Para Penari Rindu Order
Pengantar: Tulisan ini mengurai salah satu profil sanggar tari di Jakarta yang menggeluti tarian tradisi. Para penari yang membawakan tarian tradisi lebih memiliki peluang untuk bisa tampil di event internasional. Apalagi bila pimpinan kelompok memiliki jaringan dengan pohak kedutaan, peluang untuk ikut even internasional lebih mudah lagi, setidaknya bisa tampil di Kedutaan Besar Indonesia.
Teks Doddi Ahmad Fauji
Sepuluh penari muda-mudi nampak sudah berpeluh. Tapi mereka masih bersemangat melanjutkan latihan Tari Glipang, sejenis tarian perang khas Jawa Timur. Waktu menunjukkan pukul 21.00 saat latihan usai.
Mereka nampak sedikit berdesak-desakan karena ruang latihan kurang luas. Sehari-harinya ruang latihan itu adalah rumah. Kalau mau berlatih, meja, kursi, dan perkakas lainnya dipinggirkan dulu.
Itulah pemandangan di Bilik Budaya Kasitha Smarandhana (tembang cinta putri jelita), yang terletak di Jl. Kemang Utara No 24, Jakarta Selatan. Selain Kasitha Smarandhana, di rumah milik Iin Kusumastuti ini juga bermarkas sanggar tari Viatikara. Kalau Kasitha berorientasi pada pelajar tari tradisi Nusantara, Viatikara berorientasi pada tari modern-kontemporer dengan dasar tari balet.
Para penari yang bergabung ke dalam Kasitha Smarandhana dan Viatikara itu, ada di antaranya yang memang sudah menempatkan tari sebagai suatu pilihan hidup. Sehingga jika tidak menari, ada yang kurang dalam hidup ini. Tapi dari generasi muda, tidak sedikit yang menampatkan tari sebatas hobi. Seperti yang dituturkan oleh Natasha Sutadisastra, mahasiswi Hubungan Internasional, Unievrsitas Mustopo Beragama.
“Saya masih menempatkan tari sebagai hobi. Orang tua saya bilang, kalau penari tradisi belum dikenal, susah dapat pemasukannya. Mungkin saya akan bekerja di belakang meja,” kata gadis kelahiran Jakarta, 1985 itu.
Memang ada kecemasan akan penghasilan saat bergulat dengan seni tradisi. Bukan hanya tari tradisi, tapi semua kesenian tradisi mengandung resiko sunyi dari order. Ak ada order, tentu tak ada pemasukan. Karena itu, seniman tradisi saat ini, di tanah air ini, harus memiliki diversifikasi usaha.
Semoga saja Prediksi John Naisbit melalui Global Paradox menemukan kebenarannya di abad ini. Menurut Naisbit, globalisasi akan mencapai titik jenuh, dan orang kembali melirik sesuatu yang uni. Sekarang banyak orang, di banyak negara, sedang dipersamakan selera estetikanya melalui industri entertainment dari Negeri Paman Sam.
Orang-orang sedang bergegas menjadi Barat, menjadi Amerika, termasuk makan di KFC atau minum cocacola. Pada saatnya, orang menjadi jenuh dan mulai mencari yang unik-unik. Sudah menjadi tabiat manusia, salah satunya terjebak menjadi snobis (ikut selera pasar), dan kemudian mencari yang unik-unik.
Menurut Naisbit, ketika sudah sampai pada titik jenuh dengan globalisasi, orang-oarng akan kembali melirik tradisi. Negara-negara yang memiliki kebinekaan tradisi, akan tampil ke permukaan. Tentu dengan catatan bisa memanfaatkannya.
Indonesia sebagai negara besar dengan 700-an suku bangsa, adalah salah satu negara yang kaya tradisi. Maka abad ini bisa menjadi milik bangsa kita, selain China dan India yang juga kaya dengan tradisi. Alfin Tofler melalui The Third Way mengisyaratkan, pemimpin masa depan dunia ini adalah Asia, yang tiada lain adalah China, India, Indonesia.
Karena itu, segala usaha mempertahankan, menggali, dan mengembangkan tradisi jangan hanya menjadi jargon di lingkungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, tetapi benar-benar mendapatkan porsi dan perhatian yang memadai dalam roda pembangunan. Salah satunya adalah membangun infrastruktur dan menggalakan festival seni tardisi, sehingga seniman tradisi tidak berhenti menjadi seniman rindu order. ***
Menanti Apresiasi yang Memadai
KASITHA Smarandhana didirikan pada 1990 oleh para mantan penari Istana Negara. Pioner-nya adalah Dedy Luthan yang dikenal sebagai penari, koreografer, dan dosen Institut Kesenian Jakarta. Dedy Luthan kini lebih berkonsentrasi menggeluti seni-budaya Kalimantan, terkhusus seni budaya Dayak. Ia sebenarnya berdarah Minang. Namun kesenian yang bersifat universal bisa melebur fanatisme etnis, dan yang tersisa adalah kemanusiaan tanpa sekat SARA.
