satu orang atau lebih nama-nama ini: Remy Sylado, Dian Pisesa, Gilang Ramadhan, Indra Lesmana, Pra B Dharma, Teti Kadi, Euis Darliah, Jajat Paramor, Hety Koesendang, Harry Rusli (alm), Sam Bimbo, Ireng Maulana, Kiboud Maulana, Oelle Pattyselano, Victor Rompas, Bujana, Joko, Coni Constantia, Tri Utami.
Nama-nama yang dibanjarkan itu, setidaknya pernah bertautan dengan Deseng pada sebuah kolaborasi musik. Terkhusus Dian Pisesa dan Remy Sylado, relasi yang terjalin dengan Deseng lebih intim lagi. Dian dididik Deseng sedari nol, hingga menjadi vokalis bertaraf nasional. Sedangkan korespondensi Remy dan Deseng bersifat resiprokal.
|
Foto: Daf |
Kata almarhum Henry Guntur Tarigan, dosen kuliah Membaca Universitas Pendidikan Indonesia, hubungan antara guru dan murid selaiknya bersifat resiprokal: Guru yang murid dan murid yang guru. Titah ini mengisyaratkan, bahwa tak ada guru yang sempurna. Nobodys perfect in the world. Di satuan waktu yang sama, guru sehendaknya sekaligus belajar kepada murid.
Demikianlah, sejak 1979 Deseng belajar kepada Remy soal filsafat estetika dan wawasan berkesenian, sedang Remy belajar pelbagai instrumen musik dan memetik gitar dari Deseng. Remy dan Deseng sudah seperti bersaudara. Remy sangat mengenal Deseng secara komprehensif.
Saya sendiri tidak mengenal Deseng. Hanya pernah membaca namanya di media massa, yang sering disebut-sebut sebagai “Lebih Sunda dari orang Sunda”, “Pendekar karawitan Sunda”, “Orang China yang Nyunda”, dan sederet identitas lainnya. Saya tidak tahu persis apakah pernah bertemu atau melihat wajah Deseng secara langsung.
Sampai akhirnya saya membuat janji untuk berbincang-bincang di rumahnya, di Jl Babakan Jeruk II No 16, kawasan Terusan Pasteur, Bandung. Sekira pukul dua siang kami akan bertemu. Sabtu siang itu (30/6), hari nampak cerah, dan udara terasa gerah. Setelah pemanasan global, Bandung memang tidak sesejuk dulu lagi.
***
SELEPAS Dzuhur, Bandung jadi mendung. Hujan turun lumayan deras. Terdengar petir mengguntur-guntur. Reda sejeda. Kemudian gerimis menitis ritmis. Saya tembus gerimis dengan payung. Lalu naik angkutan kota menuju rumah Tan Deseng. Gerimis yang ritmis mendatangkan suasana ganda: sendu dan syahdu.
“Cuaca teh mani jiga nu ceurik. Sararedih kieu nya (Cuaca seperti sedang menangis. Terasa begini sedih),” kata sopir angkutan kota kepada kernetnya.
Sudah tiga hari hujan mengguyur Bandung selepas Dzuhur. Saya teringat semasa kecil di Bandung, tahun 80-an. Bila musim penghujan, matahari biasanya baru lingsir menjelang sepenggalah, bahkan bisa seharian absen, karena sebentar-sebentar hujan turun, atau sekedar rintik-rintik.
Di tengah hujan yang mulai mereda saya tiba di rumah Deseng. Pintu rumah terbuka. Di tengah ruangan tamu tampak seorang lelaki bertubuh cengkar mengenakan sarung dan kemeja putih. Ia sedang menelepon. Dialah Tan Deseng, lelaki yang saya cari. Senyumnya terkembang, menyambut saya yang berdiri di depan pintu.
“Silahkan masuk,” kata Deseng.
Saya membuka percakapan. Bukan untuk basa-basi. Saya kenal Deseng melalui banyak tulisan mengenai kesenian Sunda. Sebelum bincang-bincang lebih mendalam, saya meminta Deseng bermusik supaya pernyataannya jadi tambah afdol. Ia mengambil salah satu gitar yang terpajang di ruang tamu. Ada dua gitar di ruang tamu itu, merk Yamaha jenis string. Permainan musiknya mengingatkan saya pada Kitaro dan Gypsy Kings, menyatakan kekagumannya pada gitar dan kacapi Sunda. Di tangan Deseng gitar jadi multiguna.
Ia bisa memainkan pelbagai jenis musik dan tangga nada, baik yang diatonis (7 tangga nada modernis), maupun yang pentatonis (5 tangga nada tradisionalis). Kami terlibat perbicangan soal tembang sunda lawas, dan Deseng menembangkan salah satu mamaos, saya semakin yakin, musik Sunda itu bernada sendu, syahdu, mellow. Watak alam Sunda memang telah ikut membentuk karakter musiknya.
Ia memetik gitar itu, memainkan irama kacapi. Setelah petikan intro, Deseng menembangkan mamaos jenis madenda yang bernada sorog (salah satu jenis musik Sunda), yang liriknya seperti ini:
Udan Mas
kukupu tilu kulawu
harimumu hideung deui
cat mancat ka bale pulang
ngait mayang ku kareumbi
badoang manuk badoang
eunteup dina paku haji
jung nangtung asa lalanjung
gek diuk asa tiguling
leumpang asa ngalongkewang
pipikiran selang seling
sukma na manglayang-layang
tayoh aya nu di lingling
Tiga kupu-kupu warna kelabu
Harimumu (kenangan) hitam kembali
Manjat dan pulang ke bale
Mengait mayang dengan kareumbi (pohon)
Badoang burung badoang (burung gelatik)
Hinggap pada paku haji
Berdiri serasa pusing kepala
Duduk serasa jatuh
Berjalan serasa goyah
Pikiran silang sengkarut
Sukma melayang-layang
Alih-alih ada yang dicari
Petikan gitar dengan irama kacapi itu, berikut lirik-liriknya, terdengar oleh pengupingan saya, seperti suara masa lalu yang memutar ulang kenangan, yang memanggil-manggil hati ini untuk kembali. Ya, kembali ke alam yang masih eksotis, harmonis, alam Pasundan.
Tatar Sunda atau biasa juga disebut Pasundan, atau Priangan (Parahyangan), yang menawan dengan penduduknya yang mengulur senyum, yang kata antropolog Belanda MAW Brouwer pasti diciptakan Tuhan sambil tersenyum, memang selalu mendatangkan perasaan estetik, takjub. Ketakjuban pada alam yang menawan itulah yang membuat musik-musik tradisi Sunda selalu menggelontorkan rasa sumringah dan damai. Alasan itu pula yang membuat Deseng, sekalipun beretnis Tionghoa, jatuh cinta pada musik Sunda.
Dalam bahasa yang hiperbolis, orang Sunda seringkali bernarsis ria mengatakan, musik Sunda itu ibarat ngagerean hate, ngagupayan sukma (menggelitik hati, memanggil-manggil sukma).
“Dengan gitar ini, bisa saya mainkan irama kacapi. Saya tidak mengubah steman gitar. Tetap dengan nada diatonis standar internasional. Artinya, inohong dan seniman Sunda jaman dulu, sudah berusaha menciptakan kacapi dengan nilai seuniversal mungkin, hingga bisa dimainkan dengan gitar ini,” kata Deseng.
Ia berlalu ke kamarnya. Keluar lagi dengan membawa pick (alat untuk memetik gitar). Duduk kembali di sofanya, mukanya tercenung, lalu mengumandangkan seni tradisi bangsa-bangsa: India, Arab, Afro Amerika, Jazz, Blues, Jepang, China, Spanyol, komposisi Romance de Amor, de Alhamra. Bahkan, nada azan dan mengaji Quran, ia demonstrasikan di hadapan saya.
Usai berdemonstrasi, saya bertepuk tangan. Ia terseyum, kemudian menyalakan kembali rokoknya yang padam di asbak. Asap mengepul. Ia menghisap dua merek rokok, kretek Jarum Coklat dan Marlboro merah.
“Enggak pengajian, enggak azan, dalam keadaan tertentu suaranya sangat sakral. Kita harus memainkan musik dengan rasa hormat, supaya timbul perasaan yang indah,” katanya.
Setelah melihat demo itu, dalam hati saya berujar, si empunya mata sipit ini, yang berperawakan tipis, berambut sebahu, sudah selaiknya menerima penghargaan Piala Metronome dari Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI) pada 23 Maret 2007 lalu.
PAPPRI yang diketuai Darma Oratmangun, tahun 2007 ini memberikan penghargaan Piala Metronome kepada Idris Sardi (violis legendaris Indonesia), almarhum Denny Sabri (pemandu bakat musik legendaris), Tan Deseng (pengembang seni musik sunda), Nortier Simanungkalit (bapak paduan suara Indonesia), alm Benyamin Suaeb (musisi Betawi legendaris).
Diberikan sejak 2004 lewat acara Nugraha Bhakti Musik Indonesia , Piala Metronome telah dianugrahkan kepada 25 musisi. Metronome adalah alat ukur untuk menguji ketepatan, akurasi, dan konsistensi seorang musisi. Penghargaan itu sekaligus mendakukan Daseng sebagai seniman yang piawai di dalam bermusik. Ia memang dikenal mahir dalam penguasaan teknik permainan alat musik Sunda dan hafal benar bagaimana mentransfer nada diatonis ke pentatonis.
Ada tiga jenis nada musik Sunda, demikian Daseng, yaitu pelog, salendro, dan sorog. Jika hendak malantunkan nada pelog dengan gitar, maka pemusik harus berangkat dari kunci F. Jika memainkan nada salendro, harus bertolak dari kuci D Mayor6 atau D Mayor9. Sedang jika ingin bersenandung dalam nada sorog atau dikenal juga dengan madenda, pemusik harus mengambil nada D minor atau E minor.
“Untuk musik Jawa, juga nyaris sama. Tapi terdapat perbedaan pada bunyi pelog Sunda dan pelog Jawa. Jika Sunda bermain di kunci F, pelog Jawa lebih cocok bermain di kuci Bes, ” kata Daseng
Deseng menghisap lagi rokoknya dalam-dalam dan melepaskan asap dari mulutnya dalam satu hembusan.
“Tinggal kita stel senarnya, bisa kita mainkan berbagai bunyi alat gamelan. Sebaliknya, kacapi ini juga bisa digunakan untuk memainkan suara gitar. Kalau kacapi Jawa, hanya berfungsi sebagai pengiring, jadi tidak bisa memainkan berbagai instrumen musik,” katanya, meyakinkan saya.
Jalan hidup Daseng penuh liku. Pada usia 65 tahun, saat sebagian orangtua lain menikmati masa senja di rumah sendiri, Daseng masih mengontrak. Belum punya rumah. Namun demikian ia mengaku bahagia dan tetap memiliki kebebasan berekspresi.
Rumah kontrakan itu sudah ia mukimi bersama keluarganya sejak awal 2006 atas pembiayaan pengurus Padepokan Pasundan Asih, sebuah grup musik yang Deseng turut dirikan pada Agustus 2002 lalu. Rumah itu cukup besar. Bahkan ada studio untuk latihan sekaligus rekaman. Studio ini namanya Bhatara Studio & Record yang sudah dirintis Deseng sejak akhir tahun 60-an.
“Saya bersyukur, walaupun rumah kontrakan, ya ini juga dikontrakan oleh Pasundan Asih, tapi di sini ada ruangan untuk latihan. Dulu mah, waktu masih di Karasak, kalau mau latihan itu harus di jalan, harus minta izin dulu sama tetangga. Baru malam-malam bisa latihannya juga. Sekarang di sini ada studio untuk latihan,” demikian ia mengungkapkan kebahagiannya.
Deseng dan keluarga memang bisa disebut burung rantau yang terus bermigrasi. Sejak tahun 1990-an saja, Deseng sudah berkali-kali pindah kontrakan. Pertengahan 1991, ia terpaksa hengkang ke Jakarta, karena rumah kontrakannya di Bandung harus dikosongkan, padahal belum jatuh tempo. Si pemilik rumah begitu kasarnya menyuruh Deseng angkat kaki. Malam itu juga ia beres-beres.
Sampai malam, beres-beres belum juga beres. Namun kebetulan, malam itu datang cukong Gadjah Mada Record. Si cukong bertanya, “mau pindah ke mana?”
“Belum tahu, pokoknya disuruh keluar dari rumah ini, ya keluar,” jawab Deseng.
Cukong itu menawarkan Deseng ke Jakarta. “Langsung angkut saja ke Jakarta. Owe punya rumah kosong.”
Deseng pun migrasi ke Jakarta, dan bekerja sebagai Direktur Artistik di perusahaan itu, di kawasan Cipayung, Jakarta Timur. Di Jakarta, ternyata Deseng tidak bisa berlama-lama. Tanah Pasundan berikut lengkingan serulingnya, seakan memaksanya kembali ke Bandung.
Ia kemudian tinggal di Jl. Murni I Nomor 39. Dari Murni, pindah ke daerah Muara, lalu ke Malabar. Kemudian pindah ke daerah Karasak, Jl Mohammad Toha, Bandung Selatan. Semuanya kontrakan.
Akan halnya kebebasan berekspresi, setelah bergulir era reformasi, di mana etnis Tionghoa boleh merayakan kembali kebudayaannya, bagaimana pun Deseng bahagia karena jadi leluasa untuk pentas. Sebelum reformasi, wajah Deseng yang Tionghoa itu, membuatnya kerap dicurigai sebagai seniman Sunda palsu. Karena itu, ia kurang memiliki kesempatan untuk pentas. Padahal, bisa manggung itu artinya dapur tetap mengepul.
“Terkadang saya sakit hati, suka dianggap seniman Sunda palsu. Sehingga kesempatan saya untuk pentas, jadi sulit,” kenangnya sambil menabur senyum simpul.
Deseng kini bisa pentas di berbagai tempat. Malah belakangan Deseng bisa beberapa kali pentas ke manca negara. Tahun 1997 misalnya, ia tampil di Malaysia. Lalu tahun 2003 tampil di Sanghai, Nanking, Beijing. Tahun berikutnya tampil di Kun Ming (Yunan, China Selatan).
“Bangsa lain melihat kami tampil, banyak yang menitikkan air mata saking harunya. Kami pun mendapatkan pengharagaan dari Bapak Lu Shu Ming, itu Duta Besar RRC untuk Indonesia,” kata Deseng. Penghargaan itu ia terima tahun 2003. Isi penghargaan adalah sekelumit kalimat yang ditulis dengan kaligrafi China, berbunyi: Hanya budaya bangsalah, itulah dunia!
Pada 25 Juni 2004, bertempat di Gedung Grand Estern Bandung, Deseng menjadi dirijen untuk 84 personel Tionghoa yang membawakan lagu klasik Sunda Mekar yang menjadi lambang dangiang Bandung. Sebelumnya, mereka membawakan lagu Ni Nung Wo Nung yang terlelang seharga Rp100 juta.
Pada 28 Februari tahun ini, Deseng dan grupnya, tampil di Jakarta disaksikan Dubes RRC yang baru, Lan Liu Chun, Dubes Indonesia untuk RRC Sudradjat, anggota Indonesia Tinghoa (Inti), juga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut hadir dan memberikan sambutan.
Penampilan Deseng dan grupnya itu, pada Februari itu, adalah dalam rangka merayakan hari Imlek dengan mengambil tema “Indonesia Bersatu”. Apa yang ditampilkan di Jakarta, kemudian digelar kembali di Bandung, di Gedung Sabuga, pada 4 Maret. Gubernur Jawa Barat Dany Setiawan hadir dan menyampaikan sambutan.
“Saya bersyukur dan mengucapkan terimakasih kepada Bapak Presiden yang sudah memberikan kesempatan kepada kami untuk pentas. Kami ingin tegaskan, bahwa kami ini bangsa Indonesia yang mencintai tanah air dan kebudayaannya. Saya sebagai bangsa Indonesia, bukan sekedar di KTP. Saya wujudkan dengan keterlibatan saya pada kebudayaan Sunda yang agung, adiluhung,” kata Deseng.
Pada pertunjukan massal itu digelar sebuah atraksi dan kolaborasi seni Sunda – Tionghoa. Muncul tarian barongsai dengan iringan musik Sunda yang sangat buhun (lampau).
Deseng memang seniman serbabisa. Dengan gitar ia memainkan nada dan irama kacapi yang pentatonis, dengan kacapi ia bisa memainkan nada dan irama gitar yang diatonis. Ia bisa memainkan pelbagai instrumen musik, dari ehru hingga samisen, kacapi juga rebab, keyboard dan gitar, menabuh drum atau kendang, dan masih banyak lagi.
Telinga Deseng memang sudah telinga musik, sehingga Remy Sylado pada sebuah wawancara dengan surat kabar pada akhir tahun 80-an, menyatakan, “Dia seniman hebat, sayang belum banyak dimanfaatkan. Barangkali ini terjadi karena dia orang China.”
Bahkan menurut Remy, jika Deseng bermain rock, jauh lebih dahsyat dari Yngwie Malmsteen. Jika Yngwie memainkan gitar dengan jemari dari bawah ke atas, Deseng bisa menirukan melodi Yngwie dengan jemari terbalik.
Aktivitas Deseng kini terfokus untuk bermusik dan mengajar di Padepokan Pasundan Asih, yang bermarkas di rumah kontrakannya itu. Padepokan ini berdiri atas usul berbagai lapisan masyarakat yang khususnya kebanyakan orang Tionghoa. “Saya lupa tanggal berapa berdirinya,” kata Deseng.
Para seniman di padepokan ini berasal dari beragam kalangan. Ada tukang sayur, dokter, insinyur, pengusaha, seniman murni, acak kadut, namun semuanya mencintai seni-budaya Sunda. Padepokan diketuai oleh Ade Tjahjadi (budayawan Sunda), juga didukung oleh Popong Otje Djungdjunan, dan Hendri Somantri (sastrawan).
***
Yun ayun ambing
Diayun ayun kusamping
Neng neleng neng gung
Geura gede geura jangkung
Geura nyiar elmu nu luhung
Yun ayun ambing
Diayun-ayun dengan samping
Neng neleng neng gung
Cepatlah besar cepatlah jangkung
Cepat nyari ilmu yang luhur
Itulah salah satu rumpaka Sunda, atau lirik yang biasa ditembangkan seorang ibu atau inang, saat meninabobokan bocah. Senandung ini bukan sekedar lagu ninabobo, namun sekaligus pengharapan dan doa agar si anak cepat besar, syukur-syukur menjadi pembesar.
Rumpaka itu pula yang ditembangkan inang saat meninabobokan Deseng Kecil, yang mengilhaminya sehingga ia tiada berjarak dengan kesenian Sunda. Ditambah air yang direguk, nasi yang disantap, udara yang dihirup, yang semuanya dipersembahkan oleh Tatar Ukur, membuat wadag dan marwah Deseng seolah hendak memulangkan kasih: Jadilah ia si engkoh (kakak) yang lebih akang dari Kabayan.
Deseng lahir di Gang Tamim, Pasar Baru, Bandung, 22 Agustus 1942. Ayahnya, Tan Tjin Hong yang totok, dan ibunya Yo Mbok Nie yang peranakan. Wangsa Tan berasal dari Ciou–phou/Zhangpu, Hokkian Selatan.
Tan Tjin Hong adalah sastrawan amatiran yang menuliskan karyanya dalam bahasa dan huruf China. Ia juga terampil memainkan instrumen tradisional Tionghoa, dan bisa melukis kaligarfi. Sisi lain, Tjin Hong adalah tabib atau shinse.
Pasangan ini melahirkan delapan bersaudara. Menurut Deseng, ia tercatat nomor lima. Mereka diberi nama: Tan Dekun, Tan Debin, Tan Djunan, Tan Djulam, Tan Detjeng, Tan Deseng (di kliping, ada juga yang menulisnya Tan De Seng), Tan Dekong, Tan Djulim.
Bakat seni Tan Tjin Hong menitis kepada anak-anaknya, di antaranya Tan Detjeng (Chen Lizheng), koko-nya Deseng, yang kini berkiprah sebagai guru musik dan vocal di Dandong (Tingkok Timur Laut), sedangkan adik Deseng, Tan Dekong, adalah pemusik yang pandai memainkan yangqin (semacam kacapi, tapi dimainkan dengan cara diketuk), dan ehru (rebab Tionghoa berdawai dua).
Bakat seni wangsa Tan ini juga menitis kepada salah seorang keponakan Deseng, yaitu Felicia yang pandai menari Jaipongan. Gadis remaja ini pernah mempertontonkan tari Jaipongan dengan iringan lagu Dongfang zhi zhu yang digubah oleh Deseng.
Pendidikan formal Deseng hanya setingkat SMP Tionghoa. Sekolah Tionghoa di Bandung yang pernah dimasukinya adalah Longhua (1959-1951), Xinhua (1951-1953), Nanhua (1953-1956), Xin Longhua (1956-1957), dan terakhir di Zhonghua Zhongxue hingga kelas dua SMP, karena keburu dikeluarkan akibat badung.
Dari koko terdekatnya, Tan Detjeng, ia beroleh pelajaran meniup harmonika dan memetik guzheng (kacapi China). Pada usia 9 tahun, Deseng mulai terkesiap oleh suara kacapi. Ia juga terpukau oleh rengekan piul (biola). Waktu masih tinggal di Gang Dulatif, sewaktu akan bersekolah, ia selalu melawati Stasiun KA Bandung. Di sana, ada pengamen biola yang handal, orang-orang memanggilnya Mang Adang. Deseng tidak berangkat sekolah, tapi berhenti di situ untuk menyimak piul.
Deseng memang mahiwal (eksentrik). Darah yang mengalir di nadinya murni dari negeri lalangse awi (rumpun bambu), tapi sedari cilik sudah keranjingan nonton wayang, apalagi jika yang memainkannya Dalang Ki Sunarya.
Bagai meteor, skill Deseng dalam bermusik, nampak melesat. Jelang akil balig, ia sudah menguasai karawitan Sunda, musik pop Barat, Mandarin, jazz, bluess, bosanova, hingga lagu-lagu klasik Mozart atau Beethoven. Ia menguasai instrumen musik Tionghoa seperti guzheng (kacapi), dizi (suling), ehru.
Pada 1955, usia 13 tahun, Deseng benar-benar piawai memainkan gitar, dan membuat seorang temannya, yaitu Adjat Sudradjat, alias Atun, ingin belajar kepadanya. Sedang Adjat di keluarganya memiliki grup musik kacapi-suling. Maka terjadilah barter keterampilan.
Dapur seniman saat itu seringlah Senin-Kamis. Karena itu, ayahnya yang katkutan akan masa depannya, memaksa Deseng belajar dagang seumumnya kaum tauke. Pada usia 14, maka ia berkemas-kemas ke Palembang. Bersama temannya, Syafe’i, ia mecoba dagang besi seperti orang Madura.
Namun di suatu malam, di kamar kostnya, tak sengaja ia mendengar radio tetangga yang sedang memutar kawih Sunda yang lawas-tilawas. Tak dinyana, air mata Deseng menitik. Esoknya, ia segera berkemas, pulang Ke Bandung. Hanya empat bulan Deseng di Palembang. Ia dapat ongkos pulang kampung dengan mengamen di kapal.
Belajar kesenian lagi. Kata orang Sunda, Deseng itu hejo tihang (haus) dalam berguru. Pada usia 17 tahun, Deseng berguru kacapi kepada Ebar Sobarna dan Sutarya. Sekira usia 19, belajar nembang Cianjuran kepada Nyi Mas Saodah yang dikenal sebagai penembang paling beken di Jawa Barat. Juga rajin menyambangi padepokan wayang golek Giri Harja, sambil menimba sasmita dari Abah Sunarya dan Asep Sunandar. Belajar juga dari Titin Fatimah, pesinden kondang lagu-lagu Sunda dari Jakarta (1959), juga kepada Euis Komariah dan Tati Saleh.
Di jalur diatonis, Deseng berguru kepada gitaris jazz legendaris Eddy Karamoy, dan menjadi murid kanineung.
Bagai domba muda yang rajin mengasah tanduk, Deseng belia rajin bergabung dengan grup band untuk mempertontonkan kebolehannya, di antaranya menjadi gitaris Young Brothers, Hemming Youth. Ia bergabung dengan grup Paramor, Maria Musica, Inti Nada (khusus lagu Mandarin dan jaazz), Blue Diamond (khusus lagu Barat). Khusus untuk musik kacapi suling, ia mendirikan grup Bhakti Siliwangi. Ini nama grup pemberian dari almarhum Bing Slamet. Tampil bersama mereka, Deseng menerima juluk: Setan Melodi.
“Saya jago memainkan smith guitar. Itu kojo saya. Jarang orang bisa memainkannya,” demikian Deseng mengenangnya.
Sebagai seniman, ternyata hidup Deseng terkatung-katung. Sampai akhirnya ia bertemu pengusaha kaya dari Cicadas yang terpana pada permainan iramanya, yang kebetulan punya putri, Tan Lie Joe. Pada 1964, Deseng dinikahkan dengan Joe, dikaruniai seorang putra. Beda hobi dan cita-cita, biduk rumah tangga mereka terhempas pada 1976.
Hidup Deseng jadi kasut. Pikiran gelap. Di suatu akhir petang, ia mendengar azan Magrib berkumandang. Tiba-tiba ada yang melintas dalam batinnya. Ia pun memeluk Islam, juga dengan restu keluarganya yang tiba-tiba kembali mengakuinya.
Sewaktu menggarap ilustrasi musik untuk film Misteri Jaipongan, Deseng corat-coret dengan huruf Arab, yang kedapatan oleh Tuti dan Mardali yang juga terlibat dalam produksi. Tuti mengusulkan, agar Deseng menambah nama Mohammad. Usul diterima. Sejak itu, sesekali wartawan menulis namanya dengan Mohammad Tan Deseng.
Pada 1977, Deseng menikah untuk kedua kalinya dengan Nia Kurniasih dari Subang. Dikaruniai dua putri: Fitri Chen Huimin (Cici) yang telah menikah dengan Dody Tjia Hong Wie, dan Tantri Chen Huiyun (Dede) yang akan menikah pada 14 Juli ini.
Warna-warni hidup Deseng tidak mirip pelangi, sebab ada warna yang paling kuat, mencolok, intens, dan konsisten: musik Sunda.
Benar ia berpaling juga pada musik lain, apalagi ketika mendirikan The Christone Band sekira tahun 1982, bersama Christian dan Tony (pimpinan), Jimy Manux (bas), Engkun (organ), Wawan Darmawan (mantan Paramor Band dan The Rollies) pegang drum. Pada tahun itu, nama grup band seperti God Bless, AKA, The Rollies sudah di atas angin.
Tetapi Deseng selalu kembali pada musik Sunda. Sejak 1968, ia sudah bergerak di bidang studio dan recording yang dikelolanya di Jl Kamsi, lalu pindah ke jalan Entit. Ia merekam suara emas Tati Saleh, Euis Komariah, Ida Widyawati, Titin Fatimah dalam tembang Cianjuran. Dia mengangkat nama Mang Adang, mantan pengamen biola yang rengekannya maut itu.
Pada 1983, ia kembali menghidupkan studio dan rekaman dengan bendera Bhatara. Ia ikut mendokumentasikan tembang pengiring tari Jaipongan. Di era itu, di Bandung bermunculan pula studio rekaman khusus untuk musik Sunda, di antaranya Jugala, SP, Wisynu, Asmara, Gema Populer.
Ia sudah berjasa untuk seni Sunda. Tapi jasa tidak identik dengan kaya. Buktinya, rumahnya saja masih gontrak. Apakah ini karena ia terkena tulah di mana ia pernah berujar, “Saya kira, kalau orang masih mengganggap saya China, maka sayalah orang China pertama yang bicara tidak kepingin kaya. Buat saya, miskin tidak apa, asal tidak menjadi pelacurnya cukong-cukong,” seperti dikutip oleh Remy Sylado di majalah Amanah edisi 148.
Adapun konsepsi Deseng tentang musik Sunda adalah sebuah musik yang irama dan nadanya berasal dari tatacara dan pakem Sunda, bukan hanya syairnya berbahasa Sunda. Sebab itu, bagi Deseng, lagu pop Sunda yang berbasis pada nada diatonis, hanyalah musik pop Barat yang diberi syair Sunda.
Sebagai seniman Sunda, Deseng nyaris paripurna. Sesuatu yang masih kurang dari Deseng adalah munggubah sendiri musik Sunda, yang suatu hari barangkali akan dicatat sebagi mailstone.
Menurut Ahda Imron, penyair yang orang Minang, yang besar di Bandung seraya menghayati budaya Sunda, Deseng memang hebat. “Tapi saya ingin menguping akulturasi antara musik Sunda dan China. Pertanyaan saya, mengapa Deseng harus membawakan musik Sunda dengan gaya orang Sunda? Mengapa tidak dengan gaya China?” katanya kemarin.
Bagi Deseng sendiri, yang masih tersisa dari obsesinya ialah melakukan peleburan yang likat antara etnis Tionghoa dengan etnis lain di negeri ini, sehingga tidak terdengar lagi istilah pri dan nonpri.
Saat bincang-bincang itu, saya berkali-kali melihat cucu Deseng paling besar. Namanya Putri (7 tahun), anak sulung dari Fitri (anak sulung Deseng). Kelopak mata Putri yang sipit, kulitnya yang kuning langsat, rambutnya yang menjurai, menegaskan bahwa darah wangsa Tan masih menderas, dan diwariskan secara genetis. Tetapi Deseng dan anak cucunya adalah Sunda pituin.