Wednesday, April 27, 2011

Diyanto: The New Icon

Diyanto identik dengan eksplorasi dan pendalaman tema. Tatapan matanya menyiratkan seorang perenung, peziarah tematik. Untuk era kini, Di-yanto adalah sang ikon dengan juluk The Perfect Explorer. Sebagai misal, sejak 1980, rumah sakit seakan menjadi hunian yang kedua, karena begitu sering ia me-nyambanginya, mengintip detail-detailnya, merekam haru-biru ketakberdayaan manusia yang menghuninya, saat menjalankan misi eksploratif itu. Hasil eksplorasinya didedahkan ke dalam kan-vas, menjadi lukisan corak impresionistik yang inspiratif.

Tahun 1992, Diyanto bergabung dengan Teater Sae, Jakarta. Persinggungan dengan naskah dan pertunjukan teater, membuat persepsi Diyanto berubah. Teater telah menuntun eksplorasinya memasuki wilayah referensial.

Referensi selanjutnya menuntun Diyanto memasuki gerbang filsafat, dan pandangan filosif itu amat terbaca pada pamerannya yang berjuluk Fatum Brutum Amor Fati (takdir itu pahit, namun cintailah takdir) di Selasar Sunaryo Artspace, Bandung, beberapa waktu lalu. Melalui pameran Amor Fati itu, makin kuat Diyanto menyandang ikon selaku The Perfect Explorer.

Kritikus seni rupa Jim Supangkat yang pernah menguratori pameran seniman kelahiran Kadipaten 1962 ini mengatakan, karya Diyanto menarik untuk diikuti, karena ia selalu menawarkan permenungan seputar kehidupan. Permenungan itu lahir karena memang ia memasuki wilayah filsafat secara eksploratif. Meresep­si karya Diyanto, kita akan selalu diajak merenungi kehidupan ini secara mendalam. Kedalaman, itulah Diyanto.

Tisna Sanjaya: Anak Zaman

Setiap zaman selalu melahirkan anaknya yang terbaik, yang kemudian menjadi bintang paling kinclong, yang kelahirannya dibidani oleh gejolak sosial. Mereka inilah yang mampu menyikapi pelbagai gejolak sosial dengan kreativitas yang konseptual dan kontekstual. Ia visioner dalam karya.

Anak zaman yang brilian selalu menjadi bintang, ikon, simbol, wakil, atau representasi dari zeit geits (semangat zaman). Mereka yang lamban dan kurang cerdas akan tergilas oleh perubahan zaman.

Kini pendulum waktu telah bergeser jauh, membuat zaman berubah drastis. Tentu para ikon atau simbol anak zaman terdahulu, mulai redup dan digantikan oleh generasi berikutnya dengan sema­ngat yang menggelegak. Pada zaman terkini, bintang atau ikon baru dalam dunia seni rupa harus disebut nama Tisna Sanjaya.

Komitmennya dalam berkesenian sudah teruji oleh waktu. Artiku­lasinya cukup tegas. Dedikasi terhadap profesi yang digelutinya tidak diragukan lagi. Visinya sangat jelas: kesenian ialah ruang kreativitas yang harus dipertanggungjawabkan, dan memiliki tanggungjawab da­lam membela harkat kemanusiaan.

Saat para perupa Bandung sibuk menggu­muli gaya seni lukis abstrak yang berjarak de­ngan realitas sosial, Tisna Sanjaya melahirkan karya yang dalam bahasa George Lucas di­sebut realisme sosial, yang pesan dan amanat­nya menggedor­gedor pintu angkuh kekuasaan Orde Baru, sekaligus menyentil kawan sesama seniman yang asyik “iseng sendiri” layaknya anak autis yang lupa kalau dia itu memiliki te­tangga dan saudara yang musti dibela.

Visi Tisna dapat dibaca dengan mudah lewat karya­karyanya, baik yang berbentuk grafis, lukis, instalasi, performance art. Dan visi itu ia wujudkan dalam sikap sehari­hari, entah dalam artikel dan esai, atau dalam proses mengajar yang dilakukannya di Studio Grafis, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung.

Bahkan apresiator sudah bisa memahami apa yang hendak dipresentasikannya hanya dengan membaca judul­judul karyanya, misalnya grafis berjuluk Manusia tanpa Gagasan: Senjatamu hanya Retorika (1994), Korban: Monumen Estetika Bau Mayat (1994), Amuk Kapak (1993­1994), Lengser Keprabon (1997), serial karya berjudul Ibuku: Katakanlah Meskipun Pahit dan Berdoalah (1997­1998).

Tisna memang cap jempol. Dia adalah ikon yang dibutuhkan, yang rasanya kurang lengkap sebuah pameran bersama bila tidak menyertakan karya Tisna.

Nama Tisna sebagai seniman, bukan hanya dikenal secara do­mestik. Berkali­kali ia diundang mengikuti biennial atau triennial inter­nasional. Namun untuk urusan pameran di luar negeri ini, Tisna berko­mentar, “Jangan puas hanya dari pameran ke pameran.”

Di sela kesibukannya mengambil studi doktoral di Institut Seni Indonesia (ISI) Yog­yakarta, seniman kelahiran Bandung ini tetap giat berkarya. Pada pameran bersama dalam Manifesto Seni Rupa di Galeri Nasional, Tisna memamerkan karya serial berjudul  Manifesto Joged Komando.

Pada Januari 2009, Tisna akan menye­lenggarkan pameran tunggul retrospektif atas karya­karya mulai saat awal berkarya sampai sekarang.
Seniman Utopia

Tuesday, April 26, 2011

Bersaing dengan Robot

Teks Doddi Ahmad Fauji | Foto Dok Teater Sastra UI

Imajinasi seniman mengingatkan, pada suatu hari nanti manusia harus bersaing dengan robot. Teater sastra dari Universitas indonesia, memperkirakan persaingan itu makin ketat setelah tahun 2020.

Bagaimana jadinya bila suatu hari, Universitas Indonesia (UI) yang makin mentereng itu, berganti nama jadi Universitas Robot Indonesia (URI)?sepanjang jargon ini masih berlaku: “tidak ada yang tidak mungkin di bumi ini,” maka sangat mungkin pada suatu hari nanti, UI benar-benar menjadi Universitas Robot Indonesia, dalam artian, UI menjadi kampus yang hanya memproduksi sarjana, master, dan doktor yang berprilaku seperti robot. Bukankah kini semakin banyak perusa-haan yang memperlakukan karyawannya seperti robot, yakni menguras tenaganya tapi tidak memperhatikan perasaannya, kesejahteraannya, dan sisi terdalam dari rasa kemanusiaanya?

Perusahaan lebih senang karyawannya berlaku seperti robot, tidak rewel apalagi banyak protes. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan akan menerima sarjana yang telah berhasil “dirobotkan” oleh perguruan tinggi. efek domino berikutnya, supaya per-guruan tinggi itu laku di masyarakat, maka mereka ber-lomba menjadi universitas yang merobotkan manusia.

sentilan-sentilan di atas, terlintas setelah saya menon-ton pertunjukan teater berjuluk sketsa Robot ver2.0 karya/sutradara I Yudhi sunarto dari Teater Sastra UI. Pertunjukan berlangsung di Graha Bhakti Budaya, TIM, pada 20-21 November 2010.

Pertunjukan itu bernada komediti satire, yang hendak mencemooh sistem pendidikan di Indonesia, terutama mungkin di UI, yang semakin kapitalistik. UI kini menjadi perguruan tinggi negeri termahal setelah era Badan Hukum Pendidikan diberlakukan. Tentu orang miskin sekalipun ia “jenius”, jangan bermimpi bisa berkampus di sana.

Nampak sekali, topik yang dibicarakan dalam pertun-jukan ini, ditulis oleh orang yang terlibat dalam dunia pendidikan, yang membuatnya paham benar seluk-beluk kerancuan di institusi pendidikan. Yudhi memang salah satu dosen di Fakultas Ilmu Budaya, UI. Ia alumni UI, dan pendiri Teater sastra UI. kritikan yang dilontar-kan, bukan asal njeplak tanpa konfirmasi pada realitas. Yudhi berhasil mengapungkan tema yang selaras den-gan realitas, dan pemilihan tema robot untuk mengertik institusi pendidikan, terasa sangat kontekstual.

Sinopsis cerita bisa dirinci seperti ini: Suatu hari, orang-orang Indonesia mulai terjangkit virus mandul. Adapun perempuan yang masih bisa hamil, sudah banyak yang enggan men-gandung karena akan merusak karier. Alhasil, robot-robot yang diberinama humanoid, yang diproduksi oleh luar negeri, mulai dibeli oleh masyarakat Indonesia. Humanoid ternyata menjadi anak yang lebih penurut dan cerdas.

Di sisi lain, karena manusia semakin langka, membuat sekolah jadi bangkrut, perguruan tinggi jadi mengkerut, akibat kehabisan calon murid. Nah lalu, robor-robot yang dibeli dari luar itu, prilakunya ternyata berbeda dengan karakteristik orang Indonesia. Lalui UI pada tahun 2030, mulai melakukan terobosan dengan menciptakan sistem pendidikan untuk robot-robot humanoid supaya karakteristiknya menjadi hipokrit, yaitu karakteristik yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia di tahun 2030. Maka UI pun berubah nama menjadi URI dengan jargon “Merobotkan Manusia dan Memanusiakan Robot.”

Naskah realis yang kontekstual ini, tentu akan kering maknanya bila tidak berhasil direpre-sentasikan dalam panggung. Tapi karena sang sutrdara sekaligus penulis naskah, terasa benar bahwa sutrdara berhasil membina aktornya un-tuk menyajikan pertunjukan yang komunikatif.

Disebut menarik, karena pertunjukan ini ber-langsung sekira empat jam. Sangat melelahkan tentunya menonton selama empat jam. Tetapi respons penonton, dari awal hingga akhir, tidak berubah. Gelak tawa atau malah aplaus, berkali-kali menggemuruh di gedung pertunjukan.

Jam terbang memperlihatkan, Yudhi semakin matang selaku sutra-dara. Dengan mengusung konsep Brechtian, ia berhasil menyajikan komedi satire itu menjadi tontonan yang menghibur. Terlihat, bahwa Yudhi tidak memiliki kendala dalam menge-drill para pemain, terutama dalam melapalkan dialog. Seringkali sebuah pertunjukan jadi tidak menarik, karena pemainnya tidak paham kalimat yang dimaksud oleh penulis naskah. Mung-kin paham, tapi gagal dalam melapal-kannya.

Secara keseluruhan, pertunjukan realis ini bisa disebut berhasil. Jika pun nampak ada yang terasa mengganjal, itu terlihat pada beberapa aktor yang belum benar-benar realis. Memang su-sah, aktor di bawah usia 30 misalnya, bila harus memerankan tokoh berusaia 50. Warna suara harus benar-benar di-ubah. Nah kemarin itu, sebut misalnya tokoh Budi Hartawan yang dimainkan oleh Maftuh Ihsan, terlihat intonansi dan gesture-nya belum memancarkan karakteristik seorang Direktur Kema-hasiswaan. Lengannya yang terlalu banyak bergerak, lebih pantas bila itu ia peragakan saat membaca puisi atau sedang berdeklamasi, ketimbang sedang berperan sebagai aktor teater.

Saya sering melihat, aktor yang jam terbangnya masih rendah, sering bermain dengan gerakan tangan yang berlebih, serta berjinjit saat harus melapalkan dialog marah, dan marahnya itu sering pula disampaikan dengan kata-kata yang berteriak. Dengan kata lain, dalam pertunjukan ini, yang terasa masih kurang, adalah bagaimana memainkan irama dan intonansi, supaya benar-benar nikmat saat disimak.

Barangkali bisa disebut contoh ideal yang memerankan tokoh tua usia, tapi aktornya masih muda, adalah Fadli Zon yang memerankan tokoh Rektor URI. Cara Fadli bicara (mela-palkan dialog), terlihat sudah seperti seorang Rektor dari perguruan tinggi ternama.

Tapi permakluman memang harus sering banyak diberikan pada dunia teater saat ini. Apalagi kepada teater kampus yang sifatnya teater belajar, mereka pasti kekurangan aktor yang matang secara usia, kecuali memang-gil para alumninya, atau menyewa “aktor bayaran” untuk memerankan tokoh-tokoh tertentu.

Terlepas dari semua kekurangan-nya, saya ingin memberi apresiasi pada pertunjukan itu, bahwa mulai langka teater-teater yang terus belajar, mendalami hakikat realisme dan menulis naskah. Dan itu, terus digeluti secara konsisten oleh Teater Sastra UI bersama I Yudhi Sunarto sebagai patronnya. *** doddi@jurnas.com

Friday, April 22, 2011

Para Penari Rindu Order


Para Penari Rindu Order

Pengantar: Tulisan ini mengurai salah satu profil sanggar tari di Jakarta yang menggeluti tarian tradisi. Para penari yang membawakan tarian tradisi lebih memiliki peluang untuk bisa tampil di event internasional. Apalagi bila pimpinan kelompok memiliki jaringan dengan pohak kedutaan, peluang untuk ikut even internasional lebih mudah lagi, setidaknya bisa tampil di Kedutaan Besar Indonesia.

Teks Doddi Ahmad Fauji

Sepuluh penari muda-mudi nampak sudah berpeluh. Tapi mereka masih bersemangat melanjutkan latihan Tari Glipang, sejenis tarian perang khas Jawa Timur. Waktu menunjukkan pukul 21.00 saat latihan usai.

Mereka nampak sedikit berdesak-desakan karena ruang latihan kurang luas. Sehari-harinya ruang latihan itu adalah rumah. Kalau mau berlatih, meja, kursi, dan perkakas lainnya dipinggirkan dulu.

Itulah pemandangan di Bilik Budaya Kasitha Smarandhana (tembang cinta putri jelita), yang terletak di Jl. Kemang Utara No 24, Jakarta Selatan. Selain Kasitha Smarandhana, di rumah milik Iin Kusumastuti ini juga bermarkas sanggar tari Viatikara. Kalau Kasitha berorientasi pada pelajar tari tradisi Nusantara, Viatikara berorientasi pada tari modern-kontemporer dengan dasar tari balet.

Para penari yang bergabung ke dalam Kasitha Smarandhana dan Viatikara itu, ada di antaranya yang memang sudah menempatkan tari sebagai suatu pilihan hidup. Sehingga jika tidak menari, ada yang kurang dalam hidup ini. Tapi dari generasi muda, tidak sedikit yang menampatkan tari sebatas hobi. Seperti yang dituturkan oleh Natasha Sutadisastra, mahasiswi Hubungan Internasional, Unievrsitas Mustopo Beragama.

“Saya masih menempatkan tari sebagai hobi. Orang tua saya bilang, kalau penari tradisi belum dikenal, susah dapat pemasukannya. Mungkin saya akan bekerja di belakang meja,” kata gadis kelahiran Jakarta, 1985 itu.

Memang ada kecemasan akan penghasilan saat bergulat dengan seni tradisi. Bukan hanya tari tradisi, tapi semua kesenian tradisi mengandung resiko sunyi dari order. Ak ada order, tentu tak ada pemasukan. Karena itu, seniman tradisi saat ini, di tanah air ini, harus memiliki diversifikasi usaha.

Semoga saja Prediksi John Naisbit melalui Global Paradox menemukan kebenarannya di abad ini. Menurut Naisbit, globalisasi akan mencapai titik jenuh, dan orang kembali melirik sesuatu yang uni. Sekarang banyak orang, di banyak negara, sedang dipersamakan selera estetikanya melalui industri entertainment dari Negeri Paman Sam.

Orang-orang sedang bergegas menjadi Barat, menjadi Amerika, termasuk makan di KFC atau minum cocacola. Pada saatnya, orang menjadi jenuh dan mulai mencari yang unik-unik. Sudah menjadi tabiat manusia, salah satunya terjebak menjadi snobis (ikut selera pasar), dan kemudian mencari yang unik-unik.

Menurut Naisbit, ketika sudah sampai pada titik jenuh dengan globalisasi, orang-oarng akan kembali melirik tradisi. Negara-negara yang memiliki kebinekaan tradisi, akan tampil ke permukaan. Tentu dengan catatan bisa memanfaatkannya.

Indonesia sebagai negara besar dengan 700-an suku bangsa, adalah salah satu negara yang kaya tradisi. Maka abad ini bisa menjadi milik bangsa kita, selain China dan India yang juga kaya dengan tradisi. Alfin Tofler melalui The Third Way mengisyaratkan, pemimpin masa depan dunia ini adalah Asia, yang tiada lain adalah China, India, Indonesia.

Karena itu, segala usaha mempertahankan, menggali, dan mengembangkan tradisi jangan hanya menjadi jargon di lingkungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, tetapi benar-benar mendapatkan porsi dan perhatian yang memadai dalam roda pembangunan. Salah satunya adalah membangun infrastruktur dan menggalakan festival seni tardisi, sehingga seniman tradisi tidak berhenti menjadi seniman rindu order. ***

Menanti Apresiasi yang Memadai

KASITHA Smarandhana didirikan pada 1990 oleh para mantan penari Istana Negara. Pioner-nya adalah Dedy Luthan yang dikenal sebagai penari, koreografer, dan dosen Institut Kesenian Jakarta. Dedy Luthan kini lebih berkonsentrasi menggeluti seni-budaya Kalimantan, terkhusus seni budaya Dayak. Ia sebenarnya berdarah Minang. Namun kesenian yang bersifat universal bisa melebur fanatisme etnis, dan yang tersisa adalah kemanusiaan tanpa sekat SARA.
Sudah lama Deddy hengkang dari Kasitha. Beberapa pendiri Kasitha masih setia meneruskan sanggar yang menyebut dirinya bilik budaya itu. Di antara personel dan pendiri Kasitha yang masih bertahan adalah Iin Kusumastuti dan Irin Prinka.

Misi pendirian bilik budaya Kasitha Smarandhana ini, menurut Iin adalah untuk melestarikan budaya Nusantara melalui tari tradisi. Anak-anak diajari menari tradisi dengan benar, melalui proses yang benar, sehingga mereka bisa menghayati tradisi, dan akhirnya mencintai tradisi.

“Pesertanya adalah anak-anak menengah ke atas. Ada dugaan anak-anak gedongan itu susah diajak mencintai tradisi. Tapi dugaan itu tidak sepenuhnya benar, animo mereka cukup baik,” kata mantan dosen Manajemen Seni Pertunjukan, IKJ, itu.

Iin menyebut, kendala untuk berlatih tari tradisi memang banyak. Selain apresiasi yang kurang pantas, juga sarana penunjang dan fasilitas pendukung relatif terbatas. Hingga saat ini, tempat latihan Kasitha mengambil tempat di rumah Iin yang terletak di Jl. Kemang Utara N0. 24, Jakarta Selatan.

Di tengah keterbatasan infrastruktur dan apresiasi, namun atas dasar kecintaan pada tradisi, Iin dan kawan-kawan mantan penari istana tak henti menari dan mengajarkan tradisi kepada generasi muda.

Tari tradisi itu sangat banyak. Satu aderah saja bisa memiliki puluhan tari tradisi. Namun Kasitha mengambil tari-tari tradisi paling populer kemudian dimodifikasi supaya  bisa sesuai dengan semangat jaman.

“Jenisnya banyak, setiap daerah memiliki variasi. Tetapi untuk konsumsi misi kesenian, kami ambil tarian yang populis, enak ditonton dan laku. Kalau dari Jawa Tengah misalnya kami ambil tari Golek Putri, Wira Pertiwi. Dari Jawa Barat kami ambil Tari Jaipongan, Bajidor Kahot. Dari Jawa Timur ada Tari Jejer, Ngremo, Glipang. Dari Sumatra Barat ada Tari Piring, Rantak. Dari Aceh kami pelajari Tari Saman atau Seudati. Dari Kalimantan kami ajarkan Tari Giring-giring. Dari Papua lumayan banyak, misalnya Tari Panah, Tari Perang. Dari Maluku, Sumatra Utara, NTT, NTB, Bali, dan lain-lain,  juga kami pelajari.”

Kini, di ruangan yang luasnya sekitar 5 X 8 meter, personel Kashita Smarandhana berlatih dan berdiskusi. Berlatih pada hari Selasa – Jumat, sedari pukul 14.00 – 21.00 yang terbagi ke dalam tiga kelas. Hasil latihan itu, sekira 40 penari masuk dalam kategori senior dan bisa diandalkan untuk pentas. “Yang belum layak pentas lebih banyak lagi,” kata Iin.
Yang menjadi agenda Iin dan kawan-kawannya sekarang adalah meningkatkan harkat dan martabat penari tradisi. Bayangkan, katanya, saat tampil dalam ulang tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mereka mendapat honor Rp20 juta. Penarinya ada 30 orang, dan penabuh musik ada tujuh orang, dan ditambah pembantu umum. “Sedangkan seorang penyanyi pop pada acara sama bisa menerima honor Rp60 juta. Ini kan benar-benar jomblang. Kalau di luar negeri, penari tradisi mendapatkan honor yang lumayan dan bisa menghidupi dirinya.”

Tapi Iin tidak kapok. Dan karena itulah dia merasa senang kalau anggotanya ada yang menerima order, misalnya untuk menari tradisi dalam upacara pernikahan, sebab itu artinya ada pemasukan tambahan. Iin sendiri mengandalkan pemasukan dari usaha catering, dan bukan dari menari. “Belum, belum bisa seniman tradisi itu hidup dari profesi yang dijalaninya,” kata pemilik catering Gayatri Sekarwilis itu.

Beruntunglah Iin ini mantan penari istana, juga mantan dosen, jadi memiliki relasi yang cukup luas, sehingga Bilik Budaya Kashita Smarandhana ini memiliki kesempatan menjadi duta kesenian ke luar negeri, seperti ke Amerika, Eropa, Asia. Bulan Oktober kemarin, mereka tampil di Sanghai, China, dibawa oleh rombongan Presiden SBY.

“Kini saya sedang berdoa, semoga ada sponsor untuk festival tari tradisi di Italia bulan Maret nanti,” kata Iin.

Ya, semoga saja ada maesenas kebudayaan yang terketuk menghidupkan tari tradisi. ***

Mengapa Mereka Memilih Tradisi?

SAYA lebih suka tari tradisi, karena bergerak dari dalam jiwa. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, bergerak semua. Saya tidak menyebutkan tarian yang lain itu jelek. Saya pernah mencoba modern dance misalnya. Tapi saya lebih suka tari tradisi.

Pernyataan itu disampaikan Natasha Sutadisastra, mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Mustopo Beragama, Jakarta Selatan, saat berbincang-bincang dengan Jurnal Nasional di bilik budaya Kasitha Smarandhana, Jl. Kemang Utara No 24, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Mahasiswi semester tujuh yang sudah menari sejak masih dini itu tercatat menjadi anggota Kashita Smarandhana sejak setahun setengah yang lalu.

Natasha kecil pernah dibesarkan di Kanada sewaktu ayahnya menjadi konsulat pada 1993-1996. Bisa dikatakan, semua KBRI di pelbagai negara memiliki sanggar untuk pelatihan seni tradisi Nusantara. Merekalah para promotor seni-budaya tradisi di negara tempat KBRI berada.
“Sedari kecil saya sudah diajari tari Bali, Jawa, Minang. Sewaktu kembali ke Jakarta, saya pernah mencoba modern dance, tapi saya meresa lebih pas dengan tradisi. Saya bisa belajar tentang karakter. Dan saya menemukan kepuasan batin,” kata gadis kelahiran Jakarta, 1985 itu.

Alasan yang dikemukakan Natasha dalam menjatuhkan pilihan pada tari tradisi terdengar senada namun disampaikan dalam bahasa yang berbeda oleh Aziz, Alio, Susilo yang sama-sama menerjuni tari tradisi di Kasitha Smarandhana. Menurut Azis, ada kepuasan yang sulit dikatakan. Menurut Alio dan Susilo, tari tradisi dapat dihayati dan dinikmati, bukan sekadar bergerak. Intinya, tari tradisi berhubungan dengan kepuasan batin yang sulit dinilai.

Aziz, anggota Kasitha Smarandhana sejak 1994, mulai menari pada 1976, atau sekira usia 19 tahun. Kelahiran Madura 1958 itu pertama berkenalan dengan tari tradisi Jawa Timur-an. Ketika bermigrasi ke Jakarta, Aziz diajak oleh Sumarsono (putra mantan Gubernur DKI Jakarta) untuk menari tradisi.

“Jadi, sudah panggilan hati untuk menari tradisi,” kata instruktur tari di Kasitha itu.

Alio dan Susilo memang dibesarkan dalam lingkungan tradisi. Penari yang kebetulan bertetangga itu, yang kebetulan juga sama-sama kelahiran 1976 itu, para orangtuanya adalah aktivis wayang orang Baratha yang hingga kini masih eksis dan rutin menggelar pertunjukan di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Persentuhan keduanya dengan tradisi sudah mendarah daging. Faktor genetik dan lingkungan ikut menumbuhkan minatnya pada seni tari tradisi.

“Sampai-sampai orang tua saya menyekolahkan saya di Yogya karena khawatir saya akan mengikuti jejaknya. Tapi kembali ke Jakarta, saya kembali pada tradisi,” tutur Susilo.
“Saya pernah belajar tari modern, tapi kepuasan tetap ada pada tari tradisi. Tapi ada untungnya juga, saya lebih dikenal karena menggeluti tari tradisi,” kata Alio.

Di tengah benturan budaya antar-etnis, antar-bangsa yang semakin gencar akibat gencarnya globalisasi informasi, masih ada segelintir orang yang tetap bersikukuh mempertahankan tradisi. “Kalau bukan kami siapa lagi,” kata Aziz.

Menurut Iin Kusumastuti, pemimpin Bilik Budaya Kasitha Smarandhana, sebenarnya banyak orang-orang yang mau menerjuni tradisi, tetapi konsekuensinya terlalu berat. Di era konsumerisme ini, menggeluti tradisi sama dengan menerjunkan diri ke dalam kecemasan. “Penghargaannya belum seimbang,” kata Iin.

Bukan hanya itu alasannya. Minimnya fasilitas dan akses juga membuat seni tradisi kita jadi merangkak dalam prakteknya. “Banyak anak-anak gedongan yang mau belajar tari tradisi. Tapi tempat latihan dan gurunya sangat terbatas,” kata mantan Penari Istana tahun 70-an itu.

***

Tulisan ini pernah dimuatkan di Koran Jurnal Nasional, tapi saya lupa edisi berapa. Disimpan di blog ini sebagai dokumentasi, semoga berguna untuk referensi.

Thursday, April 21, 2011

Tegaknya Pantun Kami

e
Masyarakat dan pemerintah Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, terus bergiat menggebyarkan seni pantun. Kita harus memberi apresiasi.

Teks dan Foto oleh Doddi Ahmad Fauji

Sepenggalah tiba. Untuk kedua kalinya saya menyeberang ke Pulau Penyengat, Provinsi Kepulauan Riau, dan berziarah ke makam Raja Ali Haji yang terdapat di kompleks pemakaman Engku Puteri Raja Hamidah. Ada puluhan makan di situ.
Masih seperti dulu, batu nisan di pemakaman itu umunya diikat dengan kain warna kuning yang rada dekat dengan warna kuning bendera Partai Golkar. Tapi kuning yang ini lebih tua, dan jauh sebelum Indonesia berdiri, batu-batu nisan orang besar di sana selalu diikat dengan kain kuning.
“Kain ini adalah tanda penghormatan dari peziarah kepada almarhum. Semakin tebal kain pembungkusnya, menunjukkan tokoh yang diistirahatkan itu makin dihormati,” kata seseorang, dulu waktu kali pertama saya menziarahi makan Raja Ali Haji.
Pada masanya, tokoh Engku Puteri Raja Hamidah pasti memiliki peranan penting dalam struktur pemerintahan Kesultanan Johor – Riau – Pahang – Lingga. Engku Puteri disebut dalam keterangan di makam itu adalah Pemegang Regalia Kerajaan (lambang-lambang kerajaan). Makamannya diberi rumah untuk berteduh, sedangkan makam Raja Ali Haji berada di pekarangan rumah itu. Ada penduh juga, tapi baru dibuatkan belakangan.
Namun kini, nama Raja Ali Haji yang pernah menggubah Gurindam 12 itu, jauh lebih besar bahkan dari nama Sultan Riau sendiri. Nama Ali Haji melintas batas nusa, hingga dikenal oleh siswa-siswa sekolah se-Indonesia, dan dikenal pula oleh rumpun Melayu lainnya (Malaysia, Singapura, Brunei, sebagian Thailand dan Filifina).
Benar kata orang Yunani, vita brevis ars longa (hidup itu singkat sedangkan karya abadi). Sebagai sastrawan kerajaan, tentu Raja Ali Haji bukan hanya menggubah Gurindam 12. Tapi karya inilah masterpiece-nya, hingga dipahatkan pada dinding marmer yang mengelilingi rumah pemakaman Engku Puteri Raja Hamidah. Pada 11 November 2004, Raja Ali Haji pun dinisbatkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Raja Ali Haji sudah lama wafat. Usia hidupnya tahun 1808 – 1873. Tetapi karyanya terus hidup, memberi inspirasi bagi masyarakat Melayu di sekitar Kepulauan Riau dan Riau daratan. Gurindam adalah salah satu jenis puisi lama, selain bidal, seloka, syair, dan lain-lain. Intinya, gurindam adalah seni sastra yang saat itu dilisankan.
Selain gurindam, sastra lisan yang sangat popular di Tanjungpinang hingga kini adalah pantun. Pantun bukan hanya milik orang Melayu Riau. Orang Jawa, Sunda, Bali, Papua, Filifina, Thailand, dan saya yakin ada di daerah lain juga, mengenal pantun namun dengan istilah yang berbeda-beda.
Tetapi yang menarik dan perlu mendapat apresiasi, masyarakat Tanjungpinang ingin menjadikan daerahnya sebagai Negeri Pantun. Hal ini bisa dimaklumi, karena hingga kini pantun masih memasyarakat di sana. Bahkan mereka sepakat menggebyarkan pantun bukan sekadar life service, tetapi menjadi akar tradisi yang diharapkan bakal memberi ruh pada elemen kebudayaan lainnya. Sudah enam tahun, mereka menggelar festival pantun sebagai sarana untuk mempertahankan denyut pantun.
Kini, jangankan orang tua dan para pemantun, anak SD pun sudah belajar pantun melalui program ekstrakurikuler. Juga anak SMP dan SMA, serta sekira 70 sanggar seni, kembali mempelajari pantun dan mencipta pantun-pantun baru.
Sehari sebelum ke Pulau Penyengat, kami tiba di Pulau Bintan di mana Kota Tanjungpinang terdapat. Kota Tanjungpinang adalah ibukota Provinsi Riau Kepulauan. Geliat kehidupan di kota ini tidak kalah dengan kota Batam. Kalau saya perhatikan masyarakatnya, namapaknya suku Melayu bukan mayoritas di kota ini. Mungkin suku China lebih banyak dari orang Melayu.
“Tapi kan dulunya orang Melayu berdaulat di Tanjungpinang. Maka tradisi lokal di sini ya tradisi Melayu. Kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung, jadi semua orang harus menjunjung budaya Melayu,” kata Abdul Kadir Ibrahim, Kepala Humas Tanjungpinang yang menyambut rombongan wartawan.
Saat di Tanjungpinang itulah saya diajak oleh Asrizal Noor, yang mengundang saya ke Bintan, untuk mengelilingi beberapa tempat yang menjadi pusat aktivitas pantun. Sore hari, saya bersama rekan wartawan dari Kompas, Media Indonesia, Forum, Republika, bertemu walikota Tanjungpinang Suryatati A. Manan. Walikota menyatakan, sudah mengajukan surat ke Hak Kekayaan Intelektual Indonesia (HAKI) yang dinaungi Departemen Hukum dan HAM, meminta agar Tanjungpinang dinyatakan sebagai Negeri Pantun. Tapi permohonan itu kurang tepat, karena yang diurus HAKI adalah paten untuk karya, dan bukan menahbiskan sebuah daerah menjadi negeri anu atau negeri anu.
Ibu Wali murah senyum namun hemat kata, meningatkan saya kepada mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tentu saya sangat menghargai niat baik Walikota yang merupakan representasi masyarakat Tanjungpinang. Dan saya tahu persis, Suryatati A. Manan adalah penyair. Ia pernah membacakan puisinya di Teater Studio dan di Graha bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Penyair memperjuangkan pantun, sudah selayaknya.
Selesai bertemu walikota, saya dan rombongan dipertemukan dengan anak-anak SD 01 Tanjungpinang. Mereka adalah anak-anak yang giat belajar pantun. Mereka memperkenalkan diri seorang per seorang dengan menggunakan pantun. Begini contohnya.

Membeli baju di Arab Saudi
di Arab Saudi melihat kera
Saya ingin memperkenalkan diri
Nama saya Aldi Saputra.

Lalu yang lain memperkanlkan diri.

Bulan purnama putih melati
si burung pipit ditembak preman
saya bernama noni asti
berlesung pipit murah senyum.

Ketika institusi pendidikan berhasil menyemai apresiasi kepada anak-anak, kecemasan bakal memudarnya seni tradisi sebagai salah satu akar dan ketahanan budaya, tidak perlu dibesar-besarkan hingga jadi paranoid. Saya yakin, tanpa harus ada HAKI, orang akan menahbiskan Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun, sebab toh di Tanjungpinang pantun itu masih menjadi tradisi dari mulai MC membuka acara, perkenalan, pernikahan, termasuk mengeritik lawan.
Judul di atas, terinspirasi oleh antologi cerpen karya almarhum Ali Akbar Navis yang berjuluk Robohnya Surau Kami. AA Navis cemas mencermati perubahan peradaban yang melibas sendi-sendi tradisi Minang. Secara metaforik, ia beranalogi lewat tradisi bersurau yang makin melindap karena terhembus angin kencang perubahan itu.
Juga ketika peradaban dunia memasuki iklim globalisasi, subkultur lokal di Nusantara pada pudar satu demi satu. Tatanan jadi rusak, dan kita menjadi bangsa yang mengambang antara mempertahankan tradisi masa lalu yang sudah tercerabut, atau masuk total ke alam globalisasi (baca: westernisasi). Adalah rugi besar jika kita masuk total ke dalam kebudayaan baru yang digubah oleh Eropa dan Amerika. Sebab kita hanya akan menjadi pengekor, dan mengkonsumsi apa yang mereka tawarkan. Dengan demikian, imperialisasi dan kolonialisasi Barat terhadap Timur seperti yang diingatkan dengan keras oleh Bung Karno, memang terbukti, dan kita ikut andil di dalam “nekolim” itu.
Dalam kondisi seperti itu, menggali kembali tradisi masa lalu yang kaya nilai filosofi sembari memodifikasinya dengan semangat jaman, menjadi keharusan. Saat ini, bukan tidak ada jalan lain, namun yang paling mudah ditempuh memang kembali memperkuat basis tradisi. Maka apa yang dilakukan masyarakat dan pemerintah Kota Tanjungpinang dalam menggebyarkan ruh pantun, perlu kita respons secara positif. ***

Butet Kartaredjasa Jadi Pengacara Kondang


photo: www.indonesiakreatif.net
Butet Kartaredjasa kembali bermonolog dengan lakon Sarimin. Ia semakin kukuh sebagai aktor sampakan.

Doddi Ahmad Fauji

Jika ingin pandai bicara, jadilah pengacara. Pernyataan di atas, tersirat dalam naskah monolog karya Agus Noor berjuluk Sarimin. Lakon ini, dipanggungkan oleh Butet Kartaredjasa di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada 14 – 18 November ini. Pertunjukan ini, bagian dari perhelatan Art Summit Indonesia ke-5. Dengan gaya sampakan (bermain-main) sebagai mana biasa Butet akting, lakon ini memang tarasa hidup. Panggung benar-benar menjadi tempat belangsungnya sandiwara kehidupan.
Syahdan menurut sohibul hikayat, pengacara adalah mereka yang pandai bersilat lidah. Kata dipermainkan, sehingga fakta menjadi jungkir balik. Kebenaran dan kesalahan yang berseberangan, bisa bertukar tempat. Dalam puisi yang ditulis Acep Zamzam Noor, juga diungkapkan, jika ingin pandai berbicara, jadilah pengacara.
Secara benderang dituturkan, ulah salah seorang pengacara kondang. “Aku ini hanya membela orang salah. Jadi kau harus mengaku salah,” kata pengacara yang mengaku bernama Binsar itu kepada tersangka Sarimin.
Sarimin hanyalah tukang doger monyet (topeng monyet) yang keliling kampung mencari sesuap nasi. Namun suatu hari, ia harus berhadapan dengan hukum. Ia tidak mengerti hukum apalagi menghapal pasal-pasalnya. Yang ia tahu, berbuat kebaikan sudah sesuai dengan tuntutan hukum. Namun, berbuat kebaikan di negeri ini malah berbuah petaka.
Photo: www.indonesiakreatif.net
Alkisah, suatu hari ketika keliling kampung bersama monyetnya, Sarimin menemukan KTP di Taman Lawang. Sayang ia tidak bisa membaca, jadi ia tidak tahu milik siapa KTP itu. Pergilah ia ke kantor polisi untuk melaporkan penemuannya. Namun polisi di bagian Yanmas (Pelayanan Masyarakat), enggan menerima laporan Sarimin. Polisi itu pura-pura sibuk mengetik ketika Sarimin menghadap. Ketika sarimin menunggu di kursi tunggu, polisi itu malah tidur. Bagitu sarimin menghadap kembali, lagi-lagi ia pura-pura sibuk mengetik. Kejadian ini terus berulang. Sarimin disuruh menunggu hingga tertidur lebih dari 1.163 hari.
Di hari yang nahas, datanglah polisi yang lain, dan mendapati Sarimin sedang tertidur. Polisi membangunkan Sarimin, dan bertanya mengapa sampai tertidur di kantor polisi. Sarimin menyatakan hendak melaporkan penemuan KTP. Polisi memeriksa KTP itu. Ia terkejut, karena ternyata itu adalah KTP milik Hakim Agung.
Polisi menanyakan kepada Sarimin mengapa tidak segera melapor, sebab itu adalah KTP milik orang penting. Sarimin mengatakan faktanya. Tapi polisi balik menuding, jangan-jangan Sarimin telah mencuri KTP itu, sebab tidak masuk akal menemukan KTP Hakim Agung di Taman Lawang. “Apa kau kira Hakim Agung itu seperti mahasiswa, yang karena tidak kuat bayar lalu menaruh dulu KTP?” bentak polisi.
Intinya, Polisi mengakali supaya Sarimin dinyatakan bersalah. “Bolehlah aku membuat laporan yang bisa menyelamatkanmu, kau akan bebas dari semua dakwaan, tapi kau harus mengerti,” kata polisi itu.
Sarimin tentu tidak punya uang lima juta. Harga diturunkan polisi hingga tiga juta, dua juta, satu juta, 500 ribu. “Ya sudah, 100 ribu saja, untuk pengganti uang rokok,” kata polisi itu.
Sarimin tak punya uang sekalipun hanya 100 ribu. Padahal, pada usia 57 tahun ini, sudah 40 tahun ia bekerja sebagai tukang hibur monyet keliling. Kalau saja ia seorang pelukis, sudah layak mengadakan pameran restrospektif 40 tahun berkarya.
Sarimin ditahan. Datanglah pengacara tenar bernama Binsar untuk membelanya. Obrolan antara Binsar dan Sarimin sungguh mengejutkan. Sarimin tetap mengaku tidak bersalah. Ia sebenarnya ingin berbuat baik. Tapi malah balik dituding.
“Bagaimana aku bisa membelamu kalau kau merasa benar. Aku ini pengacara, tugasnya adalah membela orang yang salah, bukan membela orang yang benar. Dan di situlah keahlianku sebenarnya. Orang yang salah, bisa kupermainkan hingga jadi bebas dari penjara,” kata pengacara.
Tapi mengapa pengacara kondang mau membela Sarimin yang tidak punya uang?
Karena Sarimin bisa menjadi simbol dari perjuangan bila ia bersedia mati dengan cara tragis. “Seseorang dinyatakan pejuang diukur juga dari kadar kematiannya. Semakin dramatis ia mati, semakin hebat perjuangannya. Tinggal kau pilih, kau mau dibunuh dengan cara apa? Mau diracun arsenik atau dihajar hingga babak belur? Aparat bisa melakukannya. Nah, nanti aku akan membelamu, memperkarakan kematianmu, sehingga kau menjadi simbol perjuangan. Dengan begitu, aku pun akan disebut pembela pejuang. Namaku berhak disejajarkan dengan nama-nama para pejuang. Akupun memiliki kesempatan untuk memperoleh Yap Tian Hien Award.”
Kali ini, Butet membawakan karakter yang lebih beragam. Untuk kali pertama, Butet memerankan orang Batak dengan logat Batak. Ternyata penampilan Butet cukup meyakinkan sebagai seorang pengacara. Ilustrasi musik yang digarap Jaduk Ferianto, menambah hidup pertunjukan Butet.
Photo: kompas.com
Monolog kali ini berusaha menghadirkan adegan yang lebih teatrikal, yaitu kelengkapan seting panggung, dan interaksi antar-tokoh meski sang tokoh dihadirkan dalam bentuk boneka wayang. Monolog jadi tidak tunggal nada.
Bagian paling menarik dari akting Butet adalah ketika memarodikan polisi dengan tokoh Dursasana dalam pewayangan. Akting Butet pada adegan ini nampak megah. Keculasan polisi ketika berhadapan dengan orang lemah, terasa benar adanya.
Ada adagium di tengah masyarakat tentang kelakuan polisi ini. Bila hilang ayam, lalu melapor ke polisi, maka bersiaplah hilang kambing. “Tidak akan kau temukan keadilan di kantor polisi,” begitu pesan dalam film Good Father yang disutradarai Francis Copola.
Butet adalah aktor Teater Gandrik yang dikenal dengan akting sampakan, yang bermain seolah-olah memerankan seorang tokoh ini. Ini adalah akting gaya Bertolt Brecht. Ajaran Brecht memungkinkan seorang aktor melakukan improvisasi seluas-luasnya, dan ajaran ini sangat tepat diterapkan oleh Butet pada lakon Sarimin. Juga pada dasarnya, Butet ini adalah seorang humoris yang memiliki jiwa untuk melawak.
Dia seoerang komedian yang mungkin akan “tersiksa” jika harus bermain dengan akting inner action seperti yang dititahkan oleh Stanislavsky dalam teater realis. Hal itu terlihat ketika ia bermain dalam lakon Kunjungan Cinta yang dipentaskan Teater Koma beberapa waktu yang lalu. Butet tidak bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan humor-humornya, padahal pertunjukan Kunjungan Cinta diarahkan oleh N Riantiarno untuk tidak melakukan improvisasi.

Bom Waktu Seniman Aceh

Musibah tsunami dan perjanjian damai Helsinki, telah menjadi talu yang menabuh semangat seniman Aceh untuk lebih kreatif dari masa silam yang kelam.

Doddi Ahmad Fauji

Sebagian pemirsa televisi mengenal seniman tutur Agus Nuramal yang lebih dikenal sebagai Agus PM Toh. Ia kelahiran Kota Sabang. Beberapa kali muncul di televisi untuk membawakan iklan perdamaian, atau mempertontonkan kebolehannya bertutur ala PM Toh. Teater tutur yang dibawakan Agus Nuramal, bisa dikategorikan ke dalam seni pertunjukan kontemporer Aceh yang berbasis tradisi. Sedikit yang tahu tradisi bertutur ala PM Toh itu apa dan bagaimana?

Direktur Eksekutif Perhimpunan Seniman Aceh se-Jabodetabek (Sajak), Teuku Zulkarnaini (dipanggil Ipoel) memberi terang, istilah PM Toh ternyata berasal dari nama perusahaan otomotif bus yang melayani trayek Jakarta – Banda Aceh. Kala itu, ada seniman tutur bernama Teungku Adnan. Ia adalah gurunya Agus Nuramal. Setiap tampil, Adnan sering menirukan suara kelakson bus PM Toh, sehingga masyarakat menjulukinya Teungku Adnan PM Toh. Agus Nuramal pun dilabeli PM Toh sekalipun tidak suka menirukan suara klakson bus itu.

“Kalau menyebut PM Toh terkesan sebuah aliran kesenian khas Aceh, padahal itu nama bus,” kata Ipoel saat ditemui di kantornya, Rabu (5/12/2006).

Adnan memiliki kemampuan menampilkan seni tutur setelah menimbanya dari Mak Lapeh yang cukup terkenal di kawasan Aceh Selatan. Saat itu, Mak Lapeh hanya bertutur atau mendongeng, tanpa mengunakan alat peraga. Namun caranya mendongeng, mengandung kekuatan imajinasi karena cerita yang dituturkan ada kaitannya dengan realitas sosial masyarakat Aceh kala itu. Imajinasi yang hidup itu telah mengundang masyarakat untuk menyimaknya.

Adnan melakukan pengembangan seni tutur tradisional ini dengan mempertegas imajinasi melalui alat peraga seperti wayang. Lalu murid Adnan, yaitu amun Agus Nuramal tadi, melakukan radikalisasi pengembangan penggunaan peralatan itu. Di tangan Agus, benda-benda keseharian bisa menjadi personifikasi para tokoh yang dituturkannya. Sandal, sapu, lap, taplak, apapun, bisa dihadirkan oleh Agus sebagai mediasi untuk mempertegas imaji tuturan. Hal ini dilakukan oleh seniman-seniman kontemporer Indonesia lainnya seperti Slamet Gundono atau Sujiwo Tejo.

Sebenarnya, seni mendongeng sangat mendunia. Inilah kesenian pertama umat manusia. Menyebar ke berbagai arah angin, dan membumi pula di Nusantara. Naskah La Galigo yang ditemukan di Bugis, yang usia naskah itu sudah cukup tua, menandai betapa sudah tua pula usia seni di Nusantara.
Seni tutur kemudian berkembang dengan menambahkan alat peraga, baik berasal dari benda maupun diperagakan oleh manusia. Seni teater, jelas merupakan pengembangan dari seni tutur. Juga wayang, pada mulanya adalah seni mendongeng yang terus bertumbuh-kembang hingga nampak seperti sekarang ini. Di Nusantara, seni mendongeng menjadi kegandrungan masyarakat, dan itu menjadi sebab masyarakat Nusantara lebih akrab dengan citra audio tinimbang citra bacaan, yang membuat masyarakat Nusantara menjadi homo aliterasi atau niraksara seperti disinyalir oleh kritikus sastra A Teeuw dan Ajip Rosidi. Maka seni bertutur seperti yang dipertunjukkan oleh Agus Nuramal, nada-nadanya tidak akan lekang digerus oleh jaman. Apalagi bila seni bertutur itu terus-menerus dimodifikasi seperti yang dilakukan oleh Agus.

Memodifikasi seni tradisi supaya selaras dengan semangat jaman, itulah yang disebut kontemporerisasi. Dalam bidang kontemporisasi seni pertunjukan, seniman Aceh mengalami banyak kendala, sehingga kemunculan kesenian yang kontekstual dengan waktu dan tempat, amat jarang lahir dari daerah Barat Nusantara ini. Kendala itu, menurut Kepala Sekolah Menulis Do Karim, Fozan Santa, bersumber dari gangguan keamanan.
Konflik yang berkepanjangan sejak Aceh bergabung dengan RI, nyaris tidak surut, membuat seniman Aceh kurang memiliki waktu dan kesempatan yang nyaman untuk mengembangkan seni tradisinya.

“Bahkan dibandingkan dengan tahun 90-an, seni pertunjukan kontemporer Aceh sangat mengalami kemunduran,” kata Fozan Santa yang dihubungi via telepon.

Tidak bisa dimungkiri, gangguan keamanan semasa konflik membuat proses kreativitas mengalami abnormalitas, misalnya latihan jadi terganggu, ruang pertunjukan jadi jarang karena banyak yang dirusak, dan penonton pun takut keluar malam.

“Pada masa itu, akhirnya seni pertunjukan banyak dilakukan siang hari, dan terbatas ditonton oleh kalangan ekslusif,” tambah Fozan.

Salah satu arena yang memacu pengembangan kreativitas seni adalah festival. Melalui festival, para seniman dapat mengukur keberhasilan daya cipta, dan para seniman dapat merayakan pertandingan gagasan dan pembaruan. Semasa konflik, festival kesenian di Aceh boleh disebut susut.

Pada bulan Agustus 2004, Gubernur Aceh Abdullah Puteh kala itu, kembali menghidupkan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Ajang PKA pernah dilaksanakan tiga kali, yang terakhir (PKA III) dihelat pada 1992. PKA tertunda 12 tahun karena konflik yang meletus. Untuk penyelenggaraan PKA IV, Gubernur Puteh membangun Taman Ratu Safiatuddin di daerah Lamprit, Banda Aceh, dengan dana milyaran. Di area lima hektar itu, dibangun 21 anjungan yang masing-masing dimiliki oleh kabupaten/kota se-Aceh yang memang berjumlah 21 distrik.

Rencananya, PKA akan terus dirayakan, dan Taman Ratu Safiatuddin akan dijadikan semacam Taman Mini Indonesia Indah yang ada di Jakarta. Tetapi Puteh kesandung kasus korupsi, yang membuatnya dilengeserkan dari kedudukan gubernur, lalu musibah tsunami merontokkan taman itu. Festival seni melalui PKA pun tersendat. Padahal melalui PKA, di mana saya juga ikut menonton PKA IV, pelbagai potensi kesenian Aceh bermunculan. Seni didong (dari Gayo), dabus (debus), tari Saman dan Seudati, juga silat, terlihat begitu meriah. Saat itu, saya melihat grup tari Saman yang membawa tambang. Selama menari sambil beratraksi, tambang itu dibentuk menjadi perahu. Tentulah ini adalah saman kontemporer.

Oleh sebab kondisi-kondisi di atas, menurut Fozan Santa yang dikenal sebagai sineas cum penulis ini, tentu sekarang-sekarang ini sulit berharap mucul kesenian-kesenian kontemporer dari Aceh dengan semangat pembaruan yang radikal dan mencengangkan. Apalagi Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam yang menerapkan hukum syariat, semakin membuat kreativitas seni terdinding oleh aturan-aturan syariat.
“Bahkan dulu, aktor teater saja tidak ada perempuan. Bila ada tokoh perempuan, ya dimainkan oleh laki-laki,” kata Fozan.

Posisi daerah Aceh berada di paling ujung Barat dan cukup jauh dari Pulau Jawa, menyebabkan pertukaran informasi di bidang kesenian menjadi lamban. Sedangkan dalam kerativitas seni, dibutuhkan kompetitor agar seniman terus berpacu menjadi yang terbaik. Letak geografis inipun menjadi kendala bagi pengembangan seni kontemporer. Adapun jika menengok kesenian Malaysia, meski jaraknya dekat, karya mereka tidak lebih baik dari seniman Pulau Jawa. Dalam soal kesenian, Negeri Jiran itu tertinggal beberapa langkah dari seniman Nusantara. Mungkin di era konvergensi ini, di mana informasi sudah bisa diakses lebih luas dan cepat, seniman Aceh akan lebih mudah bergeliat. Perbandingan tidak mesti lagi ke Jawa, tapi langsung ke berbagai seniman dunia.

Tetapi Fozan optimistik, di masa hadapan, seni kontemporer dari Aceh akan muncul dengan mencengangkan. Apalagi musibah tsunami, pada sisi lain, ternyata membawa berkah. Banyaknya dana dan kesempatan bagi para seniman untuk melahirkan kreasi baru yang dirujuk dari seni tradisi, menjadi katalisator optimistik itu. Juga banyaknya NGO dari luar negeri yang memanfaatkan seni pertunjukan sebagai media terafi psikologis bagi korban tsunami, menjadi instrumen untuk menumbuhkembangkan kesenian Aceh yang kontekstual.

Juga modal untuk mengembangkan kreativitas bagi seniman Aceh, sangat terbuka lebar, sebab seni tradisi yang menjadi landasan tumbuh-kembang, masih subur dirayakan masyarakat. Sebut misalnya tari Saman dan Seudati, telah menjadi kebudayaan rutin semisal sembahyang. Saat ini, upacara kenduri di Aceh, kurang afdol kalau tidak disertai tarian tradisi. Pun setelah musibah tsunami dan perjanjian damai Helsinki, kehendak seniman Aceh untuk lebih keratif, seperti memancar dari sumur air yang jernih. Pada saatnya, seniman Aceh akan meledak dengan kerativitas. ***

Thursday, April 14, 2011

Bola-bola untuk Peradaban


Resiko dari permainan agresif adalah sulit dihindarkannya terjadi benturan keras antar-pemain, termasuk benturan dengan kawan sendiri. Dalam Euro 2008 ini, berkali-kali kita saksikan tayangan reply dengan teknik zoom in dan slow motion, para pemin bertubrukan badan atau berbenturan kepala, yang membuat pemain itu harus diperban kepalanya. Saat tanding Ceko melawan Turki misalnya, masing-masing tim dapat jatah satu jatah buruk: kepala pemainnya terpaksa diperban.

Saya melihat, tiada maksud dari para pemain untuk berbuat curang. Namun agresivitas yang begitu bergolak, membuat benturan badan atau kepala kerap terjadi dengan begitu keras. Sedangkan tubuh manusia di mana pun sama, terdiri dari tulang dan daging. Perbenturan itu membuat mereka cidera. Betapa menyedihkan jika setiap usai pertandingan harus selalu ada pemain yang cidera. Lapangan hijau sebagai simbol perdamaian, telah berubah menjadi boxing liar ala gladiator.

Dan akan lebih menyedihkan lagi jika cidera itu terjadi karena kekasaran atau kecurangan pemain. Lebih-lebih menyedihkan lagi jika pemain curang itu ternyata pemain bayaran yang ditugasi oleh mafia (mungkin bandar judi) untuk mencederai pemain brilian.

Agresivitas saat ini terjadi di berbagai elemen kehidupan. Senin (16/6) pagi, salah satu stasiun televisi swasta menayangkan berita agresivitas siswi-siswi SMU di Pati yang tergabung dalam gang... Ternyata pukul-memukul secara brutal kini bukan lagi dominasi siswa lelaki. Agresivitas juga terjadi di bidang seksualitas. Anak-anak SMU membuat film adegan porno, anggota DPR yang harusnya terhormat, juga bikin film cabul. Bupati ... resah mau memeriksa keperawanan anak-anak sekolah di daerahnya. Ini bukti betapa hidup makin agresif, bukan?

Sport mengandalkan pisik. Selama pemain PSSI pisiknya buruk, ya prestasinya akan tetap buruk. Pisik yang kuat membuat jiwa juga kuat. Jiwa yang kuat pasti pantang menyerah seperti pemain Turki yang sudah ketinggalan dua kosong, Begitulah keyakinan orang Yunani terhadap sport, sebagaimana pedoman atletik yang berbunyi mens sana incorpor sano (Mat, koreksi diksinya ya). Ketika bidang lain saja sudah agresif, apalagi bidang sport yang mengandalkan pertarungan tubuh.

Mari kita cermati sepakbola sekarang, semuanya serba-agresif. Karena itu, Italia yang menjadi pelopor kuda-kuda catenezio yang lamban itu, kini mulai meninggalkan jurus itu, sebab sudah banyak jurus lain yang lebih jitu untuk membobol gawang lawan. Bertahan itu memang permainan yang buruk, walau terkadang justru menjadi faktor kemenangan. Dalam sepakbola dikenal rumus, pertahanan terbaik ialah menggempur lawan habis-habisan.
Teori ini menemukan kebenarannya saat Ceko mulai bertahan di babak kedua, dan mereka menjadi kurang agresif dalam menyerang. Akhirnya, Ceko harus menangis. Saya kira, bukan hanya warga Ceko yang menangis, tetapi para pengagum fanatis akan turut menghela nafas kekecewaan.

Saya termasuk masuk sedih ketika Ceko kalah secara dramatis, sebab saya termasuk pengagum bangsa Ceko untuk dua alasan. Pertama, Ceko tidak pernah menjadi bangsa imprealis sebagaimana umumnya bangsa-bangsa Eropa Barat. Kedua, di sana pernah ada seorang seniman, tepatnya seorang dramawan, bernama Paclav Havel yang menjadi inspirasi masyarakat untuk melakukan gerakan moral melawan penguasa yang lalim lagi despotan (mat, cari ya siapa diktator Cekoslovakia di masa itu).

Saya terkesimak oleh sekelumit kalimat yang diberi judul Artikel 217, yang berupa seruan moral kepada diktator Cekoslowakia kala itu, agar membenahi moral kekuasaan. Artikel 217 itu berupa petisi atau traktat yang gamblang dan sangat berani agar sang tiran mundur dari kekuasaan. Artikel itu ditandatangani oleh orang-orang yang menamakan dirinya sebagai pembangkang. Salah satu yang mengaku diri pembangkang itu adalag Paclav Havel, dramawan satu-satunya di dunia yang dipercaya oleh halayak ramai untuk menjadi Presiden Cekoslowakia. Paclav pun menjadi Presiden setelah Revolusi Beludru yang didukung mahasiswa berhasil menumbangkan diktator. Paclav memerintah dan memebenahi tatanan sosial Cekoslowakia. Begitu keadaan sosial dan ekonomi membaik, Havel tidak bersedia didapuk menjadi presiden lagi. Ia mundur tepat waktu, dan membuatnya terhormat.

Ceko adalah contoh sepakbola yang beradab. Mereka tidak terprovokasi oleh Portugal yang brutal setelah ditangani pelatih brutal bernama Scolari. Ceko juga tidak terprovokasi oleh Turki yang mengantongi tiga kartu kuning dan satu kartu merah. Memang Ceko juga mengantungi satu kartu kuning, tapi itu tejadi sebagai konsekuensi logis dari permainan agresif yang membuat tubuh berbenturan. Pelanggaran terjadi bukan karena disengaja. Dan saya bangga melihat pemain Ceko meminta maaf dengan cara mengelus kepala lawan, setelah ia berbuat kesalahan.

Bola memang harus dipersembahkan untuk peradaban dan kebanggaan sebuah bangsa, dan bukan dipersembahkan untuk para bandar judi yang menyelipkan para mafia di lapangan hijau, baik mafianya itu wasit, pemain, hakim garis, bahkan pelatih. Kita masih ingat bukan ketika Juventus harus didegradasi ke klasemen kelas dua setelah terbukti terlibat permainan para mafioso bandar judi?

Mengapa dunia makin agresif? Saya menduga terjadi karena dua faktor dominan. Pertama, pemanasan global membuat darah dan hormon manusia jadi bergolak, sehingga timbul gejolak. Kedua, sedang terjadi degradasi peradaban, sehingga manusia makin lalai melaksanakan nilai-nilai keadaban (norma sosila).

Tetapi saya salut pada Euro tahun ini. Semua bangsa bermain dengan kebanggaan sebagai anak bangsa, dan ingin memberikan yang terbaik untuk bangsanya. Sungguh berbeda dengan Piala Dunia 1996. Sebagai contoh, begitu Brazilia kalah, ternyata Cafu, Ronaldinho, dan lain-lain, langsung pesta mabuk-mabukan sambil ketawa-ketiwi main cewe. Seharusnya mereka menangis sambil merenung, atau mundur dari Timnas Brazilia kalau mereka jantan dan sportif.
Sepak bola memang harus segera dikembalikan pada fitrahnya, yaitu hiburan batin yang estetis, inspiratif, menyejukkan, sejajar dengan pembacaan puisi, gelar teater, konser musik klasik, atau pertunjukan tari balet.

Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jurnal Nasiona.

Wednesday, April 13, 2011

Berkelahi di Kota Mati


Teks Doddi Ahmad Fauji
 
Film I Am Legend menuturkan manusia yang hidup menyendiri di Kota New York, di tengah-tengah zombie.

Juga pada hari itu, di tahun 2009, Robert Neville (Will Smith) hidup menyendiri, kecuali ditemani anjing kesayangan bernama Sam. Sejak tiga tahun silam, akibat kesalahan penelitiannya, lahirlah virus mutan yang menjalari setiap makhluk hidup (manusia dan binatang), dan menjadi zombie yang mengancam. Seperti vampire, zombie ini memangsa manusia dan binatang. Kota New York jadi mati, lengang dan mencekam. Mobil-mobil silang sengkarut. Tak ada dengus kehidupan, kecuali nafas Neville dan anjingnya.
Setiap hari, ia menyampaikan pesan melalui radio, “Namaku Robert Neville. Aku bertahan hidup di Kota New York. Jika ada yang mendengar pesanku, ingatlah kau tidak sendirian. Keluarlah siang-siang. Aku akan membagi makanan, tempat tinggal, dan memberimu keamanan.”
Ia bukan masyarakat biasa. Ia tentara berpangkat Letnan Kolonel, juga saintis yang brilian. Kala virus mulai memasuki New York, ia tak mau mengungsi sebagai responsibility atas kesalahan penelitiannya. Ia terobsesi menemukan antivirus. Malam hari ia menyembunyikan diri dari incaran zombie. Bila siang, zombie-zombie itu yang bersembunyi.
Tetapi pada hari itu, Neville menemukan kijang berseliweran. Dikejarnya kijang itu. Ketika seekor sudah dibidik, tinggal menembak, muncul singa dan menyambarnya, memangsanya. Di lain hari, kijang-kijang kembali bermunculan. Sam (anjing) mengejar seekor yang kabur ke gedung gelap nan pekat. Neville segera mengejarnya. Ternyata gedung itu sarang para zombie. Neville dan Sam dikejar-kejar. Neville tertangkap tepat ketika berhasil menerobos kaca jendela. Ia dan zombie terjerambab ke jalan. Begitu tersentuh cahaya surya, zombie langsung melepuh.



vspace='0' hspace='0' allowtransparency='true' scrolling='no'>
Esoknya, ia membuat penjebak, dan berhasil menjerat salah satu zombie berjenis kelamin perempuan. Penelitiannya di laboratorium atas zombie tangkapannya itu, membuatnya berhasil menemukan serum antivirus yang menajdikan zombie itu tidak terlalu agresif. Berbekal serum, dengan mobilnya ia keluar malam-malam, menantang para zombie. Tujuannya untuk menyebar serum. Namun, ia kalah jumlah saat berkelahi. Mobilnya berhasil dijungkirkan komplotan zombie.
Tepat ketika akan dimangsa, ada cahaya yang memancar dan sebuah salib, membuat zombie itu melepuh, sedang yang lainnya kabur. Namun Neville keburu pingsan. Bagitu sadar, ia sudah berada di rumah bersama seorang perempuan bernama Anna (Alice Braga) dan anaknya, Ethan (Charlie Tahan). Ternyata Anna yang menyelamatkan Neville.
Anna mengajak Neville meninggalkan New York, tapi Neville tidak mau pergi sebelum penelitiannya berhasil. “Tidak ada tempat yang aman. Semua manusia sudah terinfeksi. Hanya segelintir yang masih bertahan, tapi mereka akan berhasil disergap,” kata Neville.
“Tidak, masih ada manusia yang bertahan di sebuah kamp, di daerah dingin. Virus itu tidak bisa berkembang di daerah dingin. Sebaiknya kita cepat pergi ke sana sebelum terlambat,” kata Anna.
Ketika obrolan mereka memuncak, terdengar ada keributan dari luar. Begitu dilihat dengan teropong, ternyata zombie-zombie itu berhasil mencium tempat persembunyian mereka. Lampu-lampu taman segera dinyalakan. Namun, ternyata zombie itu sudah kebal oleh cahaya lampu. Mereka terus menerobos. Neville terpaksa meledakkan bom kontrol yang memagari gedung tempat persembunyiannya. Beberapa zombie mati, tapi berdatangan yang lain dengan jumlah lebih banyak.
Neville mengajak Anna dan Ethan bersembunyi di laboratorium yang memang cukup terlindung. Sampai di laboratorium, mereka mendapati ternyata zombie yang mejadi kelinci percobaannya, nampak telah pulih menjadi manusia biasa. Berarti Neville berhasil menemukan penawar virus mutan itu.
Sayangnya, laboratorium itu berhasil dilacak para zombie. Anna dan Ethan disembunyikan pada sebuah lubang yang anti guncangan bom, sementara Neville meledakkan bom bunuh diri saat zombie-zombie itu berhasil masuk ke laboratorium. Mereka mati semua, juga Neville. Anna dan Ethan selamat. Ia pergi ke kamp di mana sedikit manusia bersembunyi di sana, di daerah yang dingin. Berkat penemuan serum antivirus mutan dan pengorbanan Neville, kepunahan spesies manusia bisa diselamatkan. Di masa yang akan datang, kelak ia dikenang sebagai legenda.
Itulah sinopsis film I Am Legend besutan sutradara Francis Lawrence yang digubah dari novel karya Richard Matheson. Walau mengingatkan pada film yang nyaris serupa secara metodis dan modus operandinya, sebutlah film 30 Days of Night atau Vampire, tentulah film yang dibintangi dua kali nominator Oscar ini, menarik untuk disimak. Will Smith menawarkan akting yang sedap untuk dinikmati.
Melalui film ini, para seniman Amerika terkhusus sastrawan, semakin kental berimajinasi akan adanya kekuatan di luar manusia. Salib misalnya, masih merupakan benda keramat yang mengandung mukjizat. Lawan mainnya, Alice Braga, berhasil mengimbangi permainan Smith, membuat film ini jadi menawan.
Namun bersiaplah Anda dikejutkan oleh beberapa adegan suspensif dengan teknik buzzing yang seakan mengguncang kesadaran kita. Anda akan tertohok oleh film yang masuk ke dalam genre horror dan science fiction ini.


Judul                : I Am Legend
Jenis Film         : Action/Fantasy
Pemain             : Will Smith, Alice Braga, Dash Mihok, Charlie Tahan
Sutradara         : Francis Lawrence
Penulis              : Akiva Goldsman, Mark Protosevich
Produser          : David Heyman, Akiva Goldsman, Neal Moritz, Erwin S
Produksi           : Warner Bros. Pictures
Homepage        : http://iamlegend.warnerbros.com/
Durasi              : 100 Menit

Tulisan ini pernah dimuat di almarhum tabloid Koktail

Ayat Ayat Cinta

Poster Ayat-ayat Cinta
Novel melodaramatik berjuluk Ayat Ayat Cinta yang fenomenal itu, sudah difilmkan. Bersiaplah kecewa, menangis, atau tersenyum sinis saat menontonnya.

Teks: Doddi Ahmad Fauji
Foto: Poster AAC

Melodramatik. Itulah kesan yang saya tangkap ketika menonton film Ayat Ayat Cinta (AAC) besutan sutradara Hanung Bramantiyo. Bersiap-siaplah menangis bagi mereka yang sentimental. Patah arang yang dirasakan terutama oleh tokoh Maria Girgis (diperankan Carissa Putri), memang cukup menyentuh. Saya juga pernah patah arang. Jadi, saya bersimpati kepada tokoh Maria, sekalipun tokoh ini tidak pernah ada dalam kehidupan.

Saya menonton film AAC bersama para wartawan, dalam preview yang digelar pada 18 Februari lalu di Planet Hollywood, di pagi hari setelah Jakarta diguyur hujan. Teman saya, di tengah-tengah tayangan film, keluar gedung untuk ke toilet. “Saya mau menangis dulu,” katanya, setengah berteriak. Benar apa tidak ia ke toilet untuk menangis, toh ada beberapa wartawan yang tertawa mendengar celetukannya.

Film AAC diangkat dari novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy, lulusan Universitas Al-Azhar, Cairo. Pembacanya sangat banyak untuk ukuran novel di Indonesia. Dalam tiga tahun, lebih dari 160 ribu eksemplar novelnya terjual. Sebelum dikemas dalam buku novel, melodarama lika-liku cinta itu pernah menjadi cerita bersambung di harian Republika. Pendek kata, banyak penggemar dari kisah ini.

Mengapa banyak penggemarnya? Saya tidak tahu jawaban pastinya. Hanya menduga, kisah ini menawarkan suatu impian yang indah. Konflik yang tajam dalam kisah ini, yaitu ketika Fahri bin Abdillah (diperankan oleh Fedi Nuril), anak petani dari Jawa yang sedang menyelesaikan S2 di Al-Azhar, harus mendekam dipenjara karena fitnah, akhirnya lolos dari segala tuduhan.



Fahri, tokoh hayali ini, perjalanan hidupnya begitu mulus dan lurus. Seolah tanpa cela atau ceda. Manusia, tak peduli agama apapun dia, mendambakan bisa meraih kehidupan yang mulus dan lurus. Di sela krisis multidimensional masih juga mendera bangas ini, kisah yang menawarkan impian platonik, cenderung laku bak kacang goreng. Novel Sayap Sayap Patah dan prosa lirik Sang Guru dari Khalil Gibran, divetak berulang-ulang justru setelah krisis moneter. Sebelumnya, karya Gibran tidak begitu laris manis. Bermimpi tentang sesuatu yang indah, ternyata sangat manusiawi. Mimpi kita juga, toh?

Sebuah novel yang difilmkan, selalu ada kekurangan dan kelebihan. Para pembaca novel AAC tentu bisa terkejut manakala melihat tayangan filmnya. Bisa saja ia berkomentar, “kurang sesuai dengan detail cerita aslinya!”

Saya ingin menanggalkan novelnya, dan melihat film AAC sebagai berdiri sendiri. Saya melihat, ada masalah dalam logika visual dan logika audio dalam film ini. Novel yang ditulis Habiburrahman tentu berbahasa Indonsia sekelipun berlatar di Mesir yang berbahasa Arab itu. Tapi bisa dimaklumi, toh kita bisa membaca Shakespeare atau Khalil Gibran hasil terjemahannya.

Namun ketika menjadi film, akal estetik saya menolak ketika para tokoh non-Indonesia berbicara dalam bahasa Indonesia. Persidangan Fahri yang dianggap memperkosa Noura bin Bahadur (Zaskia Adya Mecca), berlangsung dalam bahasa Indonesia, sementara papan nama hakim dan jaksa serta artibut lainnya ditulis dalam bahasa Arab. Logika visual dan logika audio di sana tidak selaras. Jomblang.

Kita menonton film Mandarin merasa lebih nyaman ketika ditayangkan dalam bahasa Hoakian misalnya, dan merasa terganggu ketika film itu bahasanya disulih. Film Hollywood tidak perlu di-dubbing sebab akan menghilangkan ekspresi dan penghayatan para pemainnya. Toh kita bisa membaca teks terjemahan dari dialog para aktornya untuk mengetahui jalan cerita yang sedang berlangsung.

Tapi film AAC terpaksa menggunakan bahasa Indonesia. Hanya ada sekupil dua kupil bahasa Arab atau Inggris. Tentu ada 1000 alasan mengapa tokoh-tokoh dalam film ini berbicara dengan bahasa Indonesia. Alasan paling logis, karena memang dimainkan oleh aktor-aktris Indonesia yang belum tentu bisa berbahasa Arab, apalagi dengan fasih. Kalau harus memakai aktor-aktris asli dari Mesir, wah berapa biayanya. Itulah masalahnya.

Logika visual yang lain sudah berusaha mendekati, misalnya memakai aktris-aktris yang kebetulan berwajah Indo sepeti Carisa Puteri, atau Riyanti Cartwright yang memerankan tokoh Aisha. Pakaian-pakaiannya, berusaha mendekati Mesir, juga tata artistik dan seting kejadian, dibuat se-Mesir mungkin.

Saya yakin problematikan bukan sekadar pada finansial ketika diputuskan para pemeran berbicara dalam bahasa Indonesia saja, termasuk saat persidangan Fahri di Mesir.

Yang menarik dan terasa alamiah dalam film ini adalah kemunculan kambing. Suara kambing mengembik di Mesir dan di Indonesia ternyata sama: Embeee! Sayang sekali pemeranan para aktor yang menjadi tulang punggung sebuah film, dalam AAC ini kurang alamiah.

Pada akhirnya, film ini lebih menjual cerita mimpinya, tinimbang memperhatikan aspek estetika realis sebuah film, dan apa daya, kemampuan para filmmaker kita mungkin baru sampai di sini. Kita baru bisa bermimpi. Jadi kita maafkan saja kalau ada kekurangan yang sangat mencolok.

Tulisan ini pernah dimuat di almarhum tabloid Koktail

Monday, April 11, 2011

Negeri Miskin Saja Bisa

neneng s ferrier
Pada 21 Oktober 2008, ajang 13th  Asian Art Biennale Bangladesh 2008, resmi dibuka dan akan berlangsung hingga 19 November 2008. Berarti 26 tahun sudah Banglades yang lebih miskin dari Indonesia, berhasil mempertahankan dan terus meningkatkan penyelenggaraan pameran biennale (dua tahunan) bertarap internasional. Walau menyebutnya Asian Art Biennale, namun toh pesertanya ada yang berasal dari Afrika dan Eropa.

Pertanyaan lahir dalam diri saya, mengapa Indonesia yang merupakan negeri ke-6 terkaya sumber alamnya di dunia, belum sanggup juga menyelenggarakan event biennale seperti yang diselenggarakan Bangladesh.

Bertempat di Osmani Memorial Hall, biennale dibuka pada pukul 16.00 oleh The Chief Adviser Dr Fakhruddin Ahmed the Head of the Caretaker (interim) Government of the People’s Republic of Bangladesh.

Pada pertemuan antara delegasi dengan panitia dari Shilpakala Academy, saya mendengar panitia menyampaikan pengakuan, bahwa Banglades memang miskin sumber alam, miskin infrastruktur, namun memiliki kekayaan seni tradisi.

Di era ekonomi kreatif, kakayaan seni tradisi adalah modal untuk mencetak devisa.

Saya yang hadir di kota Dhaka untuk memenuhi undangan sebagai peserta 13thAsian Art Biennale Bangladesh 2008, ikut menyaksikan betapa Banglades memang lebih miskin dari negara kita. Namun saya merasakan, saya sedang hadir di tengah-tengah kekayaan seni-budaya.

Juga saya merasa lebih kaya, karena tiga karya lukis dan satu patung saya ikut terseleksi oleh committee Biennale Bangladesh. Ketiga lukisan saya masing-masing berjudul I Am Back, I am Here, I am Waiting, sedangkan karya patung berjuluk Family Love.

Asian Art Biennale Bangladesh pertama kali diselenggarakan pada 1981 oleh Bangladesh Shilpakala Academy. Kali ini, pameran dua tahunan itu dikuti oleh 27 negara, yaitu Chili, China, Mesir, Fiji, Georgia, India, Indonesia, Iran, Italia, Jepang, Kuwait, Malaysia, Maldives, Mauritius, Nepal, Oman, Pakistan, Filipina, Qatar, Korea, Romania, Saudi Arabia, Singapura, Srilangka, Brunei, Turki, dan UAE.
lukisan karya neneng s. ferrier

Ada 111 seniman asing yang terseleksi panitia dengan 244 karya (lukisan, patung, serta instalasi). Sedangkan seniman Banglades yang terseleksi sebanyak 194 dengan 229 karya (lukisan, patung, serta instalasi).

Karya sebanyak itu, dipamerkan di tiga tempat, yaitu di National Art Gallery of Bangladesh Shilpakala Academy, Bangladesh National Museum, dan Osmani Memorial Hall. Seluruh karya seni lukis, patung, serta instalasi dari seniman Indonesia, dipajang di Bangladesh National Museum.

Selain saya, ada delapan seniman asal Indonesia yang ikut terseleksi, mereka adalah: 1). Agus Cahaya [lukisan], 2). Cecilia Patrice [patung], 3). Innes Indreswari Soekanto [patung], 4). Kian Santang [patung], 5). Lidyawati [patung], 6). Maulana Mohamad Pasha [instalasi new media], 7). Monika Ary Kartika Soetjipto [lukisan], dan 8). Polenk Rediasa [lukisan].

Sayangnya, tidak semua seniman Indonesia bisa ikut menghadiri pembukaan biennale itu. Hanya saya, Maulana Muhamad Pasha (Adel Pasha), dan Monika Ary Kartika Soetjipto yang dapat hadir. Selama seminggu, panitia memberikan akomodasi bagi para peserta yang hadir.

Di sela-sela pameran, panitia tentu menyelenggarakan seminar dan entertainment. Pada hari kedua dan ketiga, seminar digelar dengan tema Experiments in New Media in Recent Years, bertempat di gedung Music and Dance Centre Auditorium of Shilpakala Academy.

Seminar ini tentu melelahkan, tapi sayang kalau dilewatkan begitu saja. Rasa lelah saya terobati oleh sajian tari-tarian tradisi setempat, serta kunjungan ke Bangladesh Folk art and Craft Foundation di Sonargaon, yang terletak di luar kota Dhaka.

Ternyata Biennale Banladesh ini bukan hanya menggelar pameran, tapi juga diikuti kompetisi yang dimenangkan oleh seniman dari Mesir, Oman, dan Banglades. Untuk katagori karya terbaik dimenangkan oleh delapan seniman yang masing masing berasal dari Qatar, Pakistan, Korea, Srilanka, India, serta tiga dari Bangladesh.

Betapa menyedihkan, seluruh kontingen asal Indonesia tidak bisa mengikuti kompetisi karena menurut panitia, karya seniman Indonesia terlambat tiba di Banglades. Keterlambatan ini terjadi karena pemberitahuan dari panitia kepada seniman Indonesia yang terseleksi, terlalu dekat jaraknya dengan hari opening ceremony, bahkan ada seniman yang baru diberi tahu seminggu sebelum pembukaan.

Pemberitahuan terseleksinya karya-karya seniman asal Indonesia disampaikan setelah penutupan tanggal kompetisi tersebut. Hal itu terlihat dari tanggal yang telah ditentukan oleh Bangladesh Shilpakala Academy (di kolom 7 pada pengumuman pendaftaran peserta).

Pengiriman karya via DHL meminta waktu sekitar 4 – 5 hari. Kenyataannya, 7 hari baru tiba di Banglades. Duh, sebahagian karya seniman asal Indonesia baru tiba di Bangladesh setelah pembukaan biennale.

Untunglah saya dan Monika pergi ke Bangladesh dengan menenteng karya. Tanggal 20 Oktober sekira pukul 23.00 waktu setempat, kami tiba. Beberapa jam sebelum pembukaan, karya-karya kami pun baru didisplay.

Maulana Adel Pasha sudah tiba sejak tanggal 18 Oktober, karena ia harus meng-instal karyanya, tetapi Adel Pasha pun menghadapi kesulitan akibat keterbatasan peralatan untuk menyelesaikan karya instalasinya. Walaupun karya instalasi Adel tidak seperti yang direncanakan sebelumnya, namun saya lihat hasil ahirnya tetap membuat penonton terkagum-kagum.

Saya amati, karya-karya yang dipamerkan lebih didominanasi oleh seni lukis corak abstrak. Barangkali hal itu terjadi karena banyaknya seniman asal negeri Arab, di mana mayoritas orang Arab yang beragama Islam meyakini tidak boleh menggambar figur, terutama figur manusia, apalagi figur Nabi. Tapi di beberapa dinding, saya melihat juga beberapa karya realis kontemporer.

Ada perasaan kecewa dengan kekurangan–kekurangan pada penyelenggaraan biennale itu. Tapi pada setiap acara besar memang selalu ada kekurangannya.

Namun bagaimanapun saya harus menghargai dan memberi apresiasi, negara miskin seperti Bangladesh toh berhasil mempertahankan ajang seni rupa bergengsi untuk tetap dapat diselenggarakan. Pihak panitia pun telah berjanji untuk Biennale yang akan datang, penyelenggaraannya akan diusahakan lebih baik lagi.

Saya bertanya-tanya, mengapa di negara kita penyelenggaraan biennale bertarap international tidak bisa berlangsung lama, sedangkan ada biennale-biennale yang system seleksinya kurang fair, yaitu lebih melihat siapa senimannya dari pada melihat bagaimana karyanya. Biennale yang hanya melihat portofolio senimannya, menurut saya, hanya karya menjadi tidak berbicara.

Diceritakan Neneng Ferrier kepada Doddi Ahmad Fauji

Ivan Sagito: Kefanaan dan Absurditas

Sketsa karya ivan sagito
TEKS HERU PRASETYA | FOTO DODDI AHMAD FAUJI

Perupa Ivan Sagita lebih tertarik menempuh jalan permenungan yang sunyi namun mengasyikan, tinimbang terlibat dalam gemuruh perniagaan seni rupa saat ini.

Ketika kami (saya dan Doddi Ahmad Fauji) berkunjung ke rumah Ivan Sagita pada Kamis siang (4 Desember 2008), pintu gerbang rumahnya masih tertutup, tapi tidak dikunci. Dari dalam terdengar tak-tok-tak-tok, seperti bunyi benda keras beradu dengan lainnya. Tapi tak ada orang di pekarangan rumah. Sunyi. Misterius.

Ketika dikontak melalui handphone, ternyata Ivan sedang menjemput anak bungsunya dari sekolah. Ia tidak di rumah, dan kami menunggu di depan pekarangan rumah yang suwung.

Beberapa menit kemudian, Ivan datang dengan mobil.

”Hai... sudah lama? Ayo masuk... Jangan di luar begitulah...,” sapanya dengan wajah berseri.

Mimiknya cerah. Senyum simpul memang tidak pernah lepas dari bibir seniman kelahiran Malang, 13 Desember 1957, ini.

Kami pun memasuki pekarangan rumahnya, lalu masuk ke rumahnya. Sunyi. Tak terlihat ada orang, kecuali anak bungsunya yang tadi dijemput. Pun, tak terdengar ada kegaduhan, kecuali kecipak kecipuk yang lalu diikuti gonggongan anjing. Ini rumah yang sunyi, jauh dari gemuruh, berjeak dari riuh-rendah.

Kami duduk di sofa, dan Ivan tiba-tiba langsung bercerita tentang karya-karyanya yang tergantung di dinding.

”Kalau kita analogkan dengan pohon, maka akar besar suatu karya adalah tentang hal-hal yang tak terpahamkan. Hal ini bisa berkaitan dengan hal-hal absurd, tentang waktu, kefanaan, kematian, tapi bukan tentang kelahiran. Itu yang dominan memacu saya untuk berkarya.”

Nah loh. Ternyata bukan hanya rumahnya yang sunyi, tapi karya-karyanya juga menyiratkan sesuatu tentang dunia solitude.

Objek yang kerap dilukis Ivan, juga koherens dengan symbol-simbol kesunyian semial daun pisang yang sudah mengering, gendongan, rambut, pulung gantung (menggantung diri)

Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta (1979 – 1985) ini pun bicara tentang filosofi daun pisang. ”Dari hijau menjadi kuning, dari ada menjadi tiada. Dalam bahasa Budi Darma, daun pisang itu berkelebat-kelebat seperti tubuh kita,” papar ayah tiga anak ini.

Periode berikutnya, Ivan – yang pernah pameran di Australia, Jepang, USA, Thailand, Singapura, Afrika Selatan, dan beberapa kota di Indonesia ini – mengusung tema gendongan dalam karya seni rupanya. Gendongan dimaknai sebagai sesuatu yang selalu melekat pada diri manusia.

”Tidak sekadar gendongan sebagai gendongan yang merupakan bagian terpisah dari manusia. Tetapi gendongan adalah suatu hal yang melekat, sesuatu yang harus dipikul oleh setiap insan manusia,” jelas pelukis yang pada 2003 pernah mengikuti program Fellowship Artists dalam Resident-Vermont Studio Center, Amerika Serikat.

Ivan juga pernah terkesima dengan peran rambut dalam seluruh sendi kehidupan manusia, baik filosofi maupun peran riil dalam kehidupan sehar-hari. Selain menjadi mahkota bagi manusia, rambut juga memberi pelajaran tak ternilai bagi manusia. Rambut, kata Ivan, memiliki daya juang dan daya hidup tersendiri.

Judul-judul seperti ”Dia Ingin Tambahkan Tubuh di Tubuhnya”, ”Hidup Bermuatan Mati”, ”Long Sleep”, ”Air Alir”, ”Soul”, ”Moving to Another Dimension”, ”Imagi Pada Tiang Jemuran”, dan ”Kefanaan Abadi” adalah contoh karya Ivan ketika ia khusyuk memasuki tema rambut.

Periode rambut kini sudah nyaris selesai. Ia mulai periodisasi tema baru dalam karya seninya, yaitu pulung gantung. Pulung gantung adalah kepercayaan yang sampai kini masih dianut sebagian masyarakat Gunungkidul tentang ”tradisi” bunuh diri dengan cara menggantung. Figur perempuan desa tampak menonjol dalam karya-karyanya.

”Tetapi periodisasi tema pada karya saya tidak dibatasi secara kaku oleh waktu. Tidak serta-merta ketika periode tersebut selesai, kemudian beralih ke yang lain. Pada periode rambut misalnya, saya masih melukis dengan tema gendongan,” tuturnya.

Suatu karya, menurut pecandu rokok putih ini, tidak harus selalu rasional, tapi lebih banyak mendasarkan pada intuisi. Sesuatu yang tiba-tiba dating, bahkan tanpa diundang.

Ia mengakui, pemaknaan terhadap sesuatu yang membuat tertarik untuk melukis lebih banyak bersifat personal. Sangat terkait dengan pengalaman pribadi. Hal-hal personal tersebut, ia visualisasikan dalam karya seni dengan simbol-simbol bersifat umum, hingga tidak mengherankan terjadi pergeseran persepsi ketika dilihat orang lain.

Meski sudah berkali-kali mengikuti pameran – baik tunggal maupun bersama –Ivan sebenarnya termasuk seniman yang selektif berpameran. Tidak seluruh undangan pameran ia penuhi. Alasan utamanya adalah soal waktu dan tema. Karya seni tidak mungkin dicipta dalam waktu tiba-tiba, dan tidak seluruh tema ia pahami. Tapi pada Januari 2009 ini, ia mengikuti pameran bersama di Syang Art Space, Magelang.

Mungkin karena konsep berkarya seperti itu, maka Suwarno Wisetrotomo menyebut
Ivan Sagita sebagai pelukis yang memiliki kecenderungan sebagai perenung. ”Ivan sering terkesima dengan daya hidup (survivalitas) sekelompok masyarakat yang tampak melampaui situasi batas,” katanya.

Sedangkan menurut Jim Supangkat, realitas pada karya-karya Ivan berpangkal pada berbagai pengalaman spesifik dan personal. Realitas yang ditampilkan adalah realitas di tanah air, atau bahkan lebih khusus lingkungan masyarakat Jawa di Yogyakarta. Namun kesimpulan tentang realitas yang ditawarkannya, bisa dikaitkan dengan pemikiran tentang manusia secara universal.

Sangat intensnya Ivan Sagita dengan sumber-sumber kultural Jawa, juga diakui M. Agus Burhan. Karya-karyanya tentang rambut yang dipamerkan di CP Art Space Jakarta (2005), menurut dosen ISI Yogyakarta ini, merupakan dunia simbolik yang menggali faset-faset kefanaan hidup dalam bentuk pengucapan idiom visual Jawa.

Mencermati tema yang digeluti Ivan, bisa ditarik kongklusi, proses kreatif Ivan adalah dunia suwung yang ditempuh secara solitaire. Situasi ini lebih dekat dengan sunyi, atau jauh dari gemuruh. Booming lukisan adalah dunia yang bergemuruh.

Lalu bagaimana tanggapan Ivan terhadap booming lukisan? ”Semua menjadi cepat, dan semua menjadi seragam, hingga sedikit sekali kita menjumpai permenungan, spiritual, dan masalah pribadi. Secara umum begitu, meski tidak semuanya begitu. Sepertinya ada pola di luar kepentingan tentang seni itu sendiri,” komentar Ivan.

Tentang sikap yang seharusnya dimiliki seniman, menurut Ivan, ”Seniman harusnya memberikan alternatif  jawaban terhadap kemanusiaan secara luas. Bukan mengacu pada ukuran-ukuran di luar kemanusiaan itu sendiri.”

Pergulatan Ivan dengan sunyi untuk mencari alternatif jawaban terhadap persoalan kemuasiaan, mungkin saja mengingatkan Anda pada pernyataan sejarawan Arnold Joseph Toynbee, yang menuturkan bahwa perbaikan peradaban seringkali dilakukan oleh para cendekia yang mengasingkan diri dari gemuruh supaya ia bisa khusyuk menangkap ilham.

Sunyi rumah dan studio lukis Ivan, laksana goa sang pertapa.

tulisan yang nyambung