Sudah lama Deddy hengkang dari Kasitha. Beberapa pendiri Kasitha masih setia meneruskan sanggar yang menyebut dirinya bilik budaya itu. Di antara personel dan pendiri Kasitha yang masih bertahan adalah Iin Kusumastuti dan Irin Prinka.
Misi pendirian bilik budaya Kasitha Smarandhana ini, menurut Iin adalah untuk melestarikan budaya Nusantara melalui tari tradisi. Anak-anak diajari menari tradisi dengan benar, melalui proses yang benar, sehingga mereka bisa menghayati tradisi, dan akhirnya mencintai tradisi.
“Pesertanya adalah anak-anak menengah ke atas. Ada dugaan anak-anak gedongan itu susah diajak mencintai tradisi. Tapi dugaan itu tidak sepenuhnya benar, animo mereka cukup baik,” kata mantan dosen Manajemen Seni Pertunjukan, IKJ, itu.
Iin menyebut, kendala untuk berlatih tari tradisi memang banyak. Selain apresiasi yang kurang pantas, juga sarana penunjang dan fasilitas pendukung relatif terbatas. Hingga saat ini, tempat latihan Kasitha mengambil tempat di rumah Iin yang terletak di Jl. Kemang Utara N0. 24, Jakarta Selatan.
Di tengah keterbatasan infrastruktur dan apresiasi, namun atas dasar kecintaan pada tradisi, Iin dan kawan-kawan mantan penari istana tak henti menari dan mengajarkan tradisi kepada generasi muda.
Tari tradisi itu sangat banyak. Satu aderah saja bisa memiliki puluhan tari tradisi. Namun Kasitha mengambil tari-tari tradisi paling populer kemudian dimodifikasi supaya bisa sesuai dengan semangat jaman.
“Jenisnya banyak, setiap daerah memiliki variasi. Tetapi untuk konsumsi misi kesenian, kami ambil tarian yang populis, enak ditonton dan laku. Kalau dari Jawa Tengah misalnya kami ambil tari Golek Putri, Wira Pertiwi. Dari Jawa Barat kami ambil Tari Jaipongan, Bajidor Kahot. Dari Jawa Timur ada Tari Jejer, Ngremo, Glipang. Dari Sumatra Barat ada Tari Piring, Rantak. Dari Aceh kami pelajari Tari Saman atau Seudati. Dari Kalimantan kami ajarkan Tari Giring-giring. Dari Papua lumayan banyak, misalnya Tari Panah, Tari Perang. Dari Maluku, Sumatra Utara, NTT, NTB, Bali, dan lain-lain, juga kami pelajari.”
Kini, di ruangan yang luasnya sekitar 5 X 8 meter, personel Kashita Smarandhana berlatih dan berdiskusi. Berlatih pada hari Selasa – Jumat, sedari pukul 14.00 – 21.00 yang terbagi ke dalam tiga kelas. Hasil latihan itu, sekira 40 penari masuk dalam kategori senior dan bisa diandalkan untuk pentas. “Yang belum layak pentas lebih banyak lagi,” kata Iin.
Yang menjadi agenda Iin dan kawan-kawannya sekarang adalah meningkatkan harkat dan martabat penari tradisi. Bayangkan, katanya, saat tampil dalam ulang tahun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mereka mendapat honor Rp20 juta. Penarinya ada 30 orang, dan penabuh musik ada tujuh orang, dan ditambah pembantu umum. “Sedangkan seorang penyanyi pop pada acara sama bisa menerima honor Rp60 juta. Ini kan benar-benar jomblang. Kalau di luar negeri, penari tradisi mendapatkan honor yang lumayan dan bisa menghidupi dirinya.”
Tapi Iin tidak kapok. Dan karena itulah dia merasa senang kalau anggotanya ada yang menerima order, misalnya untuk menari tradisi dalam upacara pernikahan, sebab itu artinya ada pemasukan tambahan. Iin sendiri mengandalkan pemasukan dari usaha catering, dan bukan dari menari. “Belum, belum bisa seniman tradisi itu hidup dari profesi yang dijalaninya,” kata pemilik catering Gayatri Sekarwilis itu.
Beruntunglah Iin ini mantan penari istana, juga mantan dosen, jadi memiliki relasi yang cukup luas, sehingga Bilik Budaya Kashita Smarandhana ini memiliki kesempatan menjadi duta kesenian ke luar negeri, seperti ke Amerika, Eropa, Asia. Bulan Oktober kemarin, mereka tampil di Sanghai, China, dibawa oleh rombongan Presiden SBY.
“Kini saya sedang berdoa, semoga ada sponsor untuk festival tari tradisi di Italia bulan Maret nanti,” kata Iin.
Ya, semoga saja ada maesenas kebudayaan yang terketuk menghidupkan tari tradisi. ***
Mengapa Mereka Memilih Tradisi?
SAYA lebih suka tari tradisi, karena bergerak dari dalam jiwa. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, bergerak semua. Saya tidak menyebutkan tarian yang lain itu jelek. Saya pernah mencoba modern dance misalnya. Tapi saya lebih suka tari tradisi.
Pernyataan itu disampaikan Natasha Sutadisastra, mahasiswi Hubungan Internasional, Universitas Mustopo Beragama, Jakarta Selatan, saat berbincang-bincang dengan Jurnal Nasional di bilik budaya Kasitha Smarandhana, Jl. Kemang Utara No 24, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu. Mahasiswi semester tujuh yang sudah menari sejak masih dini itu tercatat menjadi anggota Kashita Smarandhana sejak setahun setengah yang lalu.
Natasha kecil pernah dibesarkan di Kanada sewaktu ayahnya menjadi konsulat pada 1993-1996. Bisa dikatakan, semua KBRI di pelbagai negara memiliki sanggar untuk pelatihan seni tradisi Nusantara. Merekalah para promotor seni-budaya tradisi di negara tempat KBRI berada.
“Sedari kecil saya sudah diajari tari Bali, Jawa, Minang. Sewaktu kembali ke Jakarta, saya pernah mencoba modern dance, tapi saya meresa lebih pas dengan tradisi. Saya bisa belajar tentang karakter. Dan saya menemukan kepuasan batin,” kata gadis kelahiran Jakarta, 1985 itu.
Alasan yang dikemukakan Natasha dalam menjatuhkan pilihan pada tari tradisi terdengar senada namun disampaikan dalam bahasa yang berbeda oleh Aziz, Alio, Susilo yang sama-sama menerjuni tari tradisi di Kasitha Smarandhana. Menurut Azis, ada kepuasan yang sulit dikatakan. Menurut Alio dan Susilo, tari tradisi dapat dihayati dan dinikmati, bukan sekadar bergerak. Intinya, tari tradisi berhubungan dengan kepuasan batin yang sulit dinilai.
Aziz, anggota Kasitha Smarandhana sejak 1994, mulai menari pada 1976, atau sekira usia 19 tahun. Kelahiran Madura 1958 itu pertama berkenalan dengan tari tradisi Jawa Timur-an. Ketika bermigrasi ke Jakarta, Aziz diajak oleh Sumarsono (putra mantan Gubernur DKI Jakarta) untuk menari tradisi.
“Jadi, sudah panggilan hati untuk menari tradisi,” kata instruktur tari di Kasitha itu.
Alio dan Susilo memang dibesarkan dalam lingkungan tradisi. Penari yang kebetulan bertetangga itu, yang kebetulan juga sama-sama kelahiran 1976 itu, para orangtuanya adalah aktivis wayang orang Baratha yang hingga kini masih eksis dan rutin menggelar pertunjukan di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Persentuhan keduanya dengan tradisi sudah mendarah daging. Faktor genetik dan lingkungan ikut menumbuhkan minatnya pada seni tari tradisi.
“Sampai-sampai orang tua saya menyekolahkan saya di Yogya karena khawatir saya akan mengikuti jejaknya. Tapi kembali ke Jakarta, saya kembali pada tradisi,” tutur Susilo.
“Saya pernah belajar tari modern, tapi kepuasan tetap ada pada tari tradisi. Tapi ada untungnya juga, saya lebih dikenal karena menggeluti tari tradisi,” kata Alio.
Di tengah benturan budaya antar-etnis, antar-bangsa yang semakin gencar akibat gencarnya globalisasi informasi, masih ada segelintir orang yang tetap bersikukuh mempertahankan tradisi. “Kalau bukan kami siapa lagi,” kata Aziz.
Menurut Iin Kusumastuti, pemimpin Bilik Budaya Kasitha Smarandhana, sebenarnya banyak orang-orang yang mau menerjuni tradisi, tetapi konsekuensinya terlalu berat. Di era konsumerisme ini, menggeluti tradisi sama dengan menerjunkan diri ke dalam kecemasan. “Penghargaannya belum seimbang,” kata Iin.
Bukan hanya itu alasannya. Minimnya fasilitas dan akses juga membuat seni tradisi kita jadi merangkak dalam prakteknya. “Banyak anak-anak gedongan yang mau belajar tari tradisi. Tapi tempat latihan dan gurunya sangat terbatas,” kata mantan Penari Istana tahun 70-an itu.
***
Tulisan ini pernah dimuatkan di Koran Jurnal Nasional, tapi saya lupa edisi berapa. Disimpan di blog ini sebagai dokumentasi, semoga berguna untuk referensi